Era booming aplikasi teknologi finansial alias fintech (financial technology) di Indonesia sepertinya mulai memuncak. Hanya dalam selang beberapa tahun saja, startup fintech bermunculan bak cendawan di musim hujan. Seperti pernah saya singgung di tulisan ini, kemunculan banyak jasa keuangan membonceng aksesibilitas masyarakat pada gadget dan internet, bak pisau bermata dua.
Kemudahan akses pada pinjaman online yang begitu mudah didapatkan hanya bermodal KTP dan mengunduh aplikasi di ponsel, bisa membuka banyak sekali masalah keuangan di tengah masyarakat. Ini tak lain karena menjamurnya layanan fintech (khususnya yang menyediakan pinjaman online), belum dibarengi kampanye literasi keuangan yang memadai.
Tengok sebentar data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berikut ini:
Berdasarkan data OJK seperti yang saya kutip di atas, di Indonesia tingkat literasi atau pengetahuan masyarakat terhadap keuangan masih relatif rendah. Di sisi lain, indeks inklusi keuangan justru lebih tinggi. Ini bisa dibaca bahwa ada banyak masyarakat yang memiliki atau mengakses produk/layanan keuangan tanpa dibarengi dengan literasi finansial yang memadai.
Data itu saya kira masih relevan untuk membincangkan isu pinjaman online yang sudah memakan banyak korban tersebut. Bisa akses pinjaman tapi karena literasi kurang, jadinya malah membuka malapetaka. Mengutip CNN Indonesia November 2018 lalu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat, ada sekitar 283 aduan telah masuk dari kalangan peminjam fintech yang berasal dari berbagai kelas ekonomi.
Menurut LBH Jakarta, cara penagihan yang dilakukan oleh perusahaan fintech lending sejauh ini sudah banyak yang melampaui batas bahkan melanggar hak asasi manusia. Beberapa nasabah yang mengadukan persoalan mereka mengungkapkan, para penagih utang itu mengejar mereka dengan cara yang tidak manusiawi. Antara lain, meneror melalui telepon, Whatsapp dan SMS.
Bahkan tidak sedikit debt collector yang mempermalukan si peminjam dengan menagih utang lewat teman-teman si nasabah. Debt collector fintech tersebut bisa mengakses data pribadi termasuk kontak-kontak si peminjam yang tersimpan di ponsel.
Akibat cara-cara penagihan yang berlebihan tersebut, tidak sedikit dari para nasabah peminjam yang menunggak utang tersebut jatuh depresi bahkan nyaris bunuh diri. Nah, berita paling baru yang mungkin juga sempat Anda baca adalah kasus bunuh diri nasabah pinjaman online gara-gara utang.
Yang lebih parah, kebanyakan yang bermasalah dengan pinjaman online adalah justru yang meminjam pada fintech lending ilegal alias tak berizin. Runyam. Sudah terbentur masalah utang, dikejar-kejar debt collector, tidak ada pula institusi yang memberikan perlindungan karena ternyata meminjam pada rentenir online tak berizin.
Kalau sudah begini, gimana, dong?
Ada beberapa isu yang perlu digarisbawahi oleh para stakeholder atau pemangku kepentingan supaya kehadiran fintech yang memudahkan akses masyarakat terhadap produk/layanan masyarakat tidak berbalik menjadi kutukan mengerikan. Monggo disimak dan mari kita berdiskusi bersama :
1. Etika penagihan pinjaman online fintech ternyata belum diatur oleh OJK
Ya, Anda tidak salah baca. Saya sempat mengubek-ubek website OJK untuk mencoba menemukan apakah ada regulasi khusus yang sudah dirilis untuk mengatur etika penagihan nasabah pinjaman online sejauh ini. Dan saya tidak berhasil menemukannya 🙂
Saya sudah mencoba menanyakan pada sahabat-sahabat jurnalis, dan ternyata memang tidak ada aturan atau kode etika penagihan tersebut. Padahal, kebanyakan kasus pinjaman online sejauh ini, ya, seputar etika penagihan tunggakan utang.
Nurhaida, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, pernah mengungkapkan concern perlindungan konsumen fintech ini saat membuka Seminar Internasional Kebijakan dan Regulasi Fintech di Bali, Maret 2018 silam.
Menurut Nurhaida, perusahaan fintech harus menerapkan tata kelola perusahaan yang baik sehingga bisa mendorong transparansi. Termasuk transparansi hak dan kewajiban para pihak yang terlibat seperti investor, peminjam, platform, bank koresponden, potensi pendapatan, risiko, biaya-biaya, manajemen risiko dan sebagainya.
OJK juga meminta perusahaan fintech memberikan edukasi keuangan pada konsumen agar pemahaman tentang layanan fintech menjadi lebih baik. Nah, bagaimana implementasi pengawasan agar perlindungan konsumen fintech bisa dipastikan berjalan? Termasuk perihal tata cara penagihan utang para nasabah peminjam pinjaman online di fintech?
OJK sejauh ini memutuskan pengawasan fintech melalui self regulatory organization (SRO), seperti asosiasi. Dengan ekosistem seperti demikian, mau tidak mau, para peminjam pinjaman online di fintech juga perlu terus memberdayakan diri agar literasi keuangan terus meningkat. Bahasa mudahnya, jangan mudah tergiur untuk apply pinjaman online kalau belum paham betul risiko, biaya dan syarat+ketentuan yang ditetapkan.
2. Fintech ilegal gentayangan di dunia maya
Selidik punya selidik, rupanya kebanyakan kasus pinjaman online yang mengemuka adalah justru terkait dengan penyedia pinjaman online ilegal. Fintech lending ilegal ini belum berizin resmi, tidak tergabung dalam asosiasi. Jadi, memang murni merupakan rentenir online yang menawarkan jasa pinjaman dengan harga selangit melalui jalur daring.
OJK sempat merilis di akhir tahun lalu, ada sekitar 400-an entitas fintech ilegal yang beroperasi di dunia maya. Sebenarnya memang agak susah, sih, memberantas yang ilegal kayak gini. Ibaratnya, mati satu tumbuh sejuta kali, ya. Lagi-lagi di sini, kewaspadaan masyarakat nasabah yang perlu selalu tinggi. Kalaupun butuh mengakses pinjaman online, lebih baik cari yang memang berizin, deh. Jangan asal apply ke website pinjaman online yang tidak jelas legalitasnya.
Anda bisa memantau di website OJK nama-nama fintech ilegal yang rutin dipublikasi. Ya, biar enggak kejeblos jebakan betmen aja.
3. Akuntabilitas penyaluran pinjaman oleh fintech perlu diperketat
Apa yang menjadi kelebihan fintech lending atau fintech P2P lending hingga begitu booming dan mampu menyalurkan triliunan pinjaman? Tak dan tak bukan adalah tawaran kemudahan akses. Bila Anda mengajukan pinjaman ke institusi perbankan atau multifinance, niscaya persyaratannya jauh lebih rumit. Syarat nan rumit itu termasuk juga untuk jenis produk pinjaman tanpa agunan.
Nah, bandingkan dengan tawaran pinjaman dari fintech lending atau P2P lending. Yang saya perhatikan, kebanyakan fintech lending penyedia pinjaman bunga harian itu menerapkan kualifikasi debitur yang sangat mudah. Cukup bermodal KTP, foto diri, slip gaji, lalu diverifikasi oleh petugas fintech tersebut, pinjaman pun bisa langsung cair dalam hitungan hari bahkan jam. Gampang bingit. Apakah dengan data-data tersebut sudah cukup untuk menilai kelayakan seseorang mendapatkan pinjaman? Darimana fintech tahu kalau si calon debitur tidak memiliki tanggungan utang lain? Berapa beban cicilan utang memakan pendapatannya selama ini? Gimana arus kasnya?
IMHO, meminjamkan uang dengan bunga sangat tinggi (1% per hari itu tinggi, lho…..), hanya dengan syarat yang begitu mudah dan mungkin sejatinya si calon debitur kurang qualified, itu sama saja menjebak enggak, sih? 🙂
Ada banyak kasus di mana mereka yang bermasalah dengan jerat pinjaman online adalah karena aksi gali lubang tutup lubang memakai aplikasi fintech lending. Maksudnya gini, si A kejerat utang di fintech lending A, trus dikejar-kejar debt collector karena nunggak. Akhirnya, dia nekat apply pinjaman lagi di fintech B.. nunggak lagi, trus apply lagi terus.. dan yang bikin saya bertanya-tanya: “Itu fintech seterusnya gimana coba kualifikasinya kok ya masih terus kasi pinjaman ke orang yang sebenarnya udah kejerat utang yang tentu saja sudah tidak layak dikasi utang (lagi!)… duh…”
Beberapa dari kita bisa berargumen: “Yhaaa, kan sudah ada penjelasan syarat dan ketentuan berikut informasi risiko-risiko pinjaman, pun simulasi pembayaran utang… salah sendiri kalau masih juga kejeblos karena rakus berutang atau salah perhitungan…”
Errrr, sedih, sih, kalau denger begitu. Fintech walau orientasinya tentu saja revenue, teteplah kudu membangun sistem penilaian kelayakan debitur yang oke dan ketat. So, selain membangun sistem screening debitur yang bagus, kewajiban mengedukasi pasar itu harus terus menerus dilakukan….
Yha, at least biar ga disebut menjebak orang BU, deh. Haha. Piss ah 🙂
4. Kampanye literasi finansial perlu lebih masif: Yuk, berdayakan diri sendiri!
Ini yang banyak diremehkan. Satu sisi, oke untuk menuntut para penyedia pinjaman online itu untuk berinvestasi turut meningkatkan literasi keuangan bagi masyarakat secara luas.
Di sisi lain, kita sendiri, as individual, perlu banget terus berdayakan diri. Perluas pengetahuan finansial, rajin baca tulisan-tulisan edukatif seputar keuangan pribadi, rajin ikut seminar atau workshop, beli buku personal planning, dan sebagainya.
Kita sendirilah pada akhirnya yang harus bertanggung jawab pada kondisi dan keuangan pribadi. Jangan sibuk nyalahin orang lain atau nyalahin fintech, yhaaa :p
Our money, our responsibility. Our finance, our responsibility.
Setuju? 🙂