Mengingat tanggal ini, tiga tahun silam. 27 Mei 2006.
Lokasi: Jogja, pondokan Sagan 844. Kamar nomer tiga di lantai dua.
Pagi itu, aku lupa tepatnya jam berapa. Sekitar jam enam pagi mungkin. Aku masih lelap di ranjang atas. Tidur tahap dua sebenarnya. Biasa, abis shubuh tidur lagi.. *kebiasaan buruk semenjak menjadi anak kos, yg sangat dibenci ibuku… dan diperangi beliau sampai sekarang, hihihi*
Aku tersentak kaget dari kasur. Kakak perempuanku, biasa ku panggil Mbak Uci, kebetulan sedang numpang menginap. Ia tidur di kasur bawah. Seketika ada guncangan itu, ia yang tidur di kasur bawah teriak mengucap istighfar, sambil mengguncang-guncang tubuhku supaya cepat bergerak. Namun, mungkin karena nyawa bangun tidur belum genap, pikiranku masih campur aduk, aku masih bengong. Bingung dan masih belum sadar apa yang sedang terjadi.
“GEMPAAAA!!!” teriak kakakku. Dari luar pintu, salah seorang teman kos menggedor-gedor berteriak supaya kami cepat keluar dari kamar. Kalau tidak salah itu si Viffah, atau Sari.
Di otakku saat itu tebersit: “Walah, akhirnya Merapi meletus juga…” Benar, awalnya aku mengira gempa itu adalah akibat Merapi meletus. Maklum saja, berminggu-minggu sebelumnya kabar Merapi yang kian aktif begitu intens di telinga. Jadi, saat itu pikiranku cuma satu: “Ini pasti kerjaan Merapi.”
Kamar kami bergoyang seperti kapal dilamun ombak laut. Ada suara mengerikan dari dalam tanah. seperti ada binatang buas yang mengerang keras jauh di dalam sana. Berderak. Keras. Kami sama-sama mencoba berdiri tapi terjatuh karena goncangan keras permukaan tanah. Berusaha menggapai pintu untuk keluar. Tapi karena selalu terjatuh setiap mencoba berdiri, akhirnya kami merangkak menggapai handel pintu…
Akhirnya pintu berhasil kami buka. Kakakku istighfar berkali-kali. Aku diam terkatup. Entah mengapa dalam keadaan panik seperti itu, mulutku malah terkatup rapat. Kehilangan kata-kata. Sibuk dengan pikiran sendiri. Istighfar hanya dalam hati. Bahkan sempat-sempatnya ketawa geli dalam hati melihat muka kakakku yang panik abis, berulang teriak istighfar dan terjatuh-jatuh saat mencoba menggapai handel pintu. hehehehe.
Di luar pintu, teman-teman satu pondokan sudah berkumpul. Viffah, Sari, Rina, Isma, Dina, dan yang lain-lain. Kami serempak menuju tangga turun. Eh, tapi lalu aku inget ada yang ketinggalan, jilbab masih di kamar. Bergegas kami berdua balik ke kamar, mengambil jilbab dan jaket. sembari berlari menuruni tangga, ku pasang jilbab dan jaket karena kebetulan kostum tidurku waktu adalah kaos kecil dan celana, heheheh..
Kami semua pergi keluar ke jalan raya. Tepatnya, jalan Cik Di Tiro, depan gedung pusat PP Muhammadiyah atau depan asrama putra mahasiswa Sulsel Jogja Latimojong. Beberapa orang-orang tampak tergopoh juga di jalanan, sama seperti kami. Dari jalan Cik Di Tiro, memandang lurus ke arah Bunderan UGM, tampak Merapi mengepulkan asapnya, tebal sekali. “Nah bener kan, Merapi akhirnya meletus juga,” pikirku. Jalanan pagi Jogja masih sepi. Hanya kami, beberapa orang yang berlarian melihat ke arah Merapi. Rumah Sakit Panti Rapih yang hanya berjarak sekian meter saat itu juga masih belum begitu terlihat sibuk.
Lalu, getaran mereda. Kami, penguni kos bapak Jafar Samaili, memutuskan untuk kembali ke kos. Saat itu pikiran kami, getaran ini tak akan berlanjut… toh Merapi sudah meletus. Sesederhana itu. Kami pun balik ke kos. Dan suasana pagi khas kos-kosan putri pun berlangsung. Ada yang kembali tidur-tiduran. Ada yang ke kamar mandi setor hajat. Ada yang mandi sambil nyanyi-nyanyi (siapa tuh? hehe). Ada juga yang memilih duduk2, ngobrol2 di ruang tengah. Oiya, mati lampu, jadi teve-nya enggak bisa dinyalakan. Aku memilih cuci muka, gosok gigi, dan ganti baju yang layak. Siap-siap siapa tahu ada yang gawat lagi. Karena listrik mati, harapan untuk mendapatkan informasi hanya dari radio. Teman-teman mendengarkan radio lewat ponsel. Di luar, suara sirene meraung-raung begitu dekat, keras sekali, tak henti-henti. “Kok sepertinya gawat sekali ya,…” feelingku buruk, dan tiba-tiba merinding.
Ternyata eh ternyata, suara penyiar radio Sonora kalau gak salah… menyebut kalau pusat gempa bukanlah Merapi, melainkan dari arah selatan sana: BANTUL. Sii penyiar bilang: di sana sudah jatuh ratusan korban tewas tertimpa reruntuhan, dan diperkirakan gempa susulan masih mengintai.
“Jadi, bukan Merapi, to? Ini gempa beneran dari laut… OMG!,” pikirku. Eh, belum sempat memutuskan apa-apa, tanah bergoyang lagi. Kali ini lebih keras. Jujur, saat itu aku takuuuuuuutttt sekali. Akhirnya, kami bergegas keluar lagi dari kos, mencari tempat yang lapang dan banyak orang.
Ke jalan raya. Bergabung dengan para tetangga yang mengungsi di pinggir jalan Cik Di Tiro. Ambulans hilir mudik di depan kami. Panti Rapih sudah padat orang. Dan, Ya Allah Ya Ghofaar…. banyak tergeletak orang dengan muka berlelehan darah, memar kebiruan…. belum lagi aliran orang yang naik pick up, truk, menuju panti rapih. Semuanya masih berpakaian seadanya: sarung, daster… dan luka-luka itu. Dan tubuh-tubuh tak bernyawa, lebam kebiruan, kotor oleh debu…
Aku penasaran. Ku ajak kakakku mendekat ke Panti Rapih. Di sana, ada mas-mas yang mukanya lebam dan matanya basah airmata, bajunya sobek-sobek. Otakku masih bingung. Sesuatu yang besar telah terjadi. Gatal mulutku bertanya: masnya darimana? ini kenapa? apa sebenarnya yang terjadi? dia menjawab: gempa, mbak… gempanya dari pantai. Rumah saya hancur, semuanya hancur, bapak saya ketimpa rumah dan meninggal…” jelasnya sambil sesenggukan. Ku belikan dia air minum, sekadar untuk menenangkan gemuruh perasaannya. Lalu, aku dan mbak Uci hanya terpaku.
Semakin ngeri rasanya. Aku mencoba menelpon rumah. Pasti Ibu dan Bapak sudah kuatir di sana. Sinyal hilang. Timbul. Hilang lagi. Sampai usaha kesekian akhirnya tersambung: “Ada gempa bu, di sini.. ya ya kami gakpapa, gak usah kuatir… kami ngungsi, gak ada yang luka. Jangan kuatir, doakan saja selamat…” kataku pada ibu. Ibuku bilang: “Hati-hati…. itu di teve katanya korban tewas sudah ratusan,” kata ibuku. Wuuiiihhh, aku tambah merinding. Edan, udah sebanyak itu? ini serius ya??
“Iya, ini sama temen-temen kos, gakpapa kok, iya iya doakan saja selamat…jangan terlalu mikirin kami,” ujarku sok menenangkan. Tit….tit….tit…. sambungan telepon terputus. Abis itu hape bunyi lagi, kali ini kakak lelakiku yang mukim di jakarta: “Kalian di mana? Gimana kondisinya? Usahakan pulang hari ini juga,” katanya lewat telepon. “Ya ya, nanti lihat nanti,” kataku. Saat itu aku dan mbak Uci mondar mandir bingung di jalanan antara Panti Rapih hingga Bunderan UGM. Hawa Jogja panas sekali ketika itu. Padahal belum siang…
Lalu, tiba-tiba di depanku, dari arah Kota Baru, berlarian orang-orang… berteriak: “Aiiirrr…aiiirrrr, cepat lari ke sana,” teriak orang itu sambil berlari menunjuk Merapi. Detak jantungku rasanya terhenti. “Ada apa Pak? Air di mana??!!” tanyaku setengah berteriak bercampur panik sambil tetap bergandengan tangan dengan kakakku. Bisik yg kemudian berubah menjadi teriakan panik: “TSUNAMI!!!!”
Itulah momen paling mematikan bagi nyaliku. Terbayang apa yg terjadi di Aceh. Libasan air setinggi gedung, sampai kapal pun terseret ke tengah kota. “Aku gak bisa renang….Aku belum siap mati….Kita mesti lari kemana….” isakku tertahan. Tuhan, hambaMu ini tidak bisa berenang, masak Kau tega??? gak lucu aahh!
“Airnya sudah nyampe Kota Baru,” seru orang itu. aliran darahku seperti terhenti lagi. Aku takut sekali. Seolah Sang Maut sudah tersenyum mengintai sambil kedip-kedip mata menggoda. Orang-orang di depan Panti Rapih semakin panik, ribut. Kami berlari tergesa sambil memikirkan mencari tempat tinggi kalau benar tsunami itu datang. Sempat terbersit pikiran, “Gimana kalau kita panjat gerbang UGM yg lumayan tinggi itu saja, atau manjat gentengnya Graha Sabha Pramana ya…itu lebih tinggi,” celetukku setengah putus asa setengah konyol.
Gerbang UGM tingginya sekitar empat meter. Kalau Graha Sabha Pramana adalah nama gedung pertemuan milik UGM yg di bangun di masa Soeharto. Biasa digunakan untuk acara wisuda. Sering juga dipakai untuk konser musik. Ku kira memanjatnya tidak akan terlalu susah dalam kondisi kepepet. Toh, aku pernah berhasil memanjat tembok lapangan Golf milik Petrokimia, saat mau nonton bola Petro vs Persipura… tinggi tembok itu sekitar 3 meter, tapi dengan bantuan tali dan teman-teman ^_^
kembali lagi ke Jogja.
TUHAAAN, AKU GAK BISA RENANG!!!! INI SUDAH TIDAK LUCU!! Aku merajuk dengan dada sesak menahan takut teramat sangat. Kalau ‘cuma’ gempa, aku merasa masih bisa survive. Tapi kalau sudah bawa-bawa air, apalagi tsunami, nyerah deh….
Syukurlah, tsunami hanya isu. Dan bapak yg tadi berteriak2 membawa isu tsunami akhirnya diamankan oleh orang2 di sekitar panti rapih, supaya kepanikan tidak kian menjalar… (Belakangan informasi yg ku dapatkan bilang, air yg muncrat di Kota Baru itu adalah saluran PDAM yg jebol. Konyolnya, ada salah satu reporter radio kenamaan T**jaya yg merilis kabar ancaman tsunami itu dalam live reportnya. Laporan palsu atau karena si reporter lebay pengin dramatis. Tapi yg jelas itu fatal dan sinting!)
Dan pemandangan di depan mataku sungguh memiriskan hati. Korban terus mengalir dari Bantul, memenuhi Panti Rapih. Kami bertangisan. Sirene meraung-raung, semua orang matanya nanar dan menatap kosong, kengerian di mana-mana. Hawa pekat oleh panik. Rumah sakit semakin dipadati korban-korban gempa. Tidak pernah merasa setakut dan sengeri itu. Kami tidak berani kembali ke kos. akhirnya kami putuskan bergabung dengan orang-orang yang berteduh di depan kantor Primagama yang bersebelahan dengan Asrama Latimojong. Dalam keadaan bingung, ngeri, takut, kami mencoba becanda… tentang apa saja.
Di pinggir jalan, seberang tempat kami berteduh, ada bapak-bapak berumur sekitar 40-an tahun, dia duduk di belakang mobil pick up. Hawa Jogja saat itu panas sekali. Menyengat. Sari menegurku: “Tolongin dong Bapaknya, kasihan, mbok disuruh neduh aja, kan panas di situ…” katanya. Aku melihat ke arah yang ia tunjuk. “Bilangin aja sendiri…” jawabku pelan.
Tapi Sari menggangguku lagi, yang tengah asyik melamun. Ia memelas memintaku berdiri. Luluh juga. Melihat punggung renta yang bengong di atas pick up di tengah teriknya Jogja. Akhirnya aku berdiri, melangkah ke arah mobil pick up. “Pak, monggo duduk sama kami di sana, lebih teduh. Di sini bapak kepanasan…,” sapaku… sambil melihat ke dalam pick up. Si Bapak melihatku dengan mata kosong. Belum sempat mulutku menutup, mataku mengikuti tangannya yang menunjuk ke arah tepat di sampingnya. Deg! Lututku rasanya lemasssss… merinding, dan entah apalagi rasanya. Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Sumpah aku shock. Di sampingnya terbaring bayi yang ditutupi kain sarung seadanya. Sedikit terlihat wajahnya yang memar-memar biru pucat. Sudah meninggal….
“Oohhh..,” cuma itu yang mampu keluar dari mulutku, sambil mengangguk tanda mengerti. Aku kembali ke tempat teman-teman dengan lutut lunglai, mata nanar, dan muka pucat. “Kenapa? ada apa?” tanya teman-teman bersahutan. Aku menghela nafas. “Bapak itu bukannya sengaja panas-panasan, dia sedang menunggui jenazah bayinya, di sampingnya….” jawabku. Sahutan istighfar dan innalillah langsung bersahutan. Aku kembali duduk dengan perasaan campur aduk. “Ini bukan mimpi ya??” tanyaku dalam hati.
Hari semakin siang. Beberapa kali terasa guncangan. Setiap itu terjadi, aku memejamkan mata. Mengucap istighfar dalam hati. Pasrah. Gimana caranya keluar dari sini… pikirku. Kota ini menjadi kota mati. Apa akan terjadi hal yang lebih buruk lagi, dan akhirnya kami semua mati muda di Jogja. Heroik banget. Tapi kan kami belum apa-apa. Masak udah mati duluan. Hehe. Mbakku ribut rendaman cuciannya yang sudah waktunya dicuci. Dan dia memaksaku menemaninya balik ke kos buat nyuci baju!!!! hahahaha. “Tinggal bilas aja kok. Kalo enggak sekarang ntar bau, kita kan enggak tau sampai kapan kita harus ngungsi,” rayunya. Kebiasaan merendam cucian. Ya ya, akhirnya ku temani dia balik kos. Ku bantu membilas baju. Dan ku temani naik loteng untuk menjemur pakaian. Hehehehe. Dari loteng ku lihat Merapi mengepulkan asap pekat. Syukurlah selama balik ke kos, tidak ada gempa. Cepat-cepat kami kembali seraya membawa perbekalan berupa baju2, dan kawan-kawannya.
Kakak lelakiku memaksa kami pulang. Telepon rumah masih berfungsi. Ia berulang menelpon kami. “Tinggalkan jogja secepatnya… kalian pulang ke gresik sekarang juga! Kalian enggak tahu udah seserius apa gempanya,” perintahnya. Bingung, mau pulang tuh naik apa? tidak ada bus yang jalan. Kota ini berubah sekejaban menjadi kota mati. Tidak ada angkutan umum yang jalan. Bagaimana mau nyampai Gresik??? Jalan kaki? Haha. Dan hari itu akhirnya kami memang tidak bisa langsung pulang ke Gresik.
Beranjak malam, kami tidak berani tidur di kos. Takut menutup mata. Takut tiba-tiba gempa mengguncang dan menimbuni kami dengan reruntuhan bangunan. Lalu mati tertimbun. Masalahnya, kami mesti tidur di mana??? “Kita ikut orang-orang saja, mengungsi ke Boulevard UGM… bawa tikar dan karpet seadanya,” usul salah seorang teman. Ok, kami balik ke kos untuk ambil karpet dan kebutuhan lain-lain. Bapak kos dan istri keduanya masih bertahan di kos. “Mati itu urusan Allah, ngapain takut, kami di sini saja. Insyaallah aman. kalau waktunya mati ya mati..” jawab bapak kosku saat aku mengajaknya mengungsi dan saat aku bertanya mengapa dia memilih bertahan di rumah: Apa enggak takut ketimpa atap pak?
“Ok, kalau gitu kami pamit ya pak, mau tidur di UGM,” kataku. Bapak kosku sudah berumur 76-an tahun, dengan dua istri, anaknya sembilan, cucunya sudah belasan. Dalam hati aku membatin: “Ya ya ya, pasrah mungkin berbanding lurus dengan umur ya.. hehehe…, kami masih muda Pak, amal masih sedikit, dosa udah banyak, masih pengin idupppp, hihihi.”
Langit jogja gelap sudah. Semua penduduk Sagan saat itu memilih tidur di jalan raya. Seperti pindang dijemur, hehehe. Pokoknya berleleran di ruang terbuka. Hanya bapak kosku mungkin yang bertahan di dalam rumah. Ditemani istri keduanya yg setia itu. Istri pertamanya di Kalimantan.
Di Bunderan UGM banyak kawan senasib. Kami gelar tikar dan karpet, mencoba meredakan hati yang ngeri. Mencoba becanda. Cuci mata melihat wajah-wajah Jogja yg muda dan enak dilihat, heheh. Surprisingly bertemu teman-teman kuliah. Becanda. Melupakan sejenak hari maut itu. Namun mendung dari arah Bantul sana sungguh gelap. Dan ya ya ya.. gerimis datang, langsung hujan deras… BUBAR SUDAH acara tidur bareng massal di Boulevard UGM yg legend itu…
Seperti gelandangan… itulah kami saat itu: belum mandi seharian, belum ganti daleman (oopss!), lusuh, lapar, bingung, tak tahu harus pergi kemana, baju basah kena hujan. Jauh dari keluarga, tak ada sanak saudara. Hiks, rasanya pengin ketemu Doraemon. Mau pinjam pintu ajaib. Akhirnya, setelah bertukar pikiran… setelah ada tawaran dari salah satu penghuni asrama Latimojong untuk menumpang di tempat mereka, kami putuskan untuk bermalam di sana saja. Asrama Latimojong lebih aman ketimbang kos ku yang letaknya lebih masuk gang sempit dan sesak bangunan. Latimojong dekat dengan jalan raya. Jadi, nanti kalau ada apa-apa, bisa langsung berlari ke ruang terbuka.
Semalaman di sana. Aku tidak bisa tidur sama sekali. Lutut rasanya lunglai terus. Bahkan aku sering salah mengira suara gemuruh jantungku…yang ku kira getaran gempa, hehehe, begitulah saking shock nya. Dan ternyata itu dialami juga oleh teman-teman yang lain. Mbakku yg hobi tidur itu pulas dengan mudahnya. Iri rasanya melihat mereka nyenyak dengan cepat.
Pagi datang, dan kami semua sarapan bubur ayam. Masih ada yg jualan bubur ayam, hebat yaa. Mulai berani kembali ke kos. Melihat kembali wajah bapak kos ku yang seolah bilang: “Apa gue bilang? aman-aman aja kan?” hehehehehe.
“KALIAN PULANG!!” lagi-lagi kakak lelakiku menyuruh kami pulang. “Pasti sudah ada bus ke arah Jawa Timur!!” katanya. Kami memang rada keraskepala, masih mikir ini itu.. yang urusan belum selesai lah, yang itu belum kelar lah. Tak mempan perintah kakak lelaki satu2nya, datanglah telepon dari Ponorogo, mbak ipar. “Dik, kalian tau korban gempanya sudah berapa? Sudah lebih dari tiga ribu. Masih mau di sana? heh?” kata mbak Vita, tegas padat jelas tanpa ada nada becanda. “hehehehe… iya iya, kami pulang,” jawabku sambil cengengesan. Mempan langsung deh, haha. Packing cepat, kami akhirnya berangkat naik bus cap setan yaitu Sumber Kencono (haha!) menuju Ponorogo, tempat mbak iparku dan keponakanku tinggal. “Udah tahu gawat gitu kok susah amat disuruh pulang,” komentar mbak iparku saat menjemput kami datang.
Sejenak lega, bertemu Kayla yang masih bayi. Masih tiga bulan. Terakhir menggendongnya saat dia masih berumur satu hari, bobotnya tiga kilo saat itu. Melihatnya tengah tertidur. “Ya ampun, kemarin masih tiga kilo sekarang sudah sebesar ini,” seruku takjub sambil menciumi pipi montoknya. Tidur Kayla nyenyak sekali.
Menjauh dari Jogja. Malam pertama di kota Reog itu aku masih kerap terbangun mendadak tengah malam, seperti orang kaget. ya, gempa itu seolah mengikutiku…
Sehari di ponorogo, kami akhirnya pulang ke rumah: Gresik. Di sana langsung jadi narasumber primer tetangga-tetangga dan keluarga besar yang penasaran dgn apa yang terjadi di Jogja. mbakku capek. “Kamu aja yang cerita, aku capek…” katanya. Hohoho. Emang aku enggak? hehe. Digelandanglah aku sebagai story teller, hehehehehhhh… rasanya seperti menjalani sesi interview marathon. Semua memeluk kami dengan mata berkaca: “Alhamdulillah kalian masih diberi keselamatan.”
Bapakku ketawa terpingkal-pingkal sampai matanya berkaca mendengar ceritaku di bagian “bertemu jenaza bayi di mobil pick up”. Ia membayangkan mukaku yg pucat ketakutan. Hahaha. Wong, anaknya yang satu ini biasa cengengesan eh dibikin kaget beneran. Bapak tahu aku sok pemberani, walau sebenarnya nangisan, hehe. Dan ibuku berkomentar: “Kamu memang ‘sekuler’ ya? Pas ada gempa kayak gitu kok diem aja, enggak ngucap istighfar.” Hahahahahah.. aku ketawa ngakak, ah ibuku ada-ada saja deh, hehe.
Seminggu kami menenangkan diri di rumah. Namun kami tak pernah gentar kembali ke Jogja.
hmm, tiga tahun kemudian… 27 mei 2009. Aku di sini. Di Jakarta. Usai bekerja.
Alangkah banyak yang telah terjadi dalam rentang tiga tahun ini…
Yah, masih ditemani kakak lelaki yg selalu baik. masih sering kontak dengan teman-teman kos (dua di antaranya saat ini tengah hamil muda). Masih ada kakak perempuanku yang akan tunangan bulan depan. Masih ditemani ibu yg bisa ku dengar suaranya lewat telepon hampir setiap hari. Masih ada kayla yg kini bahkan sudah tiga tahun umurnya, lucu cerdas dengan celotehnya yg selalu bikin hati terhibur. Masih dikelilingi orang2 tercinta, sahabat, dan keluarga.
Tapi, sudah tak ada bapakku tersayang. Yah, enam bulan setelah gempa jogja itu, bapak pulang ke haribaanNya, 22 Oktober 2006/29 Ramadhan 1427 Hijriah. Bapakku yg lucu dan suka nggodain anak-anaknya. Yg malam ini sebenarnya ingin ku ajak nonton bola MU vs Barca. Bapakku yang sudah lama tak sungguh-sungguh ku sapa lewat doa, karena anaknya kerap sudah terlalu lelah saat berdoa: Maafkan aku pak. Aku janji akan pulang, kangen bapak…
Semoga semua arwah korban gempa jogja tiga tahun silam mendapat ketenangan dan tempat yang layak di sisiNya. Amin.
Zendagi Migzara. Hidup terus berjalan…
***
gempa tektonik jogja terjadi pukul 05.55 selama 57 detik dengan kekuatan 6,2 skala richter. jumlah korban tewas hingga data 1 juni 2006 tercatat sebanyak 6,234 orang. korban luka parah 33,231 orang dan luka ringan 12,917 orang. pusat gempa ada di 25 kilometer selatan-barat daya jogjakarta. guncangannya terasa sampai ke surabaya.
credit pic: