Aku dan Sepak Bola

Sepak bola bagiku bukan sekadar olahraga yang indah. Sepakbola memberiku banyak kenangan, tentang bapak, tentang masa remaja dan pencarian jati diri, juga pertemenan…

Euforia World Cup 2010 di bulan Juni yang berhawa tak tentu ini, mulai menggelegak. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, di mana minat dan gairahku begitu padu mengikuti apapun yang terkait dengan pagelaran sepakbola paling besar sejagat itu, kali ini semangatku biasa saja. Tidak segila dulu, hehe.

Bahkan, sampai kini saya belum tahu mau menjagokan siapa. Mau menjagokan Brazil, rasanya kok sudah tidak menantang lagi mengingat Negeri Samba ini terlalu sering menang, hehe. Tim-tim yang lain? Aku belum terlalu tahu jeroannya, jadi tidak bisa menimbang dan memutuskan favorit. Mungkin karena energiku kini sudah banyak tersedot untuk hal lain. Tak ada waktu untuk sekadar membaca profil setiap tim. Dus, kendati bombardir media massa terus mengkampanyekan kehebohan gelaran World Cup, aku tidak terlalu terpengaruh. Rasanya biasa saja. Tidak heboh.

Untuk ukuran seseorang yang pernah begitu menggilai bola, hal ini terasa aneh, bagi saya sendiri tentunya. Apa benar aku kini sudah “tobat” alias “murtad” dari sepak bola yang oleh beberapa orang sudah layak disebut “agama” orang (post) modern itu? Hehe, rasanya kok tidak. Masih suka, namun sudah tidak segila dulu. Mungkin itu.

Sepak bola bagiku tetaplah olah raga paling menarik untuk dinikmati keindahannya. Aku ingat, pertama kali menonton pertandingan bola secara langsung adalah di Stadion Petrokimia Gresik. Masih kecil banget, mungkin masih TK. Bapak mengajak aku dan kakak perempuanku menonton di sana. Entah siapa yang main, sudah lupa. Mungkin Persegres atau Petrokimia, klub kebanggaan kota kelahiranku. Lawan siapa, aku juga sudah lupa. Yang masih remang tersisa di ingatan hanya rasa Lumpia yang dibelikan Bapak di stadion, hehe. Lumpia-nya enak.

Lalu, menginjak umur SD, perkenalanku pada bola mulai meluas. Di suatu malam yang nyenyak, tahun 1994, Bapak membangunkan kami, anak-anak perempuannya untuk ikut menemaninya nonton laga final Italia versus Brazil. Laga yang dramatis dengan kegagalan Roberto Baggio mengeksekusi penalti ke gawang Tim Samba. Tak terlupakan. Sejak saat itu, resmilah aku menyukai drama 22 orang mondar mandir rebutan satu bola selama 90 menit itu…

Setelah itu liga sepakbola baik nasional maupun asing kian akrab dengan keseharian. Aku ingat, masa-masa akrab dengan nama-nama seperti I Putu Yasa, Mustaqim, Kurnia Sandi, Widodo C. Putro, Eri Irianto, Kurniawan Dwi Julianto, Carlos De Mello, Jacksen F. Tiago, Darryl Sinerine, dst. Kotaku, Gresik, punya klub kebanggaan Petrokimia Putra. Di mana nama-nama pemainnya banyak juga yang tercatat sebagai anggota tim nasional Merah Putih. Inget hebohnya tim Primavera, cikal bakal timnas yang khusus disekolahkan pake duit negara ke Negeri Pizza, demi menimba ilmu main sepak bola. Inget juga ketika final Liga Indonesia Petro vs Persib yang diwasiti seseorang bernama belakang Chaniago. Inget kesalnya, karena gara2 wasit yang kurang fair, akhirnya Petro kalah dan Persib yang menang. Huh!

Saat stasiun teve swasta mulai rajin menayangkan liga sepakbola asing yakni Premier League dan Liga Italia, kegemaranku pada bola semakin menggila. Bukan hanya menongkrongi siaran langsung setiap Sabtu dan Minggu malam, aku juga mulai rajin membeli tabloid sepakbola, majalah sepakbola, juga mengkoleksi poster-poster tim dan pemain bola. Hampir setiap pekan, pulang sekolah, aku melipir ke pasar Gresik, beli poster bola yang dilego seharga Rp 500 per biji itu. Hahaha.

Bapak pernah kaget dan geleng-geleng kepala melihat kamarku… di mana ketika itu semua sisi dindingnya penuh dengan poster tim dan pemain bola. AC Milan, Liverpool, dan Barcelona, tiga klub jagoanku. Dan football player favorit, Patrik Berger, Maldini, Inzaghi, Boban, Eric Cantona, Davor Suker, David James, Zidane, Giggs, McManaman, Del Piero, Rui Costa, Batitusta, Romario, dst. “Ini kamar kok isinya gambar semua. Kamu mau jualan apa gimana? Ditempel kabeh ngene,” tanya Bapak. Aku cuma meringis. Hihihihi. Trus abis itu dengan sadar diri menyortir poster yang benar-benar perlu ditempel saja, heeee…

Ritual begadang juga seru. Bapak dan Ibu sudah mafhum dengan kegemaranku itu. Meski besok berangkat sekolah dengan mata mengantuk, mereka tak pernah melarangku melek, heheheh. Kakak perempuanku juga sama gibolnya. Kami sering melek bareng. Begadang yang berseni, hihi. Ketika tim jagoan kami berhasil membobol gawang lawan, kami hanya bisa jingkrak-jingkrak tanpa suara. Yang konyol, aku dan dia juga sering bertengkar dan perang dingin gara-gara saling ledek soal bola, hahaha. Kami bahkan pernah marahan gara2 “rebutan” pemain bola, hahaha. Yah, pemain gelandang penyerang asal Ceko yang gondrong ganteng bernama Patrik Berger, yang kami perebutkan dengan sengit.

Pertama melihat aksi Berger adalah di Euro 1996. Dengan rambut ikal coklat, memakai bando, ganteng abis! “Aku duluan yang suka, kok ikut-ikut sih? Itu punyaku!” cerocos kakakku. “Ih, aku juga dari tadi sukanya. Itu punyaku!!” seruku tak mau kalah. Geblek memang, hehe. Sampai Bapakku melerai. “Iki opo kok rebutan pemain balbalan..” katanya. Wkakakaka. Akhirnya, karena gak ada yang mau mengalah, kami terpaksa tidak bisa mengklaim Patrik Berger secara eksklusif, juga Liverpool, tim yang meminang Berger usai penampilan ciamiknya di Euro ’96 itu.

Dan setelah itu, selera kami jarang berseberangan. Sama-sama membenci MU dan Beckham. Sama-sama pengin nangis dan keewa berat ketika dalam tempo dua menit Muenchen ditaklukkan MU di final Champions 1999. Sama-sama sebel sama Inzaghi yang hobi diving di depan gawang lawan. Sama-sama mencurigai Juventus yang “disayang betul” sama wasit-wasit di Liga Italia. Sama-sama bersorak heboh dan “ngapok-ngapokno” Beckham yang kena kartu merah saat tanding lawan Argentina, haha. Dan seterusnya.

Di sekolah, selain berlaku seperti anak sekolah normalnya, aku juga inget rasa deg-degan setiap hari Senin. Hahaha. Apalagi kalau tim kesayangan kalah. Hmm, bisa jadi bulan-bulanan teman-teman yang menjadi “musuh”. Seperti aku yang sudah bulat menjadi Liverpudian, musuh bebuyutanku adalah para tifoso Red Devils alias MU. Bayangkan ketika kalah, seharian penuh mereka, laki-laki semua, akan meledek habis-habisan. Dan tak ada hal yang menyebalkan ketika itu dibandingkan menerima ledekan atas kekalahan tim kesayangan. Malah, tak cukup perang mulut, biasanya sampai kejar-kejaran dan gaprak-gaprakan, haha. Benar-benar konyol deh!

Teman-temanku juga sama saja gilanya. Di bangku SMP dan SMA, ada si Helmi yang setengah mati memuja Cantona. Atau si Uut yang fans berat Schmeichel. Rozaq dan Roni yang menggilai David Beckham, Zen yang fans setia Zidane, dan seterusnya.

Bola memang sudah lebih dari sekadar bola. Bola sudah bermutasi menjadi bagian dari identitas….

Memang, lebih seringnya aku lihat bola dari teve. Menonton langsung, orangtua tidak memberikan izin. Selain alasan keamanan, gengsi bola nasional masih belum mampu membetot minatku. Terakhir menonton adalah ketika aku duduk di bangku SMA. Tumben memang ketika itu Ibu kasih izin, hihi. Petrokimia versus Persipura. Aku dan mbakku pergi menonton ke Stadion Petro bersama teman-teman seumuran, kebetulan tetangga rumah, dan kebetulan lelaki semua. Mungkin sekitar 10 orang atau lebih, dengan tiket di tangan, kami pergi bareng.

Pengalaman tak terlupakan karena ternyata mereka mengajak kami ambil jalan pintas ke stadion, haha. Yaitu lewat lapangan golf Petro yang dikelilingi tembok yang tingginya sekitar tiga atau empat meter. “Gimana caranya?” tanyaku. “Ya kita panjat,” kata mereka. Weleh weleh, manjat tembok kepriyeeee??? “Bisa laaah!! Masak manjat tembok aja gak bisa,” tantang mereka.

Haha, mau tidak mau ku beranikan diri memanjat tembok… Meski ada tumpuan alias ancik-ancik, tetap aja memanjat tembok itu ternyata susyyaaah dan beraaattt, hahaha. Pas sudah nangkring di atas, giliran aku tidak berani turun. Wong cuma dikasih tali. “Ayo turun, pegangan tali dan pegangan tanganku sini,” seru salah satu teman. Pengin mewek, tinggi bener itu temboknya. Akhirnya ya nekat lagi, hehe.

Berhasil turun dan kami melenggang ke stadion, menempati bangku di mana para Ultras, sebutan untuk suporter Petro, berkumpul. Seru sekali! Sepanjang pertandingan, kami bernyanyi dan beratraksi menyemangati Petro. Petro menang, dan malamnya badanku rasanya “njarem” semua gara2 manjat tembok, hahaha.

Kegemaranku pada sepak bola pula yang pertama menyulutkan minatku menjadi wartawan alias jurnalis. Membaca tabloid atau koran yang berkisah tentang bola, review pertandingan, kunjungan ke stadion-stadion legendaris, benar-benar membuatku iri! “Asyik banget, ya, jadi wartawan, bisa jalan-jalan ke Anfield, lihat langsung Berger nggocek bola, Del Piero mbobol gawang,… Aku pengin jadi wartawan, wartawan peliput sepak bola,” begitu pikiranku ketika itu.

Sebuah pikiran yang kemudian ku ralat, haha. Di titik ini, saat aku sudah bisa mengklaim “wartawan” sebagai profesiku, dan sedikit banyak telah merasakan seperti apa ritme kerja pewarta berita, yang ada malah begini: “Apa enaknya nonton bola sambil terbebani laporan dan deadline??? Nonton bola ya nonton bola, tak ada deadline dan tak perlu bikin laporan. Begitu lebih seru. Kelar pertandingan, yang ada adalah makan-makan atau becanda seru dengan teman-teman, bukannya nulis laporan, hehe.”

***
Jadi, tim mana di World Cup kali ini yang ku jagokan? Aku masih belum tahu. Aku sekadar ingin mengucap rasa terima kasih pada sepak bola, yang sudah menyumbangkan warna dalam hidupku. Kenangan tentang Bapak, tentang masa kecil, tentang masa pencarian identitas, indahnya persahabatan, tentang keindahan permainan bola itu sendiri, juga tentang inspirasi…

-sambil menanti laga Inggris versus USA-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *