Kondisi ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Data-data sudah banyak berbicara. Pun testimoni para pelaku usaha di hampir semua sektor. Nuansanya semua sama: sepi, muram, lesu, kontraksi. Yang masih semringah investor saham IPO wkwkwk.
Meski beberapa kalangan kadang menyangsikan, bener gasih ekonomi sesuram itu? Lha kok konser musik sampai soldout, boneka Labubu diburu walo harganya mahal dst. Well, itu juga bisa dijelaskan kok, beb… ada yang namanya Lipstick Effect, hehe.
Kebetulan di tempat saya bekerja, kerjaan saya ya analisis data-data ekonomi. Sebenarnya tahun 2023 pun nada-nadanya sudah mirip kayak sekarang bila melihat data yang dirilis ya, dari data konsumsi rumahtangga, data survei konsumen, penjualan ritel, pertumbuhan kredit, aktivitas manufaktur, you name it…
Masuk 2024, agak bergairah karena apa? Benar, karena Pemilu 2024. Belanja pemerintah membesar berlipat-lipat. Lalu, masuk 2025, kembali lagi ke mode suram. Malah lebih suram dibanding 2023 karena lanskap global juga mengancam dengan perang tarif Amerika.
Beberapa indikator ekonomi sudah terlempar lagi ke level seperti pandemi sekira tahun 2020-2022 itu. Indeks ketersediaan lapangan kerja, misalnya, pada Juni lalu melanjutkan kontraksi alias penurunan menyentuh level terendah sejak Maret 2022 silam.
Indeks durable goods, yang jadi salah satu proksi daya beli konsumen, juga melemah terutama di kalangan konsumen dengan nilai pengeluaran terbawah, antara Rp1 juta hingga Rp2 juta per bulan per orang.
Pengeluaran untuk utang terbesar terjadi di kelas terbawah, hingga 2,1 poin persentase pada Juni. Hal itu terjadi bahkan ketika konsumsi kelas ini turun ketika tabungannya juga menurun persentasenya.
Pada Juni, alokasi konsumen untuk menabung juga turun, diduga tertekan oleh kenaikan kebutuhan konsumsi, sementara pengeluaran untuk cicilan utang meningkat di hampir semua kelas konsumen.
Data dari sisi konsumen itu klop dengan laporan penjualan ritel yang juga melempem. Bulan Mei, penjualan ritel terkontraksi lebih buruk ketimbang perkiraan. Sedang pada Juni agak naik sedikit tertolong Idul Adha dan dimulainya musim libur sekolah.
Tidak heran bila fenomena “Rojali dan Rohana” naik daun, ya. Bukan nama orang, melainkan sebutan untuk ‘Rombongan Jarang Beli’ dan ‘Rombongan Hanya Nanya’ di pusat belanja, hahaha. Indikasinya, kunjungan konsumen ke pusat belanja sejatinya masih naik tapi nilai transaksinya enggak. Jadi, makin banyak yang numpang ngadem sambil jajan es teh ama donat harga mal, anggaplah keluar duit 50rb per orang, wkk.
Redaksi KompasTV menghubungi saya untuk bicara di segmen Kompas Bisnis tentang jurus kelola keuangan ketika situasi ekonomi prihatin seperti sekarang dengan fenomena Rojali dan Rohana makin membahana.
Itu menjadi kesempatan saya pertama bicara di saluran TV Nasional, haha. Sebelumnya, saya baru mejeng di CNBC Indonesia TV – udah lama banget, wk. Juga di berbagai kanal podkes atau seminar, selain acara-acara offline tentang personal finance.
[tayangannya bisa dilihat di sini ya]
Fenomena Rojali dan Rohana adalah gambaran adanya adaptasi masyarakat menghadapi situasi keuangan yang ketat. Saya pribadi kalo ke mal ya masih jajan tapi sekadar jajan food and beverages aja, haha. Makan bareng keluarga, jajan cemilan hits, kadang-kadang mampir ke gerai pernak pernik beli apa kek yg lucu-lucu. Tapi beli baju, saya lupa kapan terakhir kali beli di mal, hehe. Beli sepatu ya masih di mal. Beli buku, kadang-kadang masih di mal juga.
Hanya, style belanja memang berubah. Ketika lihat barang, ya seringkali kita cek lagi di marketplace selisih harganya berapa. Jadi, ga selalu Rojali dan Rohana ini beneran ga belanja sama sekali ya. Mungkin masih belanja tapi geser ke online. Mungkin masih jajan tapi ga sebanyak dulu karena keuangan tengah sedikit lebih ketat.
Faktanya, kondisi ekonomi makro emang kurang baik belakangan. Banyak orang kehilangan pekerjaan, kehilangan penghasilan… laju penjualan ritel jadi lebih lesu… gitulah…
Pertanyaan besarnya: Bagaimana cara kita beradaptasi menghadapi situasi ekonomi yang makin menantang yang entah sampai kapan ini? Sebagian kalangan yang masih memiliki kelebihan duit, cenderung mengerem belanja, menambah tabungan.
Sementara sebagian lagi, sudah makin kehabisan duit, terancam melirik utang agar bisa tetap menutup kebutuhan. Sebagian lagi yang lain, malah sudah kejebak utang. Utangnya, utang pinjol pula. Hadeh.
Tahun 2025 ini, memang tahun yang tidak mudah bagi banyak orang dari sisi keuangan. Tak lain dan tak bukan adalah karena situasi makro yang seolah menuju puncaknya.. puncak kelesuan maksudnya.
Bila saat pandemi pecah kala itu, ekonomi memang mati suri alias resesi, namun somehow beberapa kalangan masih spending alias belanja karena duit tabungan masih ada. Namun, sampai beberapa waktu, ditambah kabar PHK yang terus bermunculan, tabungan masyarakat makin kempes sementara ketersediaan lapangan kerja ga nambah-nambah. Jadilah spending rumah tangga sejauh ini masih tidak mampu kembali seperti era sebelum pandemi.
Kata para orang pinter di pemerintahan, ekonomi kita masih menderita ‘scarring effect‘ pandemi, ibarat abis nyungsep nih jatuh dari sepeda, luka-lukanya masih pada bonyok semua jadi belum bisa mengayuh lagi. Itulah yang terjadi. Dalam lima tahun terakhir, yaitu 2019-2024, setidaknya 9,5 juta orang turun kelas ekonomi -dari kelas menengah menjadi kelompok calon kelas menengah.
Penduduk miskin memang berkurang. Namun, populasi kelas menengah makin turun sehingga di Indonesia saat ini penduduk didominasi oleh penduduk calon kelas menengah dan rentan miskin, dengan kisaran pengeluaran mulai 1 sampai 3,5 kali Garis Kemiskinan (GK).
Dengan acuan GK terakhir, yang termasuk kategori tersebut adalah bila kita memiliki pengeluaran mulai Rp582.932 – Rp874.398 per orang per bulan (rentan miskin) sampai antara Rp874.398 – Rp2.040.262 per orang per bulan (calon kelas menengah).
Jadi, bila dalam sebuah keluarga pengeluaran total sebulan Rp10 juta dengan jumlah kepala mencapai 5 orang, artinya per orang habis Rp2 juta, maka termasuk kelompok calon kelas menengah. Sedang bila pengeluaran per bulan 10 juta dengan jumlah orang 3 kepala, itu berarti sudah termasuk kelas menengah (pengeluaran Rp2.040.262 – Rp9.909.844 per orang per bulan).
Pandemi emang dahsyat mematikan ekonomi. Tapi, Indonesia diduga sudah ‘sakit’ bahkan sebelum pandemi, sih. Kajian dari Universitas Indonesia menyebut, kemerosotan jumlah kelas menengah yang mengindikasikan penurunan kesejahteraan, tak lain karena imbas terjadinya kemerosotan sektor manufaktur yang tak menjadi prioritas pembangunan. Istilahnya, terjadi deindustrialisasi prematur di negeri ini yang membuat kita bukannya makin tangguh, tapi struktur ekonominya memang keropos.
Oh, stop talking macroecomic, wkwk. Saya mau rangkum aja beberapa hal yang saya sampaikan ketika live di KompasTV yang tak semuanya bisa saya omongkan karena keterbatasan waktu dan karena saya lupa, wkk.
Disiplin prioritas
Dalam situasi ketidakpastian, ditambah kebutuhan makin banyak, harga naik sementara pendapatan segitu-gitu saja, bahkan terancam turun/hilang, kembalikan lagi disiplin prioritas pengeluaran. Fokus saja pada pengeluaran primer (untuk survival), wajib (komitmen), dan bila masih memungkinkan amankan future spending jangka pendek (future spending yakni pengeluaran yang pasti harus kita lakukan di masa mendatang, jangka pendek, menengah maupun panjang).
Pengeluaran primer, ya belanja dapur -sembako, BBM/transportasi, listrik, dsb. Pengeluaran wajib, cicilan utang, uang sekolah anak, pajak, dll. Future spending seperti uang pangkal sekolah anak, kurban Idul Adha, biaya mudik, dst.
Anda perlu fokus pada kebutuhan primer dan mendesak dalam jangka pendek. Abaikan atau tunda terlebih dulu kebutuhan yang kurang penting atau bisa ditunda. Beli baju, sepatu atau alas kaki lain selama masih ada dan berfungsi, lebih baik tunda dulu. Biaya langganan streaming yang jarang ditonton itu juga kurangi saja dulu.
Jangan menambah utang
Hindari menambah utang baru kala situsi masih tak menentu. Pastikan rasio utang tidak melebihi 30% dari pendapatan. Bila ada utang dengan bunga mahal yang bisa segera dilunasi, sebaiknya diprioritaskan untuk diselesaikan. Seperti utang pinjol atau utang paylater.
Godaan mengambil cicilan baru misalnya untuk membeli kendaraan listrik, berganti furniture rumah, ganti gadget, ganti mobil, sebaiknya ditahan lebih dulu sampai situasi perekonomian lebih kondusif dan stabil.
Perbesar dana darurat
Dana darurat berperan menjadi ‘sekoci’ ketika terjadi guncangan penghasilan yang mengancam daya beli membesar.
Bila dalam situasi ekonomi normal, alokasi untuk darurat mungkin cukup disisihkan dari 10-20% pendapatan, maka atas nama frugal living alokasinya bisa mulai Anda tingkatkan hingga 30%.
Naruh dana darurat bisa di deposito, reksa dana pasar uang, SBN tenor pendek, bisa juga di emas. Diversifikasi aja biar risikonya juga tersebar.
Nambah penghasilan
Berhemat ada batasnya. Tidak semua hal bisa dihemat. Gaya hidup pun seringkali sulit untuk diturunkan begitu saja.
Jadi, satu-satunya cara adalah menambah penghasilan dengan cari kerjaan sampingan. Orang Indonesia sudah biasa memiliki pekerjaan lebih dari satu karena seringkali gaji atau pendapatan yang didapatkan kurang mampu menutup kebutuhan hidup dan gaya hidup.
Iya saat ini situasi lapangan kerja di Indonesia sendu banget. Banyak kawan saya juga terkena layoff. Padahal sudah di usia yang susah masuk pasar kerja, sementara sekolah anak tagihannya sedang lucu-lucunya. Jadi, gimana caranya nambah penghasilan kalau lapangan kerja ga ada?
Saat ini sudah cukup banyak kesempatan bekerja jarak jauh alias remote working. Seperti menjadi Virtual Assistant, Affiliate Marketer, Social Media Strategist, hingga konsultan lepas.
Menjajal kerja sampingan dengan modal terbatas juga bisa, misal buka open PO makanan, minimal teman-teman yg pesen yekan, wkk. Jualan worksheet (ini lagi tren deh keknya), jadi reseller apapun itu (asal jangan narkoba aja dah, yang halal-halal aja), dst.
Ingat ya, modalnya jangan pake utang. Ga usah muluk-muluk dulu segala pake sewa ruko hahaha, mulai aja dari rumah dengan modal yg sudah ada.