Kerjaan boleh dorong gerobak, tapi pendapatannya ga kalah ama mbak-mbak SCBD. Percaya?
Suatu hari di penggalan waktu silam kala saya masih menjadi pelanggan rutin commuterline, saya pergi ke stasiun Sudirman untuk pulang ke Tangerang. Kala itu, saya kebetulan bisa pulang lebih cepat dari biasanya. Matahari sore masih mejeng manis di langit Jakarta yang kelabu oleh polusi. Ini jarang terjadi. Biasanya saya baru sampai di stasiun usai maghrib.
Karena langit masih terang, saya pun jadi tidak terburu untuk pulang. Rasa hati mendadak ingin jajan. Di sekitar stasiun itu, ada banyak sekali penjual kaki lima beragam menu. Ada yang jualan bubur ayam, bakso, sampai madu Badui. Mata saya tertangkup ada gerobak bakso malang yang parkir persis di dekat pintu masuk Stasiun Sudirman. Bayangan tentang menyantap bakso malang dengan kuah panas, sambal pedas dan lezatnya bakwan malang berikut pentol bakso, bikin ngiler. Jadilah saya memesan semangkok.
Sembari menikmati bakso, iseng saya mengajak ngobrol kang baksonya. Kang bakso ini masih muda, paling belum kepala tiga usianya.
“Laris, bang, hari-hari?” tanya saya membuka obrolan.
“Ya, lumayan, mbak… Kadang sepi juga, kadang rame, hehehe,” jawab kang bakso.
“Buka lapak di sini aja atau di mana?” sambil ngunyah bakso yang sudah saya campur sambal banyak, duile enak bingit makan bakso pinggir jalan, haha.
Ia bercerita, wilayah operasional dia mendorong gerobak cuma di sekitaran Gedung UOB, Mandiri dan Stasiun Sudirman. Mulai jalan jam 11.30 sampai 20.30. Sembilan jam kerja setiap hari.
“Sehari bisa berapa duit, bang?”
Manakala baksonya laris, dia bisa kumpulkan uang Rp3,5juta per hari. Wih, syedep.
Sepahit-pahitnya saat sepi, si kang bakso ini mengaku bisa membawa pulang pendapatan Rp 2juta.
“Saya ini cuma bagian jalan aja, mbak.. bakso ama gerobaknya punya kakak saya…” jelasnya. Jadi, kang bakso ini hanya bertugas keliling menjajakan bakso aja. Urusan masak bakso bahkan gerobaknya, semua miliki kakaknya yang juragan. Kang bakso mengaku cuma keluar modal buat belanja plastik bungkus aja, antisipasi kalau-kalau ada pembeli yang mau bungkus bakso untuk dibawa pulang.
Perjanjian dia dengan sang kakak, setiap membukukan penjualan bakso sebesar Rp100ribu, dia bisa mengambil Rp25ribu. Artinya, pendapatan yang berhak dia ambil sekitar 25%. Dengan asumsi itu, pendapatan harian si abang bakso malang adalah antara Rp875ribu hingga Rp500ribu. Mediannya, katakan Rp687,5ribu per hari. Kurangi untuk makan, rokok dan lain-lain, dia bilang bisa bawa bersih Rp400ribu per hari.
Otak saya mulai berhitung.
Bila dalam sebulan, kang bakso bekerja 25 hari, penghasilan bersihnya mencapai Rp10juta per bulan. Asumsi dagangan rame, pendapatan kotornya bisa Rp875ribu x 25 hari, itu mencapai Rp 21,875 juta. Tanpa mikir modal, tanpa repot masak, hahaha. Bonus sehat karena jalan dan dorong gerobak setiap hari.
Bakso tandas dan perut saya kenyang. Kenyang pula mendapatkan inspirasi tentang kerja keras dan kepastian mendapatkan bagian rezeki yang sudah diaturNya. Tukang bakso ini, pembawaan woles, bermodal tekun dan jujur menjajakan bakso, rezekinya ‘toh ada saja. Jadi, bila kini kamu tengah menghadapi kebuntuan inspirasi dan keletihan menebar ikhtiar, tidak perlu kecil hati. Rezeki sudah ditakar, bahkan burung-burung serta cacing-cacing nan kecil di dalam tanah saja semua kebagian, kok, apalagi kamu: makhlukNya yang paling sempurna.
*) cerita ini terjadi pada tahun 2018 silam dan pernah saya bagi ke laman Facebook. Saat ini, bakso malang semangkok berapa harganya, saya kurang tahu. Selama pandemi, sangat jarang jajan pinggir jalan kagetan begini, hehe.
“I’m a great believer in luck, and I find the harder I work the more I have of it”
Thomas Jefferson