Masih seputar kebiasaan keuangan jelang pergantian tahun. Selain melihat apakah target-target keuangan yang dipasang tahun 2018 tercapai/tidak, biasanya saya juga tergerak untuk melakukan pemeriksaan kesehatan keuangan alias financial check up. Tidak berbeda dengan kondisi tubuh seseorang yang membutuhkan pemeriksaan berkala, seperti menempuh general check up; keuangan pribadi juga perlu ada pemeriksaan kesehatan berkala.
Momentum pergantian tahun ini menjadi saat yang tepat untuk menggelar pemeriksaan. Sehatkah keuangan kita? Pemeriksaan kesehatan keuangan alias financial check up ini penting karena bisa menjadi bekal penting kita ketika hendak memasang target-target keuangan baru. Dengan mengetahui secara obyektif kondisi keuangan pribadi, kita bisa terbantu memasang target keuangan di tahun yang baru dengan lebih realistis.
Misalnya, nih: dari hasil financial check up, ketahuan kalau kondisi keuangan kita kurang sehat akibat menanggung beban utang terlalu besar. Utangnya mahal pula seperti utang kartu kredit, utang kredit tanpa agunan atau utang pinjaman online (yhaaa!). Bila sudah begitu, tentu saja memasang target keuangan semacam membeli rumah pakai KPR atau ingin berlibur ke luar negeri dengan budget sekian juta, menjadi kurang realistis. Sehatkan dulu isi kantong dengan “membersihkan” utang baru, deh, terpikir untuk mengejar hal lain. Kira-kira seperti itu.
Eh, tapi gimana sebenarnya cara melakukan financial check up? Apakah perlu langsung mendatangi perencana keuangan profesional (bolehlah, call me aja, hahaha), atau bisa dilakukan sendiri? Pada dasarnya, kita bisa melakukan sendiri, kok. Memeriksa kesehatan keuangan akan semakin mudah apabila kita selama ini sudah rajin memiliki catatan keuangan pribadi.
“Gimana kalau belum pernah mencatat, minceu? Duit kemana larinya saja nggak tahu, huhuhu..”
Ya, mulailah sekarang juga untuk mencatat. Jangan tunda lagi. Mau sampai kapan menunda waktu untuk mengetahui wajah keuangan sendiri? Jadi, siapkah kertas, bolpen atau bisa langsung buka microsoft excel, dan mulailah membuat beberapa jenis laporan keuangan pribadi. Pertama, catatan arus kas tahunan dan bulanan. Kedua, catatan neraca keuangan pribadi. Dua itu sudah cukup untuk memulai.
Nah, bagaimana dan apa saja indikator yang bisa kita gunakan untuk mengecek kesehatan keuangan pribadi? Yuk, lihat di bawah ini:
Rasio utang (debt service ratio)
Keuangan yang sehat adalah keuangan yang tidak terbebani banyak utang melampaui kemampuan. Ini sebenarnya sesederhana prinsip “pasak tidak boleh lebih tinggi dari tiang”. Maka itu, memeriksa beban utang menjadi hal penting yang perlu kita lakukan untuk menilai tingkat kesehatan keuangan.
Debt Service Ratio berarti rasio kemampuan pembayaran utang. Rasio ini digunakan untuk mengukur apakah keuangan seseorang masih cukup sehat kendati menanggung utang, atau sudah terlampau “sakit” akibat beban utang yang terlalu besar? Cara menghitungnya mudah:
Debt Service Ratio= Total beban utang bulanan atau tahunan : Total pendapatan bulanan atau tahunan
Debt service ratio yang sehat maksimal sebesar 35%. Bila lebih dari itu, keuangan kita berarti kebanyakan beban utang. Perlu diperkecil sehingga kualitas keuangan menjadi sehat.
Langkah mudah menghitung sebagai berikut: Pertama, tulis dulu daftar semua beban cicilan utang yang kita tanggung dan harus kita bayarkan setiap bulan lalu jumlahkan. Untuk mengecek debt service ratio tahunan, maka yang perlu kita jumlahkan adalah beban cicilan selama setahun.
Kedua, totalkan jumlah penghasilan yang kita dapat selama setahun atau satu bulan. Ketiga, kita tinggal membagi antara total nilai cicilan utang bulanan atau tahunan dengan total pendapatan bulanan atau tahunan. Hasil pembagian itulah angka debt service ratio kita.
Mungkin ada yang bertanya-tanya: “Mengapa, sih, beban cicilan utang harus dibatasi maksimal 35%? Toh, misalnya mencapai 50% juga kita masih ada sisa pendapatan 50% untuk kebutuhan hidup sehari-hari…”
Pembatasan beban cicilan maksimal sebesar 35% adalah supaya arus kas bulanan atau tahunan kita tidak terganggu oleh beban cicilan utang. Asumsinya, dari 100% pendapatan yang kita dapatkan, selain untuk membayar cicilan utang, juga perlu dialokasikan untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, juga perlu untuk membiayai kebutuhan proteksi dan berinvestasi untuk tujuan keuangan masa depan.
Kalau seseorang memaksakan diri menanggung beban cicilan utang sampai 50%, bisa-bisa dia sudah tidak ada alokasi untuk menabung, dong. Bila sewaktu-waktu ada kebutuhan darurat, ujung-ujungnya lari ke utang lagi. Ini tentu sangat berisiko.
Rasio likuiditas
Rasio ini untuk melihat apakah keuangan kita memilki buffer dana darurat yang memadai atau tidak. Dana darurat penting sebagai antisipasi kejadian darurat atau mendadak yang membutuhkan kehadiran dana tunai segera. Dengan memiliki dana darurat yang memadai, seseorang bisa meminimalisasi tindakan berutang.
Cara menghitungnya juga mudah. Kita tinggal menjumlahkan aset-aset yang kita miliki yang sifatnya likuid. Seperti uang tunai dan aset setara kas seperti tabungan atau simpanan deposito bank, emas, reksa dana pasar uang, obligasi tenor di bawah setahun, dan sebagainya. Totalkan jumlahnya dan bagilah dengan nilai total pengeluaran rutin setiap bulan. Satuannya adalah bulan. Angka itulah rasio likuiditas. Angka ideal minimal 6 bulan.
Rasio tabungan
Menabung atau menyisihkan sebagian penghasilan saat ini untuk mengantisipasi biaya di masa depan adalah kebiasaan keuangan yang baik. Namun, ada baiknya kita tidak sebatas memaknai kebiasaan menabung ini dengan menempatkan dana di produk tabungan semata, ya. Prinsipnya adalah, saving atau “menyelamatkan” penghasilan untuk diinvestasikan di instrumen yang mampu tumbuh di atas laju inflasi.
Cara menghitungnya tidak sulit. Daftarlah nilai total tabungan kita lalu bagilah dengan total pendapatan tahunan. Sebagai contoh, saat ini gaji kita per bulan Rp7 juta sehingga selama setahun pendapatan total kita ditambah bonus dan penghasilan lain-lain mencapai kurang lebih Rp110 juta. Hitung punya hitung, total nilai tabungan kita mencapai Rp15 juta. Sehingga diperoleh angka rasio tabungan sebesar 13,63%.
Sehatkah rasio tabungan sebesar itu? Alhamdulillah, ya, cukup sehat (ucapkan ala Syahrini, haha). Rasio tabungan yang sehat minimal sebesar 10%. Semakin besar tentu semakin baik. Gimana kalau ternyata angka rasio tabungan kita masih di bawah itu? Ya, sudah saatnya kita masukkan resolusi keuangan 2019: memastikan 10% pendapatan untuk ditabung secara rutin 🙂
Rasio utang versus aset
Merasa kaya raya karena memiliki banyak aset berharga: mobil, rumah, ini dan itu. Kaya raya? Belum tentu. Cek dulu apakah kesemua aset tersebut layak disebut sebagai bagian dari kekayaan bersih kita? Soalnya, bisa jadi aset-aset itu didapatkan dengan dana utang. Menambah aset melalui fasilitas kredit memang sah saja secara keuangan. Cuma, tentu harus ada ukuran tertentu agar asset leveraging itu masih cukup sehat.
Hitung lebih dulu rasio utang versus aset, apakah masih normal. Rasio ini untuk menggambarkan seberapa banyak jumlah aset yang kita miliki, yang masih dibiayai oleh utang.
Cara menghitungnya seperti ini: daftar lebih dulu jumlah aset yang kita miliki, mulai dari aset likuid (uang kas, deposito, tabungan, emas, dan sebagainya, aset investasi (saham, reksadana, obligasi, etc), aset guna (rumah yang ditempati, mobil dan sepeda motor yang dikendarai, dst); masukkan pula aset yang kita sewakan pada orang lain atau piutang yang belum tertagih pada orang lain.
Nah, setelah menjumlahkan semua total aset tersebut, bagilah angkanya dengan total utang yang kita miliki. Angkanya harus di bawah 50%. Bila angkanya sama dengan 50% atau malah di atas itu, itu berarti keuangan kita masih kurang sehat. Kita punya PR untuk mengurangi beban utang.
Rasio solvabilitas
Apakah kita memiliki risiko kebangkrutan? Sama halnya dengan sebuah perusahaan, keuangan pribadi seseorang juga memiliki risiko bangkrut. Seseorang secara teknis disebut bangkrut ketika nilai total utangnya melebihi nilai total aset yang ia miliki. Nah, seberapa besar kamu berisiko menghadapi kondisi bangkrut? Caranya adalah dengan menghitung rasio solvabilitas. Angkanya harus di atas 35% baru bisa dikatakan keuangan kamu sehat. Jadi, bila ternyata rasio solvabilitas kamu di bawah 35%, berarti keuangan kamu perlu upaya penyehatan.
Rasio solvabilitas membantu kamu mengetahui porsi kekayaan kamu yang sesungguhnya terhadap total aset yang kamu miliki. Maka itu semakin besar angkanya, akan semakin bagus. Penasaran cara menghitungnya? Mudah, kok. Jumlahkan dulu semua aset yang kita miliki lalu kurangi dengan total kewajiban, kita dapatkan angka kekayaan bersih. Lalu, bagilah angka kekayaan bersih (networth) tersebut dengan total nilai aset tadi. Sebagai contoh, total kekayaan bersih seseorang adalah Rp3 miliar sedangkan total nilai aset Rp4 miliar. Maka, rasio solvabilitasnya adalah 75%. Artinya, keuangan orang tersebut masih tetap bisa bertahan kendati terjadi penurunan nilai aset hingga 75%, sebelum ia benar-benar divonis bangkrut.
Nah, itulah rasio-rasio keuangan yang bisa kita gunakan untuk mengecek kesehatan finansial pribadi. Gampang, kan?
Ingin memeriksakan kesehatan keuangan sekaligus dapet rekomendasi langkah keuangan yang tepat? Jangan ragu ngobrol sama saya. Klik di sini yaaa!