Life in the time of Corona

Corona datang menjungkirbalikkan kehidupan secara brutal. Tanpa permisi. Tanpa basa basi.

Begitu lama tidak menulis di blog ini. Sejak saya bersiap-siap dengan kehadiran anak ketiga kami, hingga takdir mempertemukan kita semua, manusia di atas bumi ini dengan pandemik bernama corona. Namanya sungguh cantik, secantik artinya: mahkota. Tapi, kehadiran corona kali ini bukan untuk memberi kesan cantik. Sudah 1 juta manusia di atas bumi ini yang terinfeksi dan lebih dari 50.000 orang meninggal dunia akibat serangan virus bernama resmi Covid-19 ini…

Sebelum lebih banyak bercerita, saya ingin sedikit flashback ke awal tahun 2020. Saat matahari pagi pertama di tanggal 1 Januari 2020 belum lagi muncul, kejadian menyesakkan sudah muncul: banjir besar Jabodetabek. Saya ingat ketika itu… dengan kondisi perut besar dan keharusan membatasi aktivitas demi menghindari pendarahan akibat risiko plasenta previa, saya-suami dan anak-anak jalan-jalan keluar sekadar untuk makan malam di malam tahun baru. Gerimis kecil di Tangerang. Tahun baru yang sepi. Penjual terompet bisa dihitung dengan jari sepanjang jalan dari Cipondoh ke Gading Serpong. Lalu, kami sampai di rumah sekitar jam 9 malam. Anak-anak minta main kembang api. Lalu, mereka tertidur.

Saya lalu tertidur jam 10an. Terbangun karena suara petasan sekitar jam 11.30 jelang detik-detik pergantian tahun. Semakin mendekat ke jam 00.00 suara petasan dan kembang api makin kencang. Hujan berhenti. Suara kembang api baru berhenti sekitar jam 1 pagi. Lalu saya kembali tidur. Tapi terbangun-bangun terus karena mendengar suara hujan yang sangat deras. Khawatir air menggenang di taman belakang rumah. Kegelisahan itu ternyata beralasan. Suara hujan tak biasa. Saya cek twitter sekira jam 3 pagi dan ternyata banjir di mana-mana. Rumah saya memang aman. Namun, jalanan depan rumah tergenang. Beberapa kerabat yang tidak pernah kebanjiran seumur-umur, mendadak kebanjiran kali ini.

Dan ternyata musibah di awal tahun itu bukan yang pertama dan belum apa-apa. Bertubi-tubi berita buruk datang. Saya ingat menulis begini di laman Facebook.

Bulan Januari yang masih begitu muda, sudah terlalu banyak kabar tidak enak. Saya sibuk mempersiapkan kelahiran anak. Ya, karena plasenta previa menutup total jarak lahir dan karena saya sudah dua kali operasi sesar, kelahiran ketiga ini pun menempuh operasi juga. Alhamdulillah, di ujung Januari, anak ketiga kami lahir. Aidil Karim. Lancar tanpa drama. Cukup tiga hari dua malam di rumah sakit.

Ibu datang menemani hingga sebulan di awal-awal kehadiran si kecil lucu ini.

Untuk sejenak perhatian saya “terlepas” dari isu-isu di luar. Tapi 15 hari setelah melahirkan, saya sudah mulai bekerja lagi, hehe. Kerjanya cuma nulis, sih. Dan itu hobi saya banget. Jadi sebenarnya bagi saya itu rasanya kayak katarsis aja biar ga bosan urus rumah dan anak doang. Asyiknya, ya, dapet duit, hehe. Kerjaan lain terkait keuangan, pending dulu. Sepertinya di pekan-pekan itulah saya mulai memahami ada wabah penyakit di China sana. Samar-samar mendengar namanya… “Corona”.

Memasuki Februari itu, media mulai kerap memuat berita komentar para pejabat publik di negeri +62 ini yang cenderung meremehkan kegawatan wabah penyakit tersebut. Meremehkan, menyangkal, membuatnya jadi lelucon. Lalu lahir kebijakan-kebijakan ajaib: membuka lebar-lebar pintu wisata ke Indonesia bagi turis asing, menyiapkan anggaran influencer untuk promo wisata, dan sebagainya. Kita semua, sejarah negeri ini, mencatat tebal-tebal berbagai macam “keajaiban” yang susah dinalar itu menjadi bagian dari sejarah republik ini “menyambut” pandemi terdahsyat setelah kejadian flu spanyol.

source: @cakKhum

Lalu, awal Maret mulailah segala kekacauan itu menjadi benar-benar nyata.

Sejujurnya, di awal-awal saya masih cenderung santai. Bahkan saat Attar ada jadwal field trip naik Railink, kereta bandara di awal bulan itu, saya masih memberi izin. Meski akhirnya batal karena lebih banyak orangtua yang tidak setuju (kini, di titik ini, saya bersyukur field trip itu batal…huhu).

Sejak pengumuman pasien positif pertama Covid-19 di Indonesia, saya mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang wabah corona. Ketika itu, corona sudah sangat agresif menyebar di Italia. Kasus Italia yang paling merobek hati. Instingtif. Di situlah saya mulai merasa takut. Ini wabah yang sangat serius. We should do something. Saya mengajukan pembatalan acara akikah dan arisan keluarga yang dijadwalkan di akhir Maret. Saat itu, suami tidak setuju. Dia, seperti biasanya, lebih santai daripada saya. Dia belum menganggap corona sebagai ancaman nyata di depan mata. Tapi akhirnya ya memang acara itu kami batalkan.

Sejak banyak membaca tentang apa yang terjadi di Itali, sejak saat itu saya high alert mode on soal corona. Saya pelajari apa itu social distancing. Mengapa orang Italia di sana menyarankan “Cancel Everything” dst, dsb.

Virus ini mungkin benar bisa dilawan dengan imunitas tubuh seseorang. Tapi, kecepatan penularannya yang luar biasa, bertambah secara eksponensial, membuat jumlah orang yang terjatuh sakit akibat virus Covid-19 meningkat terlalu cepat sampai-sampai sistem healthcare di sebuah negara yang cukup mapan seperti Italia, ambruk begitu saja. Gimana Indonesia yang gak ada wabah pun sudah acakadul? Saya ngeri membayangkan. Puncaknya, 12 Maret, WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global.

Suami saya baru high alert mode on ketika mendengar kabar seorang menteri positif terkena Covid-19. Entahlah, malam-malam dia mendadak panik sendiri. Saya antara geli dan bersyukur, akhirnya kami bisa berada di level kewaspadaan yang sama 😛

15 Maret, Presiden RI menyampaikan pidato imbauan agar masyarakat membatasi aktivitas di rumah saja. Dua pekan setelah kasus positif Covid-19 resmi muncul di Indonesia. Agak terlambat, ya. Banyak pakar memperkirakan sejatinya corona sudah muncul di Indonesia sejak Februari…

Sejak corona nyata jadi ancaman, kami sekeluarga mengkarantina diri di rumah walau belum ada imbauan resmi dari presiden. Bahkan sekolah anak ketika itu belum ada kabar diliburkan. Saya sempat melempar isu ke grup WAG, tapi, ya, tidak semua orang punya concern yang sama, kan, hehe. Saya waktu itu akhirnya berancang-ancang sendiri, mau meliburkan Attar dari sekolah alias bolos saja kalau misalnya belum ada keputusan libur. Gak berani ambil risiko apalagi menyangkut keselamatan anak. Syukurlah akhirnya sekolah Attar mengikuti kebijakan pemerintah kota yang juga baru memutuskan di detik-detik akhir. Hmm.

Lalu, dimulailah kehidupan baru ini…

Everything is literally from home…

source: pexels

Suami resmi bekerja dari rumah. Attar juga bersekolah dari rumah. Menjalani hari dengan gurat-gurat kecemasan… setiap hari mendengarkan kasus-kasus baru bermunculan. Kabar korban meninggal yang terus bertambah, dokter dan tenaga medis yang juga menjadi korban Covid-19. Fasilitas kesehatan yang makin kewalahan, kelangkaan masker, APD, hand sanitizer, respon penguasa yang ah…tak cukup kata-kata menggambarkan betapa kecewanya saya sebagai rakyat…

Saya yang terbiasa bekerja dari rumah, tidak terlalu pusing sebenarnya. Tantangan utama adalah anak-anak. Mereka terbiasa bermain di luar rumah setiap sore. Bercengkerama dengan teman-teman, bersepeda, main bola, bermain bareng. Attar juga bersekolah tiap hari… mendadak semua rutinitas itu tidak bisa dilakukan karena tuntutan physical distancing. Anak-anak mulai stres. Saya harus ekstra sabar memberi pengertian. Sedikit menantang karena beberapa anak tetangga dibiarkan main begitu saja di luar tanpa pengaman apapun (no mask, no nothing…). “Itu mereka main di luar dibolehin.. kenapa aku tidak boleh?” begitu protes mereka. Tantrum deh. Saya kesal sama orangtua-orangtua ignorant itu, huhu. Mau gak mau supaya anak-anak tidak bosan di rumah dikurung kek gini, saya jadi banyak belanja mainan edukatif deh, haha.

Musibah corona ini memang luar biasa. Pandemi dahsyat yang sepertinya terjadi 100 tahun sekali.

Kini, menginjak bulan April. Masih #dirumahsaja… pada akhirnya, saya melihat ini sepertinya akan menjadi kenormalan yang baru. A New Normal.

Tidak ada yang bisa memastikan kapan wabah ini berakhir dan sampai kapan karantina ini harus dilakukan. Terlebih di Indonesia, sulit sekali mendapat gambaran yang akurat karena data yang dirilis tiap sore itu banyak diragukan para pakar epidemologi. Yang sudah pasti di depan mata, sih, Ramadan tahun ini akan sangat berbeda. Situasinya prihatin. Saya sudah menyiapkan mental tidak pulang kampung lebaran tahun ini demi keselamatan keluarga…

Berusaha menjalani yang harus dijalani. Menikmati yang bisa dinikmati. Menikmati lagi ketidakpastian. Misteri alam semesta. Meresapi lagi waktu. Melucuti sedikit demi sedikit obsesi kita pada kecepatan dan kerakusan pada banyak hal…

Sebosan dan se-matgay apapun kami #dirumahsaja, kami masih jauh lebih beruntung. Tidak khawatir tentang uang dan penghidupan. Anak-anak walau kerap bete dan bosan sejauh ini masih riang bermain, bisa berlarian bebas di rumah. Yang terutama, kami semua masih sehat. Terlalu banyak yang perlu kami syukuri di tengah pandemik memilukan ini.

source: pexels

So, what’s now?

Kami tidak tahu sampai kapan “ketidaknormalan” ini harus dijalani. Yang pasti, sekolah anak resmi ditutup hingga akhir Mei. Dengan kata lain, ya ini sama saja tutup buku tahun ajaran. Poor Attar. Banyak sekali kegiatan dia yang batal. Lomba drum band, field trip hingga rencana pentas seni perpisahan. Begitu juga rencana-rencana kegiatan selama Ramadan. Saya sendiri karena self-employed, tidak terlalu terpengaruh dari sisi mobilitas kerja. Wong, kerjanya memang banyak dari rumah. Suami juga lumayan terpengaruh. Walau kadang kerja dari rumah, dia sering ngantor pastinya sebelum ini. Kini, dia kerja dari rumah terus.

Perekonomian memang hancur karena pandemi ini. Seluruh dunia terkena imbas. Semua menderita dan menghadapi tantangan serupa. Bisnis pariwisata, perhotelan, semua langsung tiarap bahkan bangkrut. Gelombang PHK menerpa di mana-mana. Menghadapi situasi seperti ini, tidak ada gunanya panik. Yang perlu kita pikirkan, apa yang harus kita antisipasi ke depan dengan “kenormalan” baru ini? Bukan hanya keseharian yang berubah secara brutal; yang perlu kita pikirkan juga seberapa siap pertahanan kita termasuk dari sisi finansial?

Sampai vaksin atau antivirus Covid-19 belum ditemukan, kondisi akan seperti ini bahkan bisa lebih buruk dari hari ini.

Dana darurat.

Amankan dana darurat. Walau saat ini kita masih punya pendapatan, jangan foya-foya dulu, deh. Krisis corona ini diperkirakan bakal memicu krisis ekonomi yang lebih buruk dibandingkan krisis-krisis yang pernah ada. Ya sederhananya, tahun 1997 simply krisis finansial. Orang masih bisa menghitung kerusakannya dan apa yang bisa dilakukan agar lekas berujung. Kalau sekarang? Mana ada second waves segala serangan virusnya. Sampai antivirusnya ditemukan, dunia masih akan diliputi ketidakpastian akhir corona.

Pasar saham dan reksa dana tengah obral, apa ini saat yang tepat untuk masuk? Tergantung tujuan keuangan dan rencana kita saja. Bila dana darurat sudah aman, memanfaatkan momen kejatuhan harga instrumen investasi untuk masuk, sah-sah saja. Tapi, bila dana darurat belum aman, tahan dulu, deh. Amankan emergency fund lebih dahulu. Cash is the king. Tidak ada yang tahu di mana market bottom. Khusus kasus Indonesia, lebih tidak jelas lagi kapan ini akan berakhir menilik data yang kata para pakar kurang akurat. Ditambah pilihan metode penyelesaian yang juga tidak jelas. Makin tinggi tingkat ketidakpastiannya. So, it’s a long run. It’s a marathon. Bersiaplah.

Berhemat.

Ya, saya tahu #stayathome alias di rumah saja malah bikin pengeluaran rada bengkak terutama untuk anggaran perut alias makanan dan camilan. Sampai ada teman berseloroh. Ini wabah corona atau wabah kelaparan sebenarnya, hehe. Bisa dimaklumi. Stres terkungkung di rumah, sepertinya orang-orang jadi emotional eater semua. Di sisi lain, anggaran transportasi berkurang banyak dong, ya. Bensin jadi ga sesering dulu belinya. Tapi pos belanja camilan ama pulsa internet jadi bengkak, hehe. Ya, selama masih dalam batas wajar, gakpapalah. Daripada stres, yekan. Lempengin aja. Cuma, kalau boleh mengingatkan, jangan sampai kebablasan aja. Humble with your money maksudnya tunda dulu pengeluaran-pengeluaran tersier yang ga mendesak. Misalnya, ada rencana beli sepatu baru, ya tunda aja deh. Gabisa kemana-mana ini.

Berbagi.

Banyak yang menggelepar karena pandemi ini telah menyeret sumber penghidupan. Ini kesempatan untuk lebih banyak berbagi. Memberi tidak membuat kita miskin. Memberi justru memperkaya. Saya percaya itu. Ada banyak kanal untuk berbagi. Bisa melalui crowdfunding atau melakukan aksi langsung pada mereka yang terdampak paling parah akibat corona. Lihat sekitar kita, apakah ada yang perlu bantuan langsung. Corona telah memukul telak sektor informal.. para tukang ojek, sopir angkot, pemilik usaha kecil, salon, para buruh bangunan, ART, belum lagi sektor industri seperti perhotelan, maskapai, wisata, pusat belanja seperti mal juga tiarap semua…

It is our chances to spreading love, louder.

The new normal: Life in the time of corona.

Life goes on. Kita akan melewati badai ini, insyaallah dengan selamat. Aaammin. Saya kutip puisi dari Said Muniruddin yang cukup pas menggambarkan kedahsyatan corona. Mungkin juga itulah yang ingin disampaikan Tuhan lewat kebrutalan corona….

BUBARNYA AGAMA

~Said Muniruddin

Makkah sepi
Madinah sunyi
Kakbah dipagari
Masjid tutup
Jamaah bubar
Jumat batal
Umrah di stop
Haji tak pasti
Lafadz adzan berubah
Salaman dihindari

Corona datang
Seolah-olah membawa pesan
Ritual itu rapuh!

Ketika Corona datang
Engkau dipaksa mencari Tuhan
Bukan di tembok Kakbah
Bukan di dalam masjid
Bukan di mimbar khutbah
Bukan dalam thawaf
Bukan pada panggilan azan
Bukan dalam shalat jamaah
Bukan dengan jabat tangan

Melainkan,
Pada keterisolasianmu
Pada mulutmu yang terkunci
Pada hakikat yang tersembunyi

Corona mengajarimu,
Tuhan itu bukan (melulu) pada keramaian
Tuhan itu bukan (melulu) pada syariat
Tuhan itu ada pada jalan keterputusanmu
Dengan dunia yang berpenyakit

Corona memurnikan agama
Bahwa tak ada yang boleh tersisa
Kecuali Tuhan itu sendiri!

Temukan Dia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *