Beberapa teman yg ku kenal, memutuskan resign dari pekerjaan yang sudah dia geluti sekian lama. Beberapa ada yang lanjut membesarkan bisnis yang telah ia rintis sekian lama sehingga memiliki titel baru sebagai seorang self-employed alias pekerja mandiri. Beberapa lagi ada yang lompat ke kantor lain, masih menjadi karyawan. Beberapa lainnya menjadi freelancer.
Ada banyak hal yang melatarbelakangi keputusan seseorang hingga akhirnya memutuskan resign, bahkan keluar dari sektor formal. Bagi perempuan yang telah menikah dan memiliki anak, kadangkala isunya tidak jauh dari perubahan prioritas. Tidak mudah menyeimbangkan dan menjalankan semua peran. Been there, done that.
Salah satunya, ketika pekerjaan yang digeluti sudah terasa tak sepadan dengan nilai ekonomi yang didapatkan, apalagi bila sudah menyedot energi mental dan memicu kerugian immateriil; mundur dari pekerjaan, pada akhirnya menjadi pilihan.
Di tengah sistem yang masih patriarkis, peran pengasuhan anak nyatanya masih lebih banyak diserahkan pada ibu seorang. Ga heran bila ibu bekerja menghadapi situasi lebih pelik ketimbang bapak bekerja, jadinya sering burn out.
Makanya saya paham sekali ketika ada kawan atau kenalan yang memilih resign dan menjadi traditional wife (ga bekerja sama sekali, pendapatan keluarga 100% bergantung pada suami, tugasnya urus anak di rumah), atau bergeser jadi stay at home mom (tetap memiliki penghasilan dengan menggeluti pekerjaan informal atau freelance/jualan/etc. sembari urus anak).
Saya pribadi berpandangan, seorang perempuan tetap perlu memiliki ‘dunia’ sendiri sebagai individu dan perlu terus berkarya di balik semua peran dan status baru yang ia jalankan kini, apakah itu sebagai istri atau ibu. Semata karena saya percaya, perempuan memiliki potensi sehebat lelaki, dan dibutuhkan perannya oleh masyarakat. Ketika keputusan untuk bekerja atau tidak bekerja, diputuskan secara sadar, so be it.
Tapi kalo lihat anak perempuan, lulus kuliah tanpa pernah bekerja sama sekali, langsung menikah dan 100% mengurus domestik, aku merasa ’eman-eman’. Sayang potensinya.
Anyway, balik lagi ke soal ibu bekerja.
Keputusan seseorang, lebih khusus lagi seorang ibu, untuk berhenti bekerja atau kembali bekerja, nyatanya berdampak tidak kecil, lho, pada perekonomian. Ini saya bicara dari perspektif makroekonomi, ya, dan bukan hendak memperpanas debat lama working mom vs nonworking mom.
Jadi gini, di Indonesia itu, tingkat partisipasi perempuan di dunia kerja sejauh ini masih stagnan. Merunut data terakhir yang dilansir BPS, TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) pekerja wanita per Februari lalu adalah 56,7%, sudah meningkat dalam dua tahun ini. Namun, ya masih lebih kecil dibanding laki-laki dengan TPAK mencapai 84,34%.
Studi yang pernah dilansir Universitas Indonesia menyebut, bila partisipasi kerja perempuan dinaikkan sampai level 58,3%, misalnya. Itu bisa menambah pertumbuhan ekonomi (Produk Domestik Bruto) sebanyak 0,7% di atas skenario baseline.
Persoalannya, adalah bagi perempuan, apalagi yang sudah menjadi seorang ibu, isunya seringkali ga sederhana. Dengan tanggung jawab pengasuhan memang banyak diberikan pada ibu, working mom riskan burn out karena ‘beban ganda’.
Akhirnya, banyak yang ‘menyerah’. Padahal kalo pengelola negara ini lebih pinter, bisa banget kan memulai program menggalakkan daycare agar perempuan tak harus dipaksa memilih ‘rumah’ atau ‘kantor’ karena ya kenapa harus dipilih bila bisa dilakukan semuanya? Perlu goodwill politik yang kuat.
Multiplier effect dari keputusan seorang ibu apakah tetap bekerja atau tidak, bisa panjang pada perekonomian.
Ketika seorang ibu bekerja dan memiliki penghasilan, ia pasti membutuhkan support lebih banyak agar semua peran yang ada di pundaknya bisa berjalan lancar.
Sebut deh: daycare atau tempat penitipan anak, atau jasa pengasuh anak, ART, kang ojek antar jemput anak, katering sekolah; belum lagi karena ia memiliki pendapatan sendiri, ruang untuk berbelanja, memberi, berinvestasi atau sekadar jajan-jajan juga lebih luas sehingga berdampak pada penjualan di sekitarnya. Roda ekonomi muter.
Sementara bila ibu berhenti bekerja, kesemua pekerjaan yang memiliki nilai ekonomi itu kadangkala -mau tidak mau- harus ia kerjakan semua sendiri dan sedihnya, itu tidak dibayar sebagaimana pekerjaan pada umumnya.
Padahal itu semua kerja, kan? Namun, dalam perspektif ilmu ekonomi, pekerjaan rumah tangga tidak dimasukkan dalam kategori pekerjaan formal atau informal yang menghasilkan, karena ia dinilai tidak menghasilkan nilai ekonomi tertentu.
Coba aja kalo dianggap kerja ya, wkwk. Dari jam 4 shubuh sampai 9 malam berganti-ganti jadi kang masak, abis itu jadi kang anter sekolah, beberes rumah, beli galon dst, belanja ke pasar, jemput anak, belum lagi ngurus cucian dan setrikaan, hahaha. Anak pulang, geser jadi guru bimbel, wkwkkw. Itu semua kerja yang ga mudah.
Partisipasi perempuan di dunia kerja sangat dibutuhkan negara ini, lebih banyak, lebih luas. Partisipasi kerja dari kaum hawa yang lebih banyak mungkin bisa membantu negara ini yang sulit keluar dari jebakan kelas menengah (malah sekarang kelas menengah makin banyak yang turun kasta… fyi, populasi Indonesia kini didominasi oleh kelompok rentan miskin…).
Dulu tuh pas musim kampanye, ada dua kandidat yang menyoroti isu ini, dengan kasi janji akan menggalakkan pendirian daycare untuk mendorong partisipasi kerja perempuan. Sayang ga kepilih mereka, karena lebih banyak yang memilih percaya ada makan gratis dan penciptaan 19 juta lapangan kerja, hihihi (dan lihat di mana kita sekarang berada… hmmm).
Saya jadi ingat 2016 silam. Ketika saya memutuskan resign dari kantor kedua, ketika itu saya memang tidak melompat ke sektor informal jadi freelancer atau pekerja mandiri. Saya hanya pindah ke kantor lain, alias masih menjadi karyawan. Jadi, masih di sektor formal yang memberi gaji tetap, mendapatkan tunjungan, asuransi, dsb. Jedanya juga tidak lama, hanya jeda satu bulan dari kantor lama.

Namun, yang terjadi pada 2019 berbeda lagi. Ketika itu saya merasa sudah sangat kelelahan mengatur energi dan waktu. Bekerja 9 to 5 yang pada praktiknya membuat saya sering pulang jam 7 malam. Anak masih kecil-kecil usia playgroup. Jangan tanya lelah dan stresnya. Apalagi kantor baru itu susah mau WFH dan harus masuk strict jam 9 pagi dan baru bisa pulang jam 6 sore, ih males.
Tapi, saya bertahan karena gajinya besar, haha. Kerjaannya sih enak dan gampang karena ya memang core skill saya. Yang berat itu waktu kerja yang strict dan dealing with KRL yang ampun deh, itu aja.
Ketika itu keputusan resign tak jua berani saya ambil karena menurut saya waktu itu, apa yang saya dapatkan masih sepadan dengan apa yang harus saya bayar. Lebih lagi saat itu, kami masih mengebut pembangunan rumah. Melepas salah satu sumber pendapatan akan jadi hal yang konyol.
Lagian, meski saya tinggal bekerja, saya masih bisa optimal quality time ama anak. Masih masak tiap hari, nyuapin sarapan, ngajak main bentar sebelum jalan ngantor. Saat pulang, masih bisa ngajakin main, bacain buku sebelum tidur, dst. Pas anak sakit saja yang rasanya hati macam disilet karena cuti gabisa lama-lama, juga saat anak sulungku waktu itu sempat kesulitan adaptasi saat masuk TK.
Komplikasi situasi saat itu memang sempat bikin saya jatuh sakit sampai dilarikan ke IGD jam 3 pagi karena asam lambung parah. Indikasi stres, haha. Tapi saya tetap bertahan, haha.
Sampai pada suatu hari, tanpa aba-aba, kantor tempat saya bekerja itu tutup. Ya, namanya startup, risiko PHK atau likuidasi itu terbuka. Saat investor hengkang, ya tutuplah itu perusahaan. Saya sudah sadar risiko itu saat memutuskan kesana.
Yang saya ingat, ketika vonis PHK itu keluar, yg saya rasakan justru lega, wkkk. Semacam, “Ya Allah, akhirnya aku istirahat juga setelah bekerja tanpa henti sejak belum wisuda, hahaha”. Yang bikin lega juga, ketika PHK itu terjadi, pembangunan rumah kami sudah selesai. Seperti sudah digariskan. Maktub.
Waktu itu saya juga mendapatkan pesangon yang masih memadai -karena pakai perhitungan Undang-Undang yang lama.
Bulan pertama, bulan kedua, rasanya kayak lagi cuti panjang. Saya tidak benar-benar menganggur. Waktu itu sedang puncak keramaian pekerjaan freelance yang sudah saya jalani sejak 2015. Bedanya, saya tidak lagi di sektor formal. Saya jadi self-employed yang bekerja by project. Istilah zaman now: gig economy.
Jadi, ya tetep berkegiatan di luar urus rumah tapi sering WFH. Itulah yang paling membahagiakan, karena saya tidak perlu lagi bertemu rutinitas pergi ke kantor berdesakan dengan jutaan manusia se-Jabodebatek, wkk.
Saking enaknya menikmati kerja sebagai seorang freelancer, karena masih banyak project waktu itu, ketika beberapa tawaran pekerjaan datang untuk kembali ke sektor formal bahkan dengan gaji lebih besar, saya tidak menggubrisnya. Ada tawaran ke fintech lagi, juga ke bank. Tapi saya kesampingkan karena masih trauma balik ke rutinitas KRL di jam kerja, hahaha.
Eh, ndilalah saya hamil lagi, wkk. Hamilnya pake pendarahan mulu pula sehingga harus bedrest. Jadilah semakin pupus minat saya balik lagi ke sektor formal alias kerja kantoran. Alhamdulillah, project masih banyak sehingga dari sisi pendapatan, tidak ada guncangan juga. Tiap bulan masih ada invoice cair.
Namun, lalu pandemi meletus persis ketika saya punya bayi ketiga. Perekonomian di seluruh dunia mati suri. And the rest is history.…
Project masih jalan, melanjutkan kontrak yang belum selesai. Saya masih bekerja dari rumah, rata-rata 4-5 jam. Tapi soal bayaran, aduh. Merasakan namanya bekerja tapi bayaran ditahan, haha. Pedih, bo. Invoice berderet tapi ga juga cair itu duit, wah rasanya.
Kala itu, untuk pertama kali sejak bisa menghasilkan uang sendiri, saya menghadapi situasi tidak menghasilkan duit sama sekali, wkk… karena pembayaran invoice macet.
Sebagai orang yang ga pernah ga bekerja, hal itu cukup menguncang, sih, haha. Trauma instabilitas finansial zaman duluuuu, zaman masih sekolah dan bergantung pada orangtua, kembali bangkit, heeee.
Sebenarnya itu lebih ke isu aku personal sih. Karena kalo dalam lingkup rumah tangga, ya, sebenarnya ga ada masalah. Lha wong suami tetap bekerja dan urusan keuangan rumah tangga tidak terpengaruh.
Tapi dari sisi nilai diri, saya merasa tidak nyaman karena ya biasa produktif finansial, senang pegang duit sendiri, trus tiba-tiba ga pegang itu dahlah… it just not me, intinya. Efek pandemi memang dahsyat. Sekitar 3 bulanan kali ya, ga ada pendapatan masuk, wkk.
Setelah itu alhamdulillah ada project lain yang datang dengan pencairan ga pake lama, wkk. Sementara invoice-invoice yang ngadat itu, bahkan baru dibayarkan setelah jeda 12 bulan dengan didahului penagihan yang masyaallah susah sampai nunggu viral segala, wkkk.
Anyway,
Satu hal yang saya garisbawahi dari keputusan seseorang, dalam hal ini perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak, untuk keluar dari sektor formal dan memilih ke sektor informal -apakah itu bekerja sebagai freelancer, merintis bisnis sendiri dan sebagainya, ataupun sebaliknya: memutuskan kembali lagi ke sektor formal; dampaknya sejatinya tidak kecil pada perekonomian secara umum.
Pengalaman saya pada 2019, ketika terkena PHK dan akhirnya memilih menjadi freelancer, penyesuaian keuangan tentu saja harus dilakukan. Menjadi freelancer, bekerja by project, tidak memberi kepastian setiap tanggal tertentu ada uang masuk alias pendapatan.
Meski bila ditotal, pendapatan bisa lebih besar ketimbang saat di sektor formal, tapi ketidakpastian itu menjadi risiko tersendiri. Kesimpulannya, keuangan harus dikelola lebih hati-hati dan disiplin karena ketidakpastian pendapatan tersebut.
Waktu itu, keluarnya saya dari sektor formal membawa efek domino: saya tidak lagi mempekerjakan ART dan pengasuh anak karena saya 90% ada di rumah. Ditambah waktu itu ada pandemi Covid-19, riskan ada ART pulang pergi.
Tukang ojek langganan di stasiun juga tidak lagi saya gunakan jasanya. Sementara perihal katering, selama saya kerja kantoran, kebetulan anak-anak tetap saya masakin, jarang pakai katering. Jadi, saat saya berhenti kerja di sektor formal, perihal katering tidak terdampak.
Nah, ketika 2023 saya kembali lagi sektor formal, dampak berganda pun terjadi. Saya kembali memakai jasa ART, lalu pakai jasa ojek buat anak-anak, sesekali pakai katering sekolah buat anak-anak saat saya terlalu lelah untuk memasak meski itu jarang karena anakku jarang mau ku pesenin katering.
Jadi, begitulah kira-kira. Dampak berganda dari situasi seseorang bekerja atau tidak bekerja, termasuk bila itu seorang ibu, bisa panjang terhadap perekonomian.
Situasi pasar kerja saat ini di Indonesia juga sedang sangat suram. PHK di mana-mana. Pengangguran lulusan pendidikan tinggi makin banyak, salah satu pertanda ekonomi merosot. Daya beli engap ya karena gimana mau jajan kalo ga kerja dan pegang uang…
Banyak yang mengeluh dagangan sepi.. ibu-ibu yang dulu bisa senyum karena masih bisa dapet duit dari jualan online di rumah, banyak yang nyerah ga jualan lagi karena beneran sepi dan dipaksa bersaing dengan produsen langsung.. belum lagi fenomena gentrifikasi… dahlah pusing…
Semoga situasi muram ini lekas berlalu ya… tetap menaruh harapan baik. Bagi yang sudah memiliki pekerjaan dan penghasilan, perbanyak syukur dan selalu ingat, lelahnya bekerja masih lebih lelah jadi pengangguran, jadi bertahanlah.
Dan bagi yang dikasi amanah ngelola negara, please deh jangan halu terus, dan keseringan ngeles… malah buang duit anggaran untuk pencitraan. Kerja gih! Ih!