Gangguan kesehatan mental mengintai para ibu…. perlu kesadaran untuk merawatnya sebagaimana merawat kesehatan tubuh…
Hari-hari ini laman media sosial dihebohkan oleh tragedi Bu Kanti di Brebes. It is so heartbreaking. Saya tidak bisa membayangkan sedalam apa kesakitan yang dirasakan oleh ibu tiga anak itu sampai hilang kesadaran dan akal sehat, hingga sanggup membunuh dan melukai anak-anaknya sendiri. Tentu sudah sangat sakit parah… dan dia tak sempat mendapatkan pertolongan sampai akhirnya terjadi hal mengerikan itu…. tak terbayangkan pula trauma yang dirasakan oleh dua anaknya yang lolos dari upaya pembunuhan itu… semoga kasih sayang dan rahmatNya memeluk mereka semua…
Di negeri ini isu kesehatan mental memang belum populer. Baru banyak mengemuka dalam diskusi-diskusi publik di media sosial, tak sampai 10 tahun belakangan. Itu pun masih lamat-lamat juga karena kultur dalam masyarakat kita kebanyakan masih gampang menghakimi dan meremehkan tentang pentingnya merawat kesehatan mental ini. Padahal, kesadaran tentang pentingnya menjaga kesehatan mental ini bisa menjadi langkah awal pencegahan efek lanjutan yang lebih fatal. Termasuk yang sefatal kasus Brebes tersebut.
Membaca laporan di Vice.com ini, hampir semua kasus filisida atau pembunuhan anak oleh orangtua kandung, berpangkal dari gangguan kesehatan mental dalam derajat yang sudah sangat parah. Kondisi jiwa yang tengah sakit itu sebagai akumulasi dari berbagai macam faktor, mulai dari kemiskinan, ketidakharmonisan hubungan dengan orang terdekat-dalam hal ini adalah suami atau keluarga besar, stres atau tekanan menghadapi peran baru seperti dalam kasus filisida yang dipicu kondisi postpartum depression (depresi pasca melahirkan). Jadi, kasus-kasus itu kebanyakan bukanlah kasus di mana ujug-ujug si ibu gelap mata begitu saja. Naluri dasar seorang ibu adalah melindungi darah dagingnya. Bila sampai terjadi hal sebaliknya, sudah pasti ada gangguan jiwa yang sudah berlangsung lama dan tak sempat tertolong…
Kehadiran media sosial, saya kira, turut meningkatkan kerentanan kita mengalami tekanan mental. Banjir informasi yang sangat melimpah, bombardir berjuta gambar dan citra tentang gaya hidup “ideal” entah versi siapa, pamer kemewahan, ketimpangan sosial ekonomi yang kian menganga, isu ketidakadilan ekonomi yang masih belum berujung pangkal, lalu ditambah dengan pandemi memperparah semuanya. Tidak heran bila keluhan gangguan kesehatan mental makin banyak terdengar, bahkan banyak yang berujung bunuh diri atau kekerasan fatal seperti kasus Brebes itu.
Mengutip berita AntaraNews.com, kasus bunuh diri di Indonesia pada tahun 2020 terjadi 671 kasus menurut data Kepolisian RI. Sedangkan data Potensi Desa (Podes) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 menyebut, telah terjadi 5.787 kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri.
Perempuan lebih rentan alami masalah mental health
Mengutip studi yang digelar oleh Homewood Health United Kingdom seperti ditulis di sini, 47% perempuan berisiko tinggi mengalami gangguan mental dibanding dengan 36% pria. Perempuan hampir dua kali lebih mungkin didiagnosis depresi dibandingkan dengan pria. Berikut rangkumannya:
- 47% of women were considered at high risk of developing mental health disorders, compared to 36% of men.(2)
- 25.7% of young women have self-harmed – more than twice the rate of young men.(3)
- Women are nearly twice as likely as men to be diagnosed with depression.
- Women who have experience childhood trauma such as sexual abuse and physical violence are 3 to 4 times more likely to encounter depression as adults.(4)
- Women tend to experience more concurrent mental health disorders. Depression might be accompanied by anxiety, agoraphobia (feeling unsafe), panic disorders, somatoform disorders (symptoms of physical illness or pain that cannot be fully diagnosed), and post-traumatic stress disorder (PTSD).(1)
- Women have significantly higher rates of developing PTSD following exposure to traumatic events – at least double that of men.
- An alarming 80% of individuals with eating disorders are women, which has the highest overall mortality rate of any mental illness.(6)
Mengapa perempuan lebih rentan mengalami gangguan kesehatan mental? Menurut Ike Herdiana, pakar psikologi Universitas Airlangga Surabaya, posisi perempuan dalam kultur masyarakat kita dihadapkan pada banyak situasi yang membuat “beban” mereka lebih besar. Misalnya, perihal pengasuhan anak, seperti sudah jadi norma umum bila perempuan atau dalam hal ini seorang ibu memikul tanggung jawab lebih besar dibandingkan lelaki. Padahal mengasuh anak itu tugas sangat berat di mana perlu kerjasama yang baik antara ayah dan ibunya. Lha, iya, bikinnya berdua, masak iya abis itu yang urus ibunya doang, ya, ora mashoook maszheeeh…hehehe…
Kita beruntung bila saat ini suami kita memiliki kesadaran dan pemahaman yang sama tentang berbagi peran tersebut. Tapi, di luar sana nyatanya masih sangat banyak yang membebankan tanggung jawab besar itu hanya pada ibunya. Bukan cuma itu, tidak sedikit yang akhirnya memikul banyak peran sekaligus. Ya, sebagai ibu, sebagai pencari nafkah keluarga, sandwich generation juga, belum lagi bila apes dapet orangtua yang kurang supportif, ataupun mertua atau ipar yang toxic. Makin dobel beban yang harus dipikul.
Pengalaman saya…
Sebagai seorang perempuan, sebagai seorang ibu, saya tentu saja tidak kalis dari situasi-situasi penuh tekanan yang mengganggu kesehatan mental. Dilema saya kebanyakan adalah seputar menyeimbangkan work-life balance as a working mom, terutama saat masih harus bekerja kantoran beberapa tahun silam. Di satu sisi, saya tahu saya suka bekerja, saya butuh menyalurkan apa yang menjadi minat dan keahlian saya, ada pula kebutuhan aktualisasi. Selain saya juga suka bisa memiliki penghasilan sendiri. Saya terbiasa mandiri finansial dan ajaran orangtua yang utama adalah tentang kemandirian.. Di sisi lain, sebagai seorang ibu, menjadi lazim bila saya ingin mengasuh anak saya seoptimal mungkin. Apa daya, opsi remote working atau work from home kala itu masih sangat jarang. Masih sebuah kemewahan. Menitipkan anak ke daycare berkualitas juga tidak menjadi opsi, simply karena tidak ada daycare bagus di sekitar sini. Jadilah, memakai jasa pengasuh anak menjadi jalan keluar. Sebenarnya semua baik-baik saja, terutama ketika kita mendapatkan pengasuh anak yang penyayang dan amanah. Namun, tetap saja ada perasaan berkecamuk setiap kali terjadi hal-hal kurang enak: apakah saat anak tengah sakit, tengah GTM atau masalah lain… Perasaan kehilangan kendali, perasaan bersalah, perasaan tak berdaya, campur aduk menjadi satu. Para working mom pasti paham apa yang saya tuliskan di sini, hehehe.
Baca: Me-Time Itu Penting agar Tak Sampai Oleng
Ada satu momen yang saya ingat, di mana kala itu saya masih meeting di kantor berjarak 27 kilometer dari rumah. Saya melihat dari CCTV, anak saya yang kedua menangis rewel entah minta apa, dan si pengasuh hanya mematung tidak berbuat apa-apa. Saya tidak menyalahkan si pengasuh, ia sudah cukup banyak membantu saya dan yang terpenting -ia tidak pernah kasar pada anak saya. Ia hanya belum berpengalaman jadi ibu, sehingga secara instingtif dia juga bingung harus bagaimana merespon anak yang tengah menangis. Tapi, saya ingat rasa tak berdaya yang saya rasakan kala itu: tidak bisa memeluk anak ketika ia menangis dan butuh sekadar dipeluk agar bisa kembali tenang…
Ada lagi momen ini. Ketika itu pengasuh anak kami tidak kembali tanpa pamit setelah mudik lebaran. Kami pun terpaksa mencari pengasuh baru. Anak sulung saya, ketika itu berusia 4 tahun, belum cukup nyaman ditinggal dengan si pengasuh baru. Posisi saya bekerja di kantor sejak pagi, jatah cuti sudah habis dan tidak bisa remote-working. Anak-anak ditemani suami yang baru berangkat kerja jelang sore hari. Menjadi sebuah masalah ketika suami kemudian terburu-buru pergi tanpa sempat memberi pengertian yang memadai pada si sulung tentang keberadaan pengasuh baru ini. Apa yang terjadi?
Pengasuh dan tetangga saya cerita, anak saya tidak mau masuk rumah. Dia mutung, hanya berdiri sedikit lebih jauh dari rumah dan menangis. Sendirian. Sampai akhirnya jelang maghrib dia baru mau pulang ke rumah dibujuk tetangga saya (yang lebih ia kenal). Saya baru pulang jam 7 malam mendapatinya sudah tertidur lelap dengan baju yang masih sama dengan pagi hari itu (artinya, dia tidak mau mandi seharian itu). Bahkan airmata saya masih menitik saat menuliskan ini. Membayangkan perasaan sendiri yang anak saya rasakan ketika itu, saya merasa gagal menjadi ibu, saya marah pada suami yang kurang peka, saya marah pada diri sendiri. Di kemudian hari, saat saya. tanya pada anak saya apa yang terjadi hari itu, Attar menjawab: “Aku tidak mau ditinggal papa pergi ke kantor.. aku belum nyaman dengan mbak Ru (mbak yang baru)…” Sedih, bun, hehe….
Suami sebenarnya membebaskan saya bila memang resign adalah jalan keluarnya. Tapi, saya sendiri -yang sudah mandiri finansial sejak lama, merasa belum siap dengan perubahan besar seperti itu; di satu sisi kami masih memiliki begitu banyak rencana dan tantangan: rumah kami baru akan dibangun sehingga butuh stabilitas finansial, terlebih usaha rintisan kami sempat gagal hingga merugi puluhan juta rupiah, dan lain sebagainya. Kesemua drama itu terjadi selama lima tahun usia pernikahan kami. Berujung pada suatu malam di mana saya akhirnya ambruk dan dilarikan ke IGD karena gastritis kambuh, hehe. Di titik itu, saya tahu saya harus mau berusaha lebih keras mengendalikan rasa stres agar tidak makin merembet kemana-mana.
Baca: Saya Memulai Hari dari Jam 3 Pagi dan Hidup Saya Berubah
Alhamdulillah, akhirnya semua itu bisa kami lewati. Satu per satu urusan bisa kami benahi. Rumah berhasil dibangun. Drama pengasuh anak berakhir. Bahkan kemudian satu hal besar terjadi, persis ketika dilema memilih antara kantor dan rumah memuncak. Tuhan sendiri yang kasi jawaban: kantor tempat saya bekerja mendadak tutup, hahaha. Kepengecutan saya dalam memutuskan resign atau tidak, akhirnya dipilihkan olehNya. Mendadak pengangguran, wkkk. Tapi, saya ingat sekali kala itu justru saya merasa lega. Seperti disuruh liburan setelah sekian lama menanggung stres dan dilema sebagai ibu bekerja.
Kemudian, ketika merasa sudah cukup beristirahat dan ingin kembali bekerja kantoran, di kala saya tengah menimbang beberapa tawaran pekerjaan baru, eh, saya dikasi rezeki hamil, alhamdulillah. Anak ketiga. Kehamilan risiko tinggi karena lagi-lagi saya mengalami plasenta previa. Alhasil, lupakan back to office work. Saya bulatkan tekad bekerja dari rumah saja. Fase baru pun dimulai. Di rumah, hamil, self-employment, mengurus dua anak yang keduanya under 6yo, akhirnya tanpa ART yang resign karena harus urus anak juga di kampung, hehe.
Semua masih bisa saya nikmati. Sampai kemudian pandemi datang…
Pandemi, mengurus tiga anak -satu masih bayi, tanpa ART, masih bekerja walau sudah tidak lagi ngantor, tantangannya, ya, tetap saja ada. Overwhelmed adalah makanan sehari-hari, hehehe. Merindukan me-time yang sulit sekali didapat karena situasi pandemi membuat kami membatasi mobilitas, merasakan cabin fever -terkurung di rumah saja oh-wow-rasanya, haha. Ditambah lagi tantangan finansial mulai datang ketika pembayaran project banyak yang terganggu akibat pandemi; banyak project terhenti, dibatalkan, dan lain sebagainya. Meski perlahan kini kami bisa kembali ke titik stabil, alhamdulillah. Pelan-pelan yang penting jalan, wkkk.
Baca: Pandemi dan Tantangan Mental Health
Situasi yang saya hadapi sangat mungkin tidak ada apa-apanya dibanding yang dihadapi ibu-ibu lain di luar sana. Suami supportif, keluarga besar tidak ada konflik aneh-aneh, anak-anak sehat, keuangan tidak bermasalah, punya rumah nyaman… Di titik ini, saya menyadari, salah satu faktor terbesar mengapa kewarasan seorang istri bisa tetap terjaga atau sebaliknya bakal mudah goyah, adalah faktor suami. Suaminya berperan sejauh apa? Suaminya menjadi berkah atau justru menjadi kutukan?
Di tengah dinamika pernikahan kami 10 tahun terakhir, saya tetap merasa beruntung punya suami yang sangat supportif dan pengertian, yang mengenal sekali istrinya ini seperti apa. Sosok yang menepati janjinya untuk selalu memegang tangan saya apapun kondisi yang tengah aku hadapi, kami hadapi, seburuk apapun itu. Makasih, suamiku 🙂
Saya juga menempuh siasat lain agar tetap bisa bertahan: ikut workshop teknik merawat kesehatan mental yang dipandu profesional, menulis atau journaling secara rutin, meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah, meminta advis dari orang yang kita segani dan percaya, memperbaiki pola komunikasi dengan pasangan, membikin jadwal harian supaya lebih teratur agar risiko overwhelmed bisa ditekan, berbagi tugas dengan suami, mengurangi medsos yang toxic, baca buku yang inspiring, sering-sering menengok ke bawah juga membantu (bukan berarti mensyukuri kondisi buruk orang lain, lho, ya…), perbanyak sedekah -tak harus uang, sedekah ilmu juga berdampak positif bagi kesehatan mental. Menjadwal me-time dan quality time, dan lain sebagainya.
Saat saya membaca kasus Brebes itu, hati rasanya ikut sakit. Mungkin Bu Kanti tidak cukup memiliki support system yang kuat, mungkin suami tidak ada di sisinya, mungkin luka-lukanya sudah terlalu banyak dan terlalu dalam hingga rasanya seperti terjebak di limbo… berjuta kemungkinan yang kemudian menyeretnya terjatuh di titik fatal itu… siapalah kita menghakimi…
Depresi itu nyata. Depresi yang mengintai para ibu, adalah nyata. Sebagai sesama ibu, saya hanya bisa bilang, just hold on... Seberat apapun kini yang tengah kita hadapi, yakinlah kelak itu akan berlalu dan berganti. Tidak ada hari yang selamanya badai. Keep the faith. Bila sudah tak tertahankan, carilah pertolongan. Jangan ditanggung sendiri. Bila suami tidak bisa menjadi pendengar, atau bahkan suami justru menjadi sumber masalah, cobalah mencari bantuan di luar. Ada banyak support group yang bisa kita ikuti, yang dipandu profesional. Ada banyak kelas atau workshop online di mana kita bisa banyak belajar teknik mindfulness, merawat kesehatan mental. Bersihkan lingkungan dari toxic people, serap hal-hal positif dari orang-orang yang menebarkan kebaikan.
Buat para suami, please be more sensitive and proactive. Istrimu itu bukan minta kamu belikan berlian segede milik Maya Estianty, kok. Kadangkala istrimu hanya minta dipeluk lebih lama, ditanyakan kabar dan kondisinya, didengarkan curhatannya tentang apapun itu yang merisaukan hati dan kepalanya (sambil dibisikin kalo udah ditransferin duit jajan semiliar ke rekening, hahahaha). Kadangkala istrimu hanya ingin diberi waktu sejenak agar bisa menikmati drama korea tanpa interupsi anak-anak, atau sekadar ingin pergi sejenak keluar bertemu teman untuk ngopi tanpa khawatir anak-anaknya kenapa-napa di rumah.
Pahami lebih jauh bahasa cinta yang dibutuhkan oleh pasanganmu, sosok yang telah melahirkan anak-anakmu…mendampingimu dari bukan apa-apa hingga kini menjadi sosok bapack-bapack makin matang, makin hensem, hehehehe… don’t take it for granted…
Yang saya pelajari….
C’est la vie. Ya, itulah hidup….
Bak roda pedati, hidup kadang membawa kita ke atas, kadangkala ke bawah. Pilihan paling mudah adalah mengikuti putarannya saja. Melawan arah putarannya hanya akan membuang tenaga percuma. Kesadaran diri tentang tengah berada di mana kita dalam putaran roda itu sangat membantu agar kita tidak ngoyo dan lebih mudah nrimo. Serahkan yang berat-berat pada ketentuanNya saja. Berserah. Memang tidak mudah untuk sampai kesana. Kesadaran seperti itu seringnya naik turun. Tapi, itulah ultimate answer kalau bagi saya: Tawakkal. Berserah.
Tidak perlu ikut repot mengatur apa yang menjadi urusanNya. Bertindaklah seperti hamba. Jangan berlagak seperti Tuhan yang sok ngatur ini itu. Ikuti saja apa yang disodorkan dan berikan yang terbaik dari situasi itu.
Be kind to yourself. Save yourself before you can save others…
*) Photo by Sydney Sims and Dan Meyers on Unsplash