Masalah ekonomi menjadi penyebab perceraian nomer dua tahun 2017! Biar enggak jadi bom waktu, cari cara membahas keuangan rumahtangga bersama pasangan. Gimana caranya, ya?
Belum-belum mungkin sudah banyak yang jiper dengan tema ini, hihi. Bahas duit bersama pasangan? Meh. Sensitif temanya, rek! Mengusik soal uang, beberapa istri khawatir itu akan menyinggung harga diri suami (pendapat ini berpangkal dari pandangan mainstream bahwa suami adalah pencari nafkah utama). Beberapa suami, jauh-jauh hari sebelum menikah, sudah enggan mengungkap transparan keuangannya pada sang istri (dengan berbagai alasan). Sebagian yang lain memilih: “Ya udahlah ya, dijalankan saja dulu”. Ada lagi yang juga begini: “Keuangan tetap sendiri-sendiri ajalah, kan sama-sama kerja…”
Atau kayak gini: “Yang penting saya sudah berikan haknya, hak nafkah buat istri dan belanja rumahtangga… istri ga perlu tahu keuangan saya selain itu…” <—- yang kayak gini biasanya ya kaum paksu 😉
Anda yang mana? Hihihi.
Saya mau bikin pengakuan, ah. Ehem.
Sejujurnya, ketika belum resmi menikah dengan suami, kami memang tidak pernah membahas sama sekali tentang uang dan bagaimana nanti pengelolaan keuangan rumah tangga saat sudah menikah. Kebayang pun belum. Tapi, kami sudah sama-sama tahu berapa pendapatan kami berdua. Tapi, hanya sebatas itu. Tidak ada pembicaraan serius tentang “Bagaimana nanti kami mengelola keuangan bersama sebagai suami istri ?”
Saya (dan suami) mungkin termasuk yang begini: “Ya udahlah, ya…dijalankan saja dulu….nanti juga ketemu pengelolaan yang tepat bagi kami berdua…”
Idealnya, sebelum resmi menikah, pasangan calon suami istri memang harus berani saling mengenal satu sama lain spesifik tentang “keuangan”. Jadi, pas pacaran bukan cuma sibuk mengenal karakter kepribadian secara umum… penting juga mengenal kepribadian pasangan berkaitan dengan uang. Boros atau hemat. Demen ngutang atau demen ngemplang #eh, dan sebagainya.
Mungkin iya kebanyakan orang masih ada perasaan rikuh atau tabu atauuuu… khawatir disangka matre (?), hahaha. Padahal ya cepat atau lambat pasti harus dibicarakan. Hampir mustahil pasangan suami istri akan seterusnya jalan sendiri-sendiri terus soal uang. Pasti kelak berjalin kelindan dan pastinya akan banyak memicu drama. Terutama bila tidak didukung oleh kemampuan berkomunikasi antar pasangan yang baik.
Uang dalam pernikahan
Banyak pasangan muda yang terkaget-kaget ketika memasuki pernikahan. Segera setelah masa bulan madu usai dan suami-istri dihadapkan pada kehidupan sebenarnya, kehidupan sehari-hari, tidak sedikit yang tergagap-gagap. Panjang pendek masa pacaran tetap tidak menjamin seseorang tidak surprise dengan pasangan hidupnya, haha.
Wajar, sih. Yang dulunya hidup sendiri, urus apa-apa sendiri, bertanggung jawab pada diri sendiri, sekarang setelah menikah nyaris semua yang dibagi. Namanya aja disatukan, ye 😛
Nah, tantangannya pada akhirnya bukan hanya tentang adaptasi dengan kebiasaan hidup dan karakter pasangan. Perihal keuangan pun cepat atau lambat akan menjadi isu. Fakta yang tak terbantah adalah, masalah uang bisa menjadi sumber konflik berbahaya yang berujung pada perceraian. Amit-amit.
Data yang saya dapatkan dari Hukum Online, menyebut, pada tahun 2017 lalu, masalah ekonomi adalah penyebab nomer dua perceraian di Indonesia. Perinciannya, selama tahun 2017 ada 415.848 perkara perceraian yang masuk ke pengadilan agama. Dari angka itu, sebanyak 374.516 perkara sudah diputus. Nah, dari perkara perceraian yang sudah diputus, sebanyak 105.266 perkara dipicu oleh masalah ekonomi.
Ini adalah penyebab perceraian nomer dua setelah perselisihan dan pertengkaran terus menerus. Itu yang akhirnya sampai bercerai, ya. Kalau yang masih malu-malu ributnya, ya, enggak terdeteksi #eh. Tebakan saya, sih, pasti banyak, hahah. Pernah saya iseng mengamati timelinemedia sosial dan ngikik sendiri mendapati ternyata banyak, lho, buibuk yang sharingpostingan “setengah curhat” tentang keuangan rumah tangga.
Yang paling viral, sih, itu lho postingan tentang “perbedaan uang nafkah istri dan uang belanja dapur”, hahahah. Banyak bener buibuk yang curcol via postingan ini, hihi. Kode minta dikasi duit banyakan yak 😛
Empat tipe pengaturan keuangan rumah tangga
Sejauh yang saya amati, ada setidaknya 4 tipe pengaturan keuangan rumah tangga. Coba lihat Anda termasuk yang mana:
-
Tipe jalan sendiri-sendiri
Tipe pertama pengelolaan keuangan rumah tangga adalah “tipe jalan dewe dewe” alias sendiri-sendiri. Pasangan suami istri ini biasanya sama-sama bekerja atau memiliki penghasilan sendiri-sendiri. Nah, begitu menikah, tidak ada perubahan signifikan dalam hal pengaturan keuangan mereka sebagai pasangan. Masing-masing pihak memegang dan mengurus sendiri keuangannya.
Tipe ini juga biasanya memutuskan membuat rekening bersama (joint account)di mana masing-masing menyetor kontribusi penghasilan untuk keperluan operasional rumah tangga. Ada juga yang tidak membuat join accountdi mana si suami mentransfer sejumlah dana (yang disebut jatah nafkah bulanan) ke rekening istri.
Pada pasangan yang sudah lebih terbuka, tipe seperti ini biasanya tetap berbagi tugas. Misalnya, gaji suami selain untuk nafkah keluarga juga digunakan untuk membayar cicilan-cicilan besar. Sedangkan gaji istri khusus untuk tabungan dan pengeluaran di luar kebutuhan pokok.
Pengaturan keuangan dengan cara sendiri-sendiri seperti ini memiliki kelemahan. Kelemahannya adalah, keterbukaan keuangan antar suami istri cenderung kurang. Masing-masing suami atau istri boleh jadi tidak mengetahui persis berapa pendapatan pasangannya dan untuk apa saja selain untuk kebutuhan keluarga. Selain itu, tujuan keuangan keluarga pun berisiko susah berjalan dengan mulus. Yang terjadi, masing-masing orang menjalankan tujuan keuangan sendiri-sendiri.
-
Tipe suami sayang istri
Sang suami biasanya menjadi satu-satunya pencari nafkah di keluarga. Meski begitu, si suami menyerahkan seluruh pengaturan keuangan keluarga pada pasangannya. Istri bertugas seperti menteri keuangan keluarga yang menyusun dan mengatur anggaran untuk operasional keluarga maupun untuk tujuan-tujuan keuangan bersama seperti dana liburan, dana pendidikan anak, dan lain-lain. Termasuk mengalokasikan anggaran untuk kebutuhan pribadi sang suami, biasanya disebut juga “uang lelaki”.
Tipe seperti ini biasanya sangat bergantung pada kepiawaian si istri dalam mengelola keuangan keluarga. Selain itu, bila pada perjalanan ternyata pengaturan keuangan oleh si istri kurang baik, hal itu bisa menjadi masalah di kemudian hari. Akan lebih baik bila pengaturan keuangan di keluarga diserahkan pada pihak yang lebih piawai dalam hal pengelolaan keuangan dan tidak memiliki kecenderungan konsumtif atau boros. Kelebihannya, karena keuangan diatur oleh satu orang, tujuan keuangan keluarga bisa lebih terpusat dan terencana.
-
Tipe terpimpin
Tipe pengaturan ini biasanya dijalankan oleh pasangan suami istri yang sama-sama bekerja maupun ketika hanya suami atau istri yang bekerja. Misal, pencari nafkah adalah suami.
Pada tipe ini, keuangan sepenuhnya dipegang oleh sang suami sebagai kepala keluarga. Termasuk pengaturan anggaran keuangan keluarga dan strategi pencapaiannya. Sedangkan si istri tinggal menerima jatah nafkah pribadi dan kebutuhan dapur di rumah. Pengaturan seperti ini juga biasanya dijalankan ketika pendapatan suami sudah memadai untuk menutup seluruh kebutuhan keuangan keluarga tanpa membutuhkan “sumbangan” dari si istri. Sehingga, penghasilan istri dari pekerjaan sampingan, misalnya, menjadi pelengkap saja.
-
Tipe kerjasama
Pasangan suami istri biasanya sama-sama memiliki penghasilan rutin. Setelah menikah, mereka memilih menggabungkan pendapatan mereka menjadi uang bersama. Dari sana, mereka berdua membuat anggaran keluarga dan menyusun tujuan keuangan bersama.
Walau menggabungkan semua pendapatan, salah satu pihak ditunjuk sebagai manajer keuangan yang bertugas melakukan tugas rutin. Misalnya, membayar tagihan, menabungkan uang ke rekening khusus, dan lain-lain. Pasangan suami istri biasanya memilih pengaturan seperti ini karena dinilai lebih efisien dan lebih transparan.
Saya dan suami termasuk tipe ini. Kami tidak memiliki joint account.Rekening kami yang sudah ada, kami optimalkan untuk mendukung pengelolaan keuangan rumah tangga. Suami bagian menanggung tagihan rutin dan operasional. Saya kebagian menabung dan investasi. Juga bantu-bantu pos pengeluaran rumahtangga lain yang sifatnya tersier. Kayak jajan, makan di luar, belanja fesyen, dan sebagainya.
Bicara keuangan rumah tangga tanpa bertengkar, gimana caranya?
Isu uang memang sensitif dalam pernikahan. Berikut ini ada beberapa tips yang bisa kita terapkan agar bisa membicarakan keuangan rumah tangga bersama pasangan tanpa bertengkardrama:
1. Sadari dahulu latar belakang pasangan tentang uang
Setiap orang memiliki latar belakang khusus yang membentuk cara pikir dan pola tindakan mereka terhadap uang. Pengasuhan orangtua di sini sangat berpengaruh. Ada yang dibesarkan oleh orangtua pegawai yang terbiasa dengan penghasilan rutin setiap bulan. Bisa jadi dia belajar untuk menggunakan uang secara cermat dan hemat, terbiasa dengan budgeting.
Ada juga yang dibesarkan di tengah keluarga wirausaha dengan pendapatan tidak pasti. Orangtuanya mungkin tipikal YOLO –you only live once-sehingga setiap mendapatkan penghasilan dia akan memaksimalkan pemakaiannya. Alhasil, cenderung boros.
Saya dan Teguh sangat berbeda gaya. Saya dibesarkan di keluarga wirausaha di mana pernah merasakan hidup berkecukupan, pernah juga hidup prihatin. Hasilnya? Saya cenderung boros, gampang lapar mata, tetapi juga planning-minded.Saya tahu saya punya bakat boros maka itu saya harus mengimbanginya dengan perencanaan keuangan yang baik. Teguh sebaliknya. Dia bisa hemat secara alami tanpa perlu perencanaan ini itu.
Dengan memahami latar belakang pasangan tentang uang, kita bisa memilih cara pendekatan yang tepat untuk membicarakan keuangan rumah tangga.
2. Pilih waktu yang tepat untuk bicara
Memilih waktu yang tepat untuk bicara hal yang sensitif seperti uang, wajib hukumnya. Jangan berharap pasangan bisa merespon properlysaat kondisinya tengah lelah, hecticatau banyak pikiran lain. Yang ada malah berantem, haha. Emang gak mudah, sih, kadang-kadang menahan diri untuk mencari waktu yang pas. Apalagi kalau masalahnya udah runcing dan mendesak.
Kalau saya biasanya lebih senang ngomong dulu lewat Whatsapp. Lalu nanti disambung saat pillow talkkalau enggak ketiduran gegara ngelonin anak. Cara lain yang saya tempuh, setiap akhir bulan sesaat sebelum menerima gaji, saya menyusun bugdgetingdengan berbagai rencana pengeluaran dan pemasukan.
Nah, pas sudah selesai budgetingitulah, saya kasih lihat ke suami sambil membicarakan tema spesifik yang perlu dibahas.
3. Sampaikan secara efisien tanpa nada menyalahkan
Ini saya sempat baca di Kaskus, ada seorang ibu-ibu muda curhat di forum. Dia ingin suaminya menghentikan atau minimal mengurangi konsumsi rokok supaya uang dapur bisa ditabung. Sebagai calon ibu dia berpikir menyiapkan tabungan untuk kelahiran anaknya kelak. Tapi, dia gamang mau nyentil soal rokok ini.
Tapi, akhirnya dia bisa cari cara yang pas: dia beberkan catatan keuangan rumah tangga, apa saja belanja dapur berapa habisnya dan mana yang paling menyedot duit belanja. Dia sampaikan juga pentingnya menyiapkan tabungan untuk kelahiran anak. Dengan pendekatan itu, suaminya enggak marah dan setuju untuk mengurangi konsumsi rokok. Uang rokok yang biasa menghabiskan Rp500 ribu per bulan ditekan hingga tinggal Rp250 ribu. Sisanya ditabung, deh. Good job, buk!
4. Biasakan bicara keuangan secara rutin
Pilih waktu yang pas, misalnya setiap penerimaan gaji. Dengan memiliki waktu rutin, membicarakan keuangan rumah tangga tidak lagi menjadi sesuatu yang horror atau menyeramkan.
5. Ingat, emosi biasa terlibat
Bicara keuangan rumah tangga dengan pasangan bukan sekadar bicara uang. Ada harapan, ekspektasi, kekecewaan yang campur aduk di sana. Ya, namanya juga pasangan hidup, ya. Maka itu, penting banget menguasai cara komunikasi yang tepat agar isu keuangan ini tidak menjadi sumber konflik di rumah.
Nah, sudah siap bicara keuangan bersama pasangan?