Juli 2019, timeline media sosial ramai dengan kesan kesan para orang tua yang bercerita tentang kesuksesan anak-anak mereka masuk Perguruan Tinggi Negeri, ada juga yang bercerita sebaliknya…. gagal masuk PTN dan balik kanan berburu PTS. Seru, ya. Berhubung anak saya masih TK, saya ga punya cerita seperti itu untuk dibagikan. Tapi lalu jadi kepengin bernostalgia masa-masa monumental itu: ketika saya akhirnya melangkah ke jenjang pendidikan tinggi.
…..
Ceritanya, saat SMA saya diberi pilihan oleh sekolah untuk masuk kelas IPA atau IPS. Saya memilih IPS karena saya lebih suka pelajaran sejarah, antropologi, sosiologi dkk ketimbang belajar matematika, wkwk. Pelajaran eksak yang saya suka cuma kimia dan biologi, hahahha. Nah, di kelas IPS, alhamdulillah saya tidak menemui kesulitan berarti. Selalu masuk 3 besar…
Saat di tingkat akhir SMA itu, fokus saya lebih banyak untuk persiapan masuk perguruan tinggi. Maklum, dua kakak saya sudah lebih dulu kuliah. Dua-duanya di Universitas Gadjah Mada. Mas Luqi di Jurusan Filsafat dan Mbak Uci di Jurusan Antropologi. Jelas sekali saya pun ingin kuliah seperti mereka. Ingin saya pun serupa: Maunya, ya, UGM. Masalahnya, UGM itu universitas nomer satu se-Indonesia Raya (bahkan sampai detik ini). Persaingan masuk kesitu luar biasa sulit. Mampukah akyuuhh? Begitu yang bergelayut di kepala saya sepanjang kelas 3 SMA, haha.
Suatu hari, wali kelas saya memanggil dan memberitahu kalau saya diberikan kesempatan ikut seleksi masuk ke Universitas Brawijaya, Malang, melalui program PMDK (semacam seleksi yang hampir pasti keterima gitu deh). Saya sempat galau. Di satu sisi, mengambil tawaran PMDK artinya memastikan saya masuk PTN tanpa ribet ikut tes masuk lagi (UMPTN waktu itu namanya). Tapiiii… walau Malang itu kotanya menarik dan tidak terlalu jauh dari Gresik, saya sudah terlanjur ingin kuliah di UGM, seperti kakak-kakak saya.
Setelah berdiskusi dengan orang tua dan sholat istikharah, saya mantap melepas tawaran PMDK ke UniBraw tersebut. Fokus mempersiapkan diri untuk UMPTN dengan pilihan utama UGM. Pilih jurusan apa? Nah, itu masih belum saya putuskan. Minat saya ada banyaaaaakkkk. Kebanyakan ya ke ranah sosio humaniora.
Saya ingin jadi diplomat (biar bisa jalan-jalan ke luar negeri), makanya jurusan Hubungan Internasional sempat jadi idaman. Saya juga ingin casciscus bahasa Inggris, jadi masuk Sastra Inggris sepertinya menarik. Ketika itu saya juga keranjingan baca buku-buku tentang psikologi, sehingga jurusan Psikologi sepertinya juga sangat menarik. Saya juga suka membaca buku-buku Antropologi dan Sosiologi…
Bingung, deh. Sedangkan pemilihan jurusan saat tes masuk PTN itu sangatlah menentukan lolos tidaknya ke PTN. Maklum saingannya bejibun. Anak jurusan IPS punya dua pilihan. Pilihan pertama dan pilihan kedua. Diskusi dengan kakak-kakak saya, akhirnya saya memutuskan pilihan pertama ambil jurusan grade A di universitas grade A dan pilihan kedua ambil jurusan grade B di universitas grade A. Karena saya cuma ingin masuk UGM, dua-duanya saya ambil di UGM. Sebenarnya ini pilihan berisiko karena pilihan universitasnya sama-sama yang kelas A. Pesaingnya sudah pasti banyak banget. Jadi rada gambling.
Di sisi lain Bapak saya menegaskan, saya hanya bisa kuliah di negeri karena kalau di swasta, Bapak ga mampu biayain. Gimana saya enggak stress? Lolos UGM atau nganggur setahun doing nothing! Hahahaha.
Tiap hari jam 3 pagi saya dibangunkan Bapak atau Ibu untuk sholat malam dan lanjut membaca, belajar materi-materi ujian… tiap akhir pekan berangkat les ke Surabaya (saya ambil kelas persiapan UMPTN yang satu bulan saja, karena budget dari orang tua cuma bisa untuk les 1 bulan doang)… begitu terus sampai badan kurus kering, hahahaha. Ibu saya yang paling khawatir apabila saya sampai tidak lolos masuk UGM. “Itu anak nanti pasti stress.. lha kakak-kakaknya udah di UGM, kalau sampai dia ga lolos sudah pasti stress nanti…” begitu batin ibuku seperti yang beliau ceritakan bertahun-tahun sesudahnya…
Ketika ujian kelulusan SMA, saya berhasil meraih nilai tertinggi nomer dua sekabupaten Gresik. Tapi nilai kelulusan SMA ketika itu sudah tidak terlalu mempengaruhi karena ujian masuk ke PTN tidak menimbang nilai SMA kita berapa. Jadi, ya, bagi saya itu tidak menjadi istimewa.
Jadilah, ketika hari menentukan itu tiba… saya berangkat ke Jogja diantar Bapak dan menginap di kos mbak Uci…. tes UMPTN berlangsung di sebuah sekolah di jalan AM Sangaji. Mas Luqi yang mengantar kesana. Dua hari tes berlangsung, saya kerahkan segala kemampuan yang saya miliki… Wes, sing penting sudah usaha… setelah itu ya tawakkal… “Kamu jangan down ya nanti misalnya ga lolos.. masih bisa nyoba tahun depan…” begitu ibu mewanti-wanti.
Kala Mas Luqi nanya, gimana tadi ujiannya, kira-kira peluangnya gimana? Saya jawab: “Sepertinya, sih, bisa aku kerjain semua. Yang aku ragu, gak aku kerjain… matematika cuma aku kerjain ga sampe 10, wkwkwk. Daripada nilainya malah minus. Entahlah 50:50 peluangnya, hahaha” sambil ketawa stress. Lalu aku kembali ke Gresik, menunggu hari pengumuman kelolosan dengan hati jumpalitan.
Malam pengumuman tiba…
Dini hari, kami tidak ada yang tidur… Kami menunggu telpon dari Mas Luqi yang melihat pengumuman lebih cepat (aku lupa itu lihat di internet apa gimana… yang pasti lebih cepat ketimbang kami nunggu koran esok pagi). Telpon rumah berbunyi, suara mas Luqi dari seberang. “Os, lolos Ossss!!!! Kamu masuk UGM!!” seru mas Luqi gembira. “Jurusan apa Mas Luqi?” tanyaku ga sabar. “Sosiologi, kamu jadi anak Fisipol nanti” serunya lagi.
Alhamdulillah, langsung sujud syukur… Bapak Ibu berkaca-kaca bahagia… Mbak Uci yang waktu itu tengah liburan semester juga ikut bersorak… “Horee! Kita sama-sama kuliah di UGM!!” katanya.
Urip prihatin di Jogja
Setelah itu, saya melihat wajah orang tua saya antara bahagia tapi juga mikir keras. Saya tahu, perekonomian keluarga tengah berat. Usaha bapak yang sempat gemilang dan membawa hidup kami lumayan berkecukupan, sudah bangkrut karena tergulung krisis moneter ketika itu… bahkan sampai beberapa tahun kemudian, usaha keluarga kami belum pulih akibat kalah bersaing dengan pabrik-pabrik modern.
Dengan lima anak, dua sudah berkuliah, satu baru lulus SMA dan dua anak masih sekolah dasar, uang menjadi isu penting. Tapi Bapak dan Ibu saya selalu menguatkan: “Selama kamu, kalian mau berusaha, bekerja keras meraih pendidikan, Bapak akan usahakan sebisa mungkin mendukung… tapi kudu gelem prihatin, akehi ndungone…”
Maka jadilah saya anak UGM, tepatnya anak Sosiologi di Fisipol UGM. Dengan jaket almamater yang warnanya tak terdefinisikan itu, hehehe. Kisah selebihnya adalah sejarah luar biasa dalam perjalanan hidup saya.
Di Jogja, saya ngekos sekamar dengan mbak Uci, agar biaya indekos bisa lebih hemat. Setahun ketika itu uang kos sekitar Rp1 juta sampai Rp1,2 juta. Uang yang nilainya tidak kecil bagi keluarga kami. Sedang kakak lelaki saya, yang sudah lebih dulu di UGM, dia lebih nomaden… pernah tinggal di Krapyak sembari mengajar di pondok, lalu entah kos di mana lagi. Mungkin karena dia anak lelaki dan anak pertama, orang tua kami relatif lebih “melepas”nya. Lemari dan kasur di kosan tidak pernah kami beli… itu semua warisan dari Mas Luqi yang entah beli sendiri atau juga “warisan” dari orang lain, hahahah.
Di tahun awal kuliah, saya masih rajin masuk kelas. Menginjak semester dua, saya mulai mikir cari kegiatan ekstra kurikuler… Lalu akhirnya saya bergabung dengan Pers Mahasiswa Fisipol “SINTESA”, komunitas Tapal Kuda. Setelah itu saya jadi sering membolos, wkwkwk. Terutama untuk kelas-kelas di mana dosennya menurut saya membosankan… saya lebih milih nongkrong, dengerin teman-teman di Tapal Kuda yg pinter-pinter itu berdiskusi (saya bagian dengerin doang, wkekek), atau kalau enggak, ya, saya ke perpustakaan baca buku. Bisa seharian saya di perpus, berasa menemukan surga. Bagi saya itu sama saja dengan saya habiskan waktu di kelas 😛
Perjuangan kuliah tidaklah mudah. Saya tidak pernah terlalu kesulitan soal materi kuliah. Tantangan yang harus saya hadapi tiap hari adalah soal duit. Kami hampir selalu tidak punya uang. Kiriman dari orang tua tidak tentu, jumlahnya pun seadanya. Pernah nongkrong di depan ATM nunggu kiriman, trus pas sudah dikirim ternyata uangnya tidak bisa keluar karena udah kepotong saldo minimal, hahahha. Pait pait, wkwkwk.
Hampir tiap hari menu makan andalan saya dan mbak Uci adalah nasi, tempe orek, sayur. Udah itu terus hahahahha. Makan telur adalah kemewahan, apalagi ayam, lele atau daging. Pernah ada kejadian saat kami beli makan di warung langganan deket kos… pas saya mau minta telur dadar ke penjualnya, mbak Uci langsung kasi kode teguran: “Gak usah, os..” wkwkwkw, apa daya. Buk War, pemilik warung itu mungkin sempat membatin lihat saya dan mbak Uci kalau beli makan ga pernah beli lauk, hahahha.
Pas pulang ke Gresik kami sering dibawain beras sama ibu.. nanti kami masak sendiri dan beli lauk doang.. waktu itu beli lauk tempe orek dan sayur bening pake uang Rp1.500 udah cukup buat makan berdua, seharian, ha ha. I love Jogja! Supaya kebutuhan protein hewani tetap terpenuhi, kami sering nyetok telur yang kami beli di Mirota Kampus. Palingan beli sekilo, haha. Juga mi instan tentu saja, kesayangan anak kos, hehe. Ngemil? Paling mentok jajan burjo dan gorengan burjo yang gede gede itu, bikin kenyang.
Kemana-mana kami lebih sering jalan kaki. Kami ngekos di Sagan… kalau mau ngampus, seringnya jalan kaki ke Bulaksumur.. lumayan, sih, jaraknya sekitar 4 kilometer atau lebih gitu deh… tapi Jogja kala itu asyik buat jalan kemana-mana… ga terasa juga jalan kaki melewati RS Panti Rapih, lalu ketemu Graha Sabha dan akhirnya nyampe di Fisipol… Gimana ga sehat dan langsing, coba? hehehe.
Walau penuh keterbatasan yang kadangkala dalam tingkat ekstrem, kami tidak pernah mau menampakkan. Ngampet dalam hati. Yang ada malah pasang muka sok tegar, hahah. Di momen-momen seperti itu, kamu akan mengingat orang-orang yang begitu baik padamu… termasuk di sini adalah teman-teman kos yang sudah seperti saudara… makasih, guys!
Kehidupan di rumah kos memberi warna baru yang membuat segala bentuk tantangan itu menjadi bisa kami nikmati bahkan kami tertawakan… menikmati masa muda ceria. Sungguh tak terlupa kehidupan ngekos di Sagan. Lagian, di UGM si kampus ndeso, anak-anak seperti kami yang kuliah dengan modal super cekak, sangatlah banyak. Jadi, ya, kami ga perlu merasa jadi orang paling menderita, akeh kancane, hehehe. Semua kami hadapi bersama dengan style cengengesan. Duit tinggal Rp5.000 di tangan sama cengengesannya dengan saat memegang duit Rp50.000 di tangan. Kami juga jadi lebih mudah bersyukur…
Kami tahu ini hanya proses yang harus kami lewati, hanya sementara, masa depan kami masih panjang. Ya, untung juga saya menjalankannya tidak sendirian… mungkin sudah diatur juga olehNya… ada mbak Uci dalam keseharian dan saya merasa jauh lebih tegar. Love you, mbakku… (sing bagian golek utangan nek kantekan duit, huaahahahahaha).
Saya, kami, juga sering puasa karena memang harus mengirit… Iya separah itu. Hahaha. Buku ga pernah beli. Baju apalagi. Buku sering pinjem perpus. Baju ya pakai seadanya. Tapi kondisi keterbatasan membuat saya dan kami terpacu kian bersemangat menaklukkan masa depan… kami ingin membuktikan pada diri sendiri (juga orang-orang yang meremehkan mimpi kami, mimpi keluarga kami), bahwa kami mampu menjalankan dan melewati ini semua.
Seperti saya sebut di atas, di kampus saya memilih kegiatan ekstra kurikuler di lembaga pers mahasiswa SINTESA. Dari dulu saya suka nulis walau belum terlalu minat jadi wartawan. Di SINTESA saya malah merasa “lebih kuliah” ketimbang di kelas, haha. Banyak ketemu orang-orang yang beneran pinter dan kuat baca buku (kalau saya sendiri, sih, termasuk kategori “Ora pathi pinter tapi KAGAMA”, hahaha). Kakak lelaki saya yang juga pegiat persma universitas. Mas Luqi pernah jadi pemred Balairung. Saya juga pernah jadi pemred SINTESA (anaknya kompetitif, eaaaa, hahaha). Sedang mbak Uci lebih banyak beraktivitas di Koperasi Mahasiswa.
Begitulah. Tiga bersaudara berjuang di rantau dengan segala keterbatasan… kami mengupayakan yang bisa membantu keterbatasan itu: mulai dari cari beasiswa, minta penundaan pembayaran SPP, minta keringanan pembayaran SPP, jualan, sampai akhirnya saya kecemplung ikut proyek-proyek riset…., lumayan. Saya ingat honor pertama saya adalah Rp200.000, he he he.
Bapak terkena stroke…
Suatu hari, kalau tidak salah waktu itu saya sudah mau menginjak tahun kedua (mau semester 3… jelang liburan panjang semesteran), Mas Luqi tiba-tiba datang ke kosan saya dan mbak Uci. Pagi-pagi benar. Dia tidak sendiri. Ada Mas Adi juga, sepupu saya. Hepi bangetlah kami dikunjungi saudara. Setelah cekakak cekikik, mas Luqi membawa berita yang membuat kami shock berat. Bapak terkena stroke, badannya lumpuh separo dan ngomongnya pelo. Ibu butuh bantuan untuk merawat Bapak… secara keuangan juga tidak memungkinkan tiga anak lanjut terus. Jadi, Mas Luqi menyarankan saya untuk cuti kuliah dulu satu bulan, libur semester lanjut cuti di rumah bantuin Ibu. Sedih sekali…
Untuk pertama kalinya saya khawatir kehilangan Bapak. Selama ini, saya selalu menepis pikiran itu dan menganggap orang tua saya akan hidup selamanya, hahaha… semacam defense mechanisme dari anak yang enggan kehilangan orang tua. Saya menangis sejadi-jadinya di kamar mandi. Memikirkan Bapak. Memikirkan nasib kuliah saya. Tapi saya percaya ada hikmah di balik ini semua….pulanglah saya ke Gresik…
Ini adalah masa terberat kami. Masa-masa di mana keyakinan kami sekeluarga untuk mewujudkan mimpi bersekolah tinggi mendapat cobaan terberat. Bapak kena stroke tidak mampu bekerja lagi. Ketika itu sumber penghidupan keluarga kami adalah dari warung makan alias warung kopi di depan rumah. Usaha kerajinan yang Bapak bangun sejak lama musnah tak bersisa. Warung makan itulah satu-satunya yang kami andalkan… dikelola tangan dingin ibu saya, yang jago masak… Sesuatu yang tidak mudah mengingat ketika itu stigma warung kopi masih cenderung negatif di kota kami…
Saya ingat pernah ada yang nanya seperti ini pada saya: “Kamu ga malu, ta, nunggu warung kopi..?” sebuah pertanyaan yg absurd. Saya jawab: “Ngapain malu. Kan jualan, halal… bukan nyolong..” judes yo ben, wkwkwkwk. Judes is my middle name! Hahah. Dipandang remeh itu biasa 🙂
Karena Bapak stroke sedang warung harus terus beroperasi, ibu jelas butuh bala bantuan.. saya pun pulang, berniat cuti kuliah sementara. Di rumah ketika itu saya bersama mbak Uci (kebetulan lagi libur panjang semesteran), juga sempat berjualan jagung bakar dan roti bakar. Rame dan laris karena yang jualan semacam kembang desa (prettt!) hahahahah… sampai ada pelanggan tampan yg naksir saya dan PDKT, eaaaaa.
Di tengah kondisi kami yang tengah sangat menantang itu, komentar-komentar kurang produktif tak surut mampir ke telinga…
“Anak-anaknya, kok, tega… bapaknya sampai kena stroke gitu, tetep ngeyel kuliah…”
“Udahlah, kamu kawin aja… daripada kuliah terus, Bapak kamu udah sakit begitu, kasihan…”
“Nek pancen ga kuat, yo ojok dikuat-kuatno…”
Dan seterusnya dan sebagainya.
Di tengah banyak celetuk ga enak yang sejak awal sering kami dengar… kami ga pernah pedulikan. Kami coba maklumi karena ga semua orang punya mimpi sekolah tinggi. Selain itu, sesungguhnya mereka tidak tahu apa-apa tentang kami. Keluarga kami sangatlah kompak. Bapak dan Ibu satu visi tentang tujuan hidup mereka: membekali anak dengan pendidikan setinggi mungkin. “Bapak tidak bisa mewariskan apapun pada kalian, harta tidak ada… yang bisa Bapak perjuangkan untuk warisan adalah sekolah… pendidikan kalian… Bapak dan ibu sudah tidak punya keinginan pribadi lagi, bahkan berangkat haji pun kami udah ga kepikiran karena fokus kami adalah kalian, sekolah kalian… “
Dengan “kekeraskepalaan” seperti itu, tidak pernah sekalipun terbersit dalam pikiran kami untuk berhenti di tengah jalan. Jadi, gimanapun caranya, hajar saja. Kepala di kaki, kaki di kepala. Tidak ada alasan untuk menyerah apapun harganya. Saya beruntung sekali, memiliki orang tua yang berpikiran maju, visioner dan berkeyakinan kuat seperti itu… mereka sosok yang terbiasa berolah batin… rajin sholat malam, tak putus berdoa; doa-doa yang saya percaya itulah kekuatan terbesar yang menjaga kami selama ini…
Pada akhirnya, fase berat itu bisa kami lewati bersama. Saya tidak jadi cuti kuliah…. ada orang baik yang menolong saya, jadi orang tua asuh semester itu sehingga keperluan kuliah saya tertolong sementara…utang budi yang saya tanggung sampai mati… kami juga bersyukur Bapak berangsur pulih… saya pun diminta Bapak/Ibu balik lagi ke Jogja…
Memetik buah pertama….
“Tidak mungkin orang itu puasa terus… pasti suatu saat akan bertemu lebaran…” begitu ibu biasa bicara pada saya bila menyoal tentang tantangan dan cobaan dalam hidup…
Di tengah perjuangan berat menyekolahkan anak, Bapak dan Ibu saya akhirnya memanen hasil. Buah pertama. Mas Luqi berhasil meraih gelar sarjana. Wisuda di Graha Sabha Pramana.
Wajah Bapak dan Ibu sangaaatttttt bahagia. Huhuhuhu… Bagi Bapak saya, si anak yatim yang terpaksa putus sekolah di tingkat SMP karena ditinggal ayahnya meninggal dunia, mengantarkan anak jadi sarjana adalah kesuksesan besar. Siapa yang tidak bangga anaknya jadi sarjana jebolan UGM? Untuk level kami ketika itu, tiga anak di UGM sekaligus adalah hal yang jarang terjadi… dan termasuk luar biasa… terutama di lingkungan rumah saya di Gresik sana…
Setelah itu menyusul mbak Uci meraih sarjana… dan terakhir saya… lulus Cumlaude dengan waktu studi yang lama, hahaha (kebanyakan mroyek, wkwkwk).
Sayang seribu sayang, Bapak keburu berpulang tanpa sempat melihat saya diwisuda… Bapak tutup usia setelah terkena serangan stroke keempat kali. Kehilangan yang tak pernah bisa tergantikan..
Dan di Graha Sabha Pramana itu, ketika lagu Ada Band dinyanyikan oleh UGM Choir…“Tuhan dengarlah, sampaikan sejuta sayangku untuknya… ku kan berjanji, takkan khianati pintanya… Ayah dengarlah, betapa sesungguhnya ku mencintaimu… kan ku buktikan ku mampu penuhi maumu…”
Baca juga: Titip Rindu Buat Bapak…
Tangis saya tak tertahan… saya nangis sejadi-jadinya… kangen Bapak… Andai saja dia melihat ini semua, hasil jerih payahnya berbuah satu per satu…
Lalu saya langsung melompat ke Jakarta, ijazah UGM menjadi tiket bertarung di Jakarta meski secara literal saya tidak pernah memakainya untuk apply pekerjaan, believe it or not, hehe..
Di Jakarta, saya menjadi jurnalis ekonomi selama 8 tahun… Begitu seterusnya, hingga saya resign dari media tapi tetap berkecimpung di dunia tulis menulis, editorial dan kini edukasi finansial…. sampai di titik ini saya berdiri: manusia dewasa, ibu dua anak, berkeluarga dan berkarya.
Semua cerita di Jogja itu rasanya baru kemarin terjadi…
Balik lagi ke tahun 2007…
Apakah perjuangan selesai? Tentu tidak. Setelah saya lulus kuliah dan mulai bekerja, ibu masih punya PR mengantar dua adik saya lulus kuliah. Alhamdulillah, karena kami, tiga anak sudah bekerja, kami bisa sedikit meringankan beban ibu menguliahkan adik-adik hingga lulus…
Dan akhirnya, dengan kuasa Allah SWT, diiringi perjuangan dan tirakat orang tua, lima anak Bapak Ibu kesemuanya berhasil meraih pendidikan tinggi. Semua jadi sarjana, jadi orang mandiri dan berdaya seperti mimpi dan harapan Bapak Ibu.
Di atas kertas, mustahil orang tua kami bisa menguliahkan kami tiga sekaligus dan menyekolahkan dua anak lain di waktu bersamaan. Tapi, itulah… kalkulator Gusti Allah adalah yang tercanggih… definisi rezeki yang berkah dalam arti paling dalam… ga perlu jasa perencana keuangan, hahaha.
Dan tidak ada yang lebih saya syukuri ketimbang keberuntungan saya menjadi anak dari Bapak dan Ibu saya…
Dari Bapak saya belajar optimisme, sikap pantang menyerah, berani bermimpi, memiliki determinasi, berkeyakinan tinggi dan kerja keras… Dari Ibu saya belajar disiplin, kerja keras, keteguhan doa, kekhusyuan, laku tirakat seorang ibu sangatlah mempengaruhi perjalanan hidup anak-anaknya kelak. Ibu juga yang mengajarkan kemandirian. Jadi orang harus berdaya dan serba bisa, ga boleh males, ga boleh klemar klemer. Tanpa sosok ibu seperti ibuku itu, entah jadi apalah kami ini… ha ha ha…
Dari kedua orang tua saya, saya belajar ketangguhan, pentingnya memiliki kesamaan visi antar suami-istri, tentang kekompakan cara mendidik anak, tentang cinta yang besar, cinta yang tak kenal lagi egoisme… karena cinta mereka telah mewujud satu: anak-anak mereka. Mereka juga yang mendidik kami untuk banyak-banyak memberi dan berbagi pada orang lain… bahwa tanda kekayaan itu bukanlah memiliki banyak harta tetapi seberapa besar kita memberi dan menjadi manfaat bagi orang banyak…
Juga tentang kemandirian. Sejak awal orang tua menegaskan tidak mewariskan harta pada kami, melainkan hanya pendidikan terbaik. Mereka berjuang memberikan kami kail, bukan ikan. Didikan ini akhirnya juga yang menggerakkan kami untuk mengedepankan kemandirian termasuk untuk fase-fase selanjutnya. Bila anak-anak orang lain saat menikah mungkin orang tuanya berperan lebih besar dan menjadi funding utama (haha), kami semua menikah dengan modal sendiri… Ibu sudah pasti tetap membantu dan berperan besar tapi tanggung jawab utama, ya, kami sendiri. Kami terbiasa mementingkan dukungan spiritual, DOA RESTU dan RIDHO IBU…. itulah yang terpenting bagi kami…
Nilai-nilai itulah yang menjadi PR bagi saya untuk meneruskan pada anak-anak nanti. Perjalanan saya masih jauh menjadi orang tua. Ibuku bilang: “Kamu itu masih mainan air di pinggir pantai..” ujarnya memberi perumpamaan. Hahahah. Ya, semoga saat kelak sudah di tengah samudera, saya dan suami bisa sekompak dan setawakkal Bapak-Ibu dalam mendidik anak-anak.
Terima kasih Bapak dan Ibuku, tidak akan sanggup aku membalas semua jerih payah, keringat, air mata dan doa-doa yang sudah engkau curahkan sepenuh hati… padaku, pada kami…
….
Dan itulah mengapa UGM jadi sangat spesial bagi saya, keluarga kami… Masa-masa kami di UGM adalah masa perjuangan luar biasa kami sebagai keluarga… kendati banyak yang meremehkan dan mengecilkan mimpi, pada akhirnya kami bisa membuktikan keyakinan itu: “Tidak ada bintang yang terlalu jauh untuk kita raih… walau kita tidak punya sayap sekalipun…. selama kita mau berjuang, berusaha, dan tak jemu berdoa juga memelihara mimpi…TIDAK ADA YANG TIDAK MUNGKIN KITA WUJUDKAN”
One thought on “Dunia saya ketika UGM menerima….”
Seneng ya bisa jadi alumni UGM. Semoga sehat selalu.