Saya tumbuh dalam tradisi khitan saat usia anak masih bayi. Di Gresik sana, dan lebih spesifik lagi di keluarga besar saya, hampir semua bayi laki-laki yang lahir pasti dikhitan saat usianya masih bayi, bahkan sebelum 40 hari sudah dikhitan. Ibu saya biasanya kebagian memegang si bayi saat dikhitan oleh ‘calak’, demikian sebutan kang khitan tradisional di mana proses khitan dilakukan memakai (((pisau))), cara tradisional tanpa bius dan darahnya di mana-mana. Agak horror. Ibu saya gahar jadi selalu diminta tolong memegangi keponakan-keponakannya saat khitan…
Dua kakak lelaki saya pun keduanya khitan saat bayi.
Namun, ketika ibu saya memiliki cucu lelaki, ndilalah tidak ada yang khitan bayi, wkwk. Itu semua karena kompromi dalam sebuah pernikahan (duile serius amat bahasa, wkw). Kakak lelaki saya, misalnya, menikah dengan orang Ponorogo, yang tidak memiliki tradisi khitan bayi. Begitu juga kakak perempuan saya, menikah dengan orang Kebuman, tidak ada pula tradisi khitan bayi.
Saat mereka punya bayi lelaki, ide khitan bayi kandas karena salah satu pihak tidak setuju, haha.
“Kasihan kalo dikhitan, masih kecil begitu” (wajar sih kalo enggak tega)
“Kasihan dikhitan saat bayi, nanti ‘burung’nya gabisa gede” (gatau ini beneran apa mitos, haha. Tapi keknya ini mitos lah)
Alhasil, itu pula yang terjadi ketika saya menikah dengan orang Jawa Tengah yang gede lahir di tanah Betawi. Waktu anak pertama lahir, saya sempat berpikir untuk mengkhitannya sekalian. Tentu saja suami menolak. “Janganlah, nanti aja kalo gedean, biar berkesan..” begitu alasannya.
Saat anak laki-laki kedua lahir, gitu juga alasannya. Lalu lahir bayi ketiga, laki-laki lagi, sama juga, hahahah.
Suami baru dikhitan saat naik kelas 6 SD dan dirayakan, jadilah dia ingin anak-anaknya punya pengalaman serupa.
Ketika anak-anak masih usia TK, saya belum merasa ‘terbebani’ PR mengkhitan anak. Namun, memasuki usia sekolah dasar, dengan Attar yang mulai banyak mendengar kabar temannya dikhitan, mulailah saya nervous. Oke, kudu ada target kapan anak dikhitan. Idealnya, saat liburan sekolah. Idealnya saat anak sudah memahami apa itu khitan dan bisa meregulasi dirinya sendiri supaya masa pemulihan tidak membuat mamak terlalu sakit kepala, yekan?
Keluarga besar di Gresik sering sekali nanya, “Kapan Attar dikhitan, kita pengin main kesana…” ha ha ha. Iya, ya, kapan, ya?
Saat Attar masuk sekolah dasar, itu ketika pandemi meledak tahun 2020. Belum ada kesiapan khitanin anak karena waktu itu saya masih punya bayi kecil. Masuk 2021, somehow belum siap juga. Sampai akhirnya 2022, Attar sebenarnya sudah merasa siap dikhitan. Beberapa kali saya tanya, dia bilang siap-siap saja. Akhirnya, perlu target yang jelas. Oke, khitan saat liburan kelas kenaikan kelas empat saja. Pikirku, dia sudah cukup siap.
Lalu, suami ingin ada tasyakuran. Dirayakan seperti ia dulu. PR lagi. Sempat senewen dan pusing kepala karena sebenarnya saya menilai khitan bukanlah hal yang perlu dirayakan besar-besaran. Lagi-lagi, perlu kompromi ya dalam rumah tangga. Oke, saya ikuti saja.
Mumpung masih libur panjang, jadilah kami riset ke beberapa rumah sunat atau klinik. Ga nyari yang gimana-gimana, sekadar cari yang tempatnya bersih, prosedurnya jelas dan praktis dan lokasi ga jauh dari rumah. Akhirnya nemu RSE, rumah sunat estetika di dekat pertigaan arah Banjar Wijaya. Kami juga sempat survei ke rumah sunat yang lebih dekat lagi dengan rumah. Keputusan saya serahkan pada suami mau pilih yang mana. Karena apa? Jujur saya itu ga paham juga seperti apa prosedur khitan dan akan selama apa pemulihannya dsb. Setiap ibuku cerita khitan itu mudah gini gitu, aku iya iya aja padahal ga mudeng, hahahah.
Setelah memutuskan tempat khitan dan menaruh uang muka, kami putuskan tanggal khitan sekitar awal Agustus. Tapi lalu bergeser menjadi 9 Juli dengan asumsi cukup waktu kesembuhan.
Rencana awal adalah mengkhitan si sulung dan bontot. Alasannya, si tengah biar nanti dibikin pesta sendiri. Namun, lalu rencana berubah lagi, wkk. Kami putuskan mengkhitan dua anak paling besar, Attar dan Aqshal biar sekalian, sekaligus.
Acara tasyakuran khitan kami tetapkan tanggal 15 Juli, mengundang tetangga, keluarga dan teman sekolah anak-anak. Yang terpenting anak-anak dikhitan, anak-anak hepi dan menjadi memori indah untuk mereka. Itu fokus utama.
Tanggal 9 Juli ketika itu aku dan Attar ada undangan farewell dinner dg wali kelas 3. Aku ingat itu hari yang sangat panas. Matahari Tangerang begitu garang. Lalu dhuhur kami pulang dijemput suami. Tak dinyana di rumah udah ada kakek nenek dan bude pakdenya anak-anak. Hari itu kami tidak menyiapkan apa-apa, hanya menyiapkan makanan untuk makan bersama sepulang khitan.
Jadilah semua ikut mengantar ke RSE Estetika di dekat pertigaan arah perumahan Banjar Wijaya. Saat kami datang sudah ada pasien dua anak, kakak adik, yang dikhitan juga. Jadi, kami mengantre. Ruangannya nyaman, dingin dan banyak mainan yang bisa mengalihkan rasa nervous anak-anak menunggu giliran khitan.
Sampai akhirnya nama Attar dipanggil. Aku dan suami mengantar Attar ke atas, ke ruang tindakan. Ditemani bang Madi. Dokternya lupa namanya siapa, wkk. Yang pasti orangnya kearaban gitu wajahnya. Dokter menyambut Attar simpatik dan menjelaskan prosedur khitan. Attar terlihat tenang dan siap. Aku tidak risau. Dia pegang iPad yang disediakan oleh rumah khitan.
Bang Madi menunggui di sebelah atas, dia ajak ngobrol tentang game agar Attar rileks. Sementara aku menunggui di bagian sampingnya, persis di lokasi tindakan. Papanya di mana? Papanya malah duduk agak jauh dan sepertinya memang dia lebih nervous dan ga tega – mungkin karena dia tahu sakit dan ngilunya dikhitan, ya, haha.
Proses pertama, Attar disuntik bius di penis. Aku pegangin paha dan kakinya, bang Madi pegangin badan dan tangannya. Suster RSE pegangin kakinya juga. Attar sempat memberontak. Namun, karena dia bisa menahan sakitnya disuntik. Lalu ketika bius sudah mulai bekerja, dokter bedah pun beroperasi. Ternyata, seperti inilah proses khitan itu, ya, haha. Aku baru paham saat melihatnya langsung, hahaha.
Prosesnya sekitar 20-30 menit. Sesekali Attar meringis tapi secara umum itu berjalan mulus. Selama proses khitan, dibantu bius itu, aku ataupun bang Madi dan papanya jarang megangin sekadar agar dia tidak bergerak. So, mulus saja.
Kelar proses khitan, Attar langsung pakai celana sunat dan berjalan seperti biasa.
Namun, memafhumi proses khitan yang cukup banyak tahapan, mulai dari suntik bius, lalu ukur kepala/ujung penis untuk menentukan ukuran tabung, baru kemudian tahap membedah kulit penis, itu akan berbeda cerita bila Aqshal yang dikhitan, hahaha.
Aku bilang ke dokter, “Dok, yang adiknya ini sedikit berbeda, dok. Dia mungkin toleransi sakitnya lebih rendah jadi akan lebih menantang nanti,” ku kasi warning ke dokternya.
Setelah mengantar Attar ke bude dan pakdenya di lantai bawah, aku gandeng Aqshal ke atas. Dokter mengajak ngobrol biar Aqshal rileks. Tapi si bocah mungkin antara nervous dan emang lebih bocah usianya, jadi dia ga waro, haha. Dia ambil iPad dan main game. Lalu mulailah fase yang lebih dramatis, hahaha.
Saat jarum suntik anastesi ditusukkan dia berontak, teriak-teriak, ngamuk, nangis, haha. “Sakiiitttt!! Aku gak mau sunat, aku ga jadiiii!!” teriak Aqshal.
Yang megangin empat orang. Aku, suster, bang Madi, papanya dan bang Eka. Aku sampai keringetan pegangin dia biar bisa disuntik biusnya. Dia melonjak2 dan dokternya juga sampe nervous. Dia padahal udah ku warning ya, haha. Mungkin masih kaget karena yg kakaknya tadi mulus banget tanpa drama sama sekali.
Saking susahnya si Aqshal tenang, suntikan bius sampe dilakukan tiga kali, wkkk. Makin sakit pastinya. Aku kuat-kuatkan hatiku, ku tega-tegakan kan meski dia nangis minta pulang… sampai kalimat saktiku keluar: “Kamu minta apa aja mama kasi nanti…” hahahah. Janji surga gitulah, wkk.
Dan selama prosesnya mulai dari pengukuran sampai pembukaan kulup penis, dia tak henti drama, hahaha.. i dunno padahal udah dibius harusnya ga berasa kan? Dokter sih bilang, walau udah dibius dia akan tetap merasa sih bukan yang baal sama sekali.. well, fine.
Sampai akhirnya proses Aqshal selesai, fiuhhhh… cukup berkeringat, wkkk.
Setelah urusan administrasi beres, diberi obat dan salep untuk perawatan sepekan ke depan… suster bilang, hari kelima pasti udah copot klemnya. Bisa dicopot sendiri atau datang lagi ke klinik untuk dibantu lepas. Diminta untuk rajin berendam dan dioles losion agar mudah lepas klemnya nanti.
Pulang ke rumah dan mereka ku bebaskan pakai tab atau tablet main mobile legends. Keluarga Cengkareng berdatangan. Lalu, Attar mulai hilang efek biusnya. Dia mulai meringis dan ngrenyeng merasa nyeri. Ku ajak ke atas, ku nyalain AC biar dia bisa istirahsat. Jadilah dia tidur. Sedangkan Aqshal justru lebih tenang yg penting mobile legends di tangan, hehehe.
Sebelum tidur, ku minta mereka berendam. Malamnya pada rewel, aku terbangun-bangun terus menenangkan mereka. Papanya tidur nyenyak tentu saja, hahah. Saat esok harinya Senin aku beneran pegang anak-anak sendirian. Suami kerja, lagi banyak deadline project yang numpuk sehingga baru sampe rumah jam 1 pagi. What a moment..
Urus dua anak khitan sekaligus, ditambah ada anak kicil bontot yang alhamdulillah ga rewel. Di tengah-tengah itu urus persiapan acara tasyukuran, di sela-sela tanggung jawab kerjaan kantor.
Bapaknya yang minta anak-anaknya khitan pas gede tapi pas anaknya dikhitan malah ga ikut ngurusin. Entah kenapa aku enggak kaget, wk. Kata ibu saya, “Kamu hebat urus sendiri, udah anggap itu pahala…”
Bener juga. Hebat juga aku ya. Ternyata aku sabar juga orangnya, ahahaha. Udah nurut ga khitanin anak pas bayi, ngikutin mau bapaknya khitan saat gede… eh pas di ruang khitan sampai urusan perawatan pascakhitan, aku juga semuanya sendiri, hahahaha. Tapi aku juga gabisa apa-apa, karena emang suami lagi deadline project yang artinya duit duit duit, wkk.
Alhamdulillah setelah sepekan, luka khitan sudah kering. Namun, karena aku ga berani lepasin sendiri tabungnya, kami bawa lagi ke rumah khitannya. Nah, di titik ini saya baru ngeh ternyata metode klamp itu bisa sakit dua kali bila saat periode pemulihan kurang berendam. Ini terjadi pada Attar. Dia kalau saya minta berendam ga pernah bisa lama. Sementara Aqshal karena dia suka main air dan berlama-lama di kamar mandi, sebaliknya yang terjadi.
Saat melepas klamp Aqshal, terjadi dengan mudah. Tapi saat Attar, huaaa dia menjerit sampai nangis tersedu. Kesimpulanku jadinya, next saat khitanin si bontot, pake metode laser aja ga pake klamp segala biar cepat kering dan ga sampai sakit dua kali. Lesson learnt.
Syukuran khitan
Anyway, acara syukuran pun dilangsungkan. Pasang tenda. Bikin panggung. Prasmanan. Semacam bikin kondangan beneran ckckck. Jangan tanya capenya ya, haha. Cape tapi hepi banget. Terakhir bikin acara agak gede itu saat aqiqah si Attar. Maklum anak pertama. Selanjutnya, bikin acara ya biasa-biasa saja keluarga doang seringnya.

Alhamdulillah ibuku sudah di Tangerang sebelum acara dilangsungkan jadi aku ga merasa sendirian urus ina inu. Acara meriah dan anak-anak seneng teman-temannya pada datang. Keluarga besar juga datang semua.
Lalu, sebulan setelah acara tasyakuran itu, keluarga besar Gresik datang. Persis saat tujuh belasan Agustus tuh. Seneng banget karena sebagai orang rantau, rumahku jarang didatangi keluarga dari sisiku kecuali sama kakak ama adikku yang emang tinggal di Jabodetabek juga. Tapi keluarga besar, karena jauh di Jatim sana, jarang banget karena jarak… Aku pun sering melewatkan acara-acara keluarga di Gresik karena, ya, memang hidupku kini ada di sini…
Aku sewain bis untuk ajakin jalan-jalan keliling Jakarta dan ke landmark ibukota. Rame banget rumah, haha. Alhamdulillah rumah cukup ditempati entah berapa kepala itu hahaha.. ya tidur umpel-umpelan, wkkk. Masak juga ditandangi dewe, beberapa pesen ama tetangga yang punya warung makan.
Kini, PR khitanin anak tinggal si bontot. Rencananya nanti pas kelas 1 SD atau 2 SD aja.
Ibuku bilang, “Kamu itu kaya raya, tiga anak cowok, enam kambing aqiqah, khitanin juga tiga…” Iya ya emang kaya raya masyaallah, dikasi tiga anak cowok seperti ini, sehat lengkap pinter. Udah hafal yang namanya ‘tiba-tiba ada yang tendang-tendangan’, sudah biasa abis beberes lalu berantakan dalam sekejap, hahahah.
Alhamdulillah.