Harga barang dan jasa berlomba ganti harga alias naik tinggi. Inflasi tinggi tak terelakkan.
Bulan Juli ini bukan hanya penuh dengan cerita sobat bestie healing kesana dan kesini mengisi libur anak sekolah. Bulan ini juga menjadi bulan ketika pengeluaran rumah tangga menuju ke puncak dunia, wkkk. Sebetulnya tidak mengagetkan ketika bulan liburan sekolah yang otomatis diikuti pula dengan dimulainya tahun ajaran baru, pengeluaran rumah tangga jadi melejit. Tahun-tahun lalu juga gitu, kan?
Memang ada banyak pos pengeluaran tahunan yang harus kita lakukan bulan-bulan ini: sebut aja mulai dari pembayaran uang masuk sekolah (bagi yang anaknya baru masuk sekolah tingkat baru, entah masuk SD atau masuk perguruan tinggi, dsb), atau bayar uang daftar ulang, uang tahunan, uang buku dan sebagainya you-name-it.
Belum lagi ada pengeluaran ekstra untuk event wisuda, acara perpisahan -apakah itu cuma di restoran atau melipir ke tempat piknik terdekat. Dilanjut juga dengan belanja peralatan seputar persiapan sekolah: tas barulah, sepatu, seragam, perintilan ini itu, dan lain sebagainya. Intinya, pengeluaran tahunan terkait sekolah emang sedang lucu-lucunya di bulan ini.
Yang bikin Juli tahun ini “sesuatu”….
Saya ingat, Juli tahun lalu kita masih mendekam di gua aman masing-masing, bikin dalgona dan pie susu dan penuh traumatik membuka WA group saking banyaknya yang posting “innalillahi”… Ya, badai delta tengah mengamuk. Nah, Juli tahun ini berbeda lagi. Terasa “sesuatu” juga. Ofkors karena saat ini kita semua sebenarnya sudah berada di tengah pusaran badai inflasi yang ngeri-ngeri sedap, bestie. Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal Juli lalu merilis, angka inflasi tahunan pada Juni 2022 di Indonesia melejit ke level tertinggi sejak tahun 2017!! Tepatnya di angka 4,35% year-on-year. Inflasi tinggi ini sejatinya sudah diprediksi, sih, walau sebenarnya tinggi inflasi kali ini melampaui perkiraan juga.
Baca juga: 10 Adaptasi Finansial yang Saya Lakukan di tengah Pandemi Covid-19
Penyebab inflasi sudah bisa ditebak: kenaikan harga-harga bahan makanan yang volatile, biasa disebut volatile foods (karena banyak memiliki faktor kejutan seperti panen, gangguan alam, harga internasional dan sebagainya). Kali ini tersangkanya adalah cabai, telur, bawang merah. Inflasi yang paling besar disumbang oleh kelompok volatile foods ini melengkapi kenaikan barang kebutuhan pokok sebelumnya kayak minyak goreng. Walau para ibu-ibu yang biasa belanja di pasar pasti paham betul, kenaikan barang bukan cuma itu. HAMPIR SEMUA BAHAN MAKANAN DI DAPUR NAIK HARGA, YAKAN? Maap, pake capslock, hehh.
FYI, inflasi tinggi tanpa diimbangi kenaikan pendapatan maka yang terjadi adalah kita makin miskin alias mengalami pelemahan daya beli. Yang tadinya pake duit sejuta bisa dapet barang 100 biji misalnya, tapi karena inflasi/harga naik, maka duit sejuta itu kini cuma bisa bisa kasi 75 biji. Sederhananya kira-kira kek gitu lah.
Mulai Juli ini juga pelanggan setrum berdaya 3.500VA ke atas kena tarif baru, naik hampir 18% dari tarif lama yaitu dari Rp1.444,70 per kWh menjadi Rp1.699,53 per kWh. Pelanggan BBM dari provider luar juga udah merasakan kenaikan harga beberapa jenis BBM. Update terbaru, pemerintah membatasi konsumsi BBM jenis Pertalite hanya untuk mobil ber-CC di bawah 2000 CC. Maklum, pertalite ini masih dapet subsidi APBN, ya. Ketika minyak mentah dan komoditas energi terbang tinggi -salah satunya akibat perang Rusia-Ukraina, otomatis bujet subsidi jadi bengkak (walau, sebenarnya penerimaan negara juga tengah melonjak naik, sih, karena ekspor komoditas terkerek kenaikan harga komoditas energi…).
Selain memengaruhi komoditas energi, perang Rusia-Ukraina juga mengganggu rantai pasokan pangan. Presiden kemarin udah wanti-wanti agar kita bersiap kalau harga mi instan dan roti bakal naik. Perang yang terjadi sejak Februari lalu itu juga yang menjadi salah satu penyebab utama mengapa Amerika Serikat mengalami lonjakan inflasi luar biasa, tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Efek dari inflasi tinggi yang menyapu perekonomian global ini sudah membuat beberapa negara kolaps. Bank Dunia sudah merilis perkiraan sekitar 60 negara bakal ambruk ekonominya akibat pandemi dan krisis ekonomi. Lihat aja Turki dan Srilanka yang paling sedih…
Baca juga: Cara Gampang Menghemat Listrik Prabayar dan Listrik Pascabayar
Amerika Serikat, negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia (PDB Amerika menyumbang 25% ekonomi dunia), menghadapi inflasi tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Alhasil, bunga acuan mereka ikut melambung agar inflasi bisa mereka kendalikan. Imbasnya tentu saja kemana-mana, termasuk ke isi portofolio Andahhh, wahai investor ritel, hehehe.
Duit para pemodal global banyak yang keluar dari pasar finansial dalam negeri, balik pulang ke Amrik karena secara alami mereka nyari rente (baca: tingkat imbal hasil) lebih tinggi. Efeknya? Aset-aset rupiah di pasar finansial banyak dilepas. Buntutnya, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS makin tertekan. Para analis memperkirakan, harga dollar menuju Rp16 ribu. Kalau nilai tukar rupiah melemah, risiko imported inflation atau inflasi harga akibat barang-barang impor, juga ikut naik mengingat ketergantungan kita akan barang impor yang sangat tinggi.
Bunga tinggi di Amrik turut menaikkan ekspektasi bunga acuan di dalam negeri. Kemarin Bu Menkeu udah kasi sinyal ngeri-ngeri sedap terkait ekspektasi bunga acuan yang bisa berimbas ke bunga KPR, haduh haduh. Siap-siapa aja, ya, bila kesemua ini kelak ujung-ujungnya berefek ke peningkatan beban cicilan. This is the winter!
Risiko inflasi tinggi seiring makin terkendalinya pandemi sebenarnya sudah diprediksi oleh Bank Indonesia, saya pernah menyinggungnya di tulisan ini. Hanya memang, yang di luar prediksi adalah meletusnya perang Rusia-Ukraina yang makin membuat amburadul perekonomian dunia akibat rantai suplai terganggu.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan menghadapi situasi perekonomian kekinian yang terasa menyesakkan ini?
1. Selective buying – Belanja Cerdik
Kalau saya bilang kita perlu lebih serius berhemat, keknya, eneg juga dengernya, kan? Mau berhemat gimana? Wong, ceritanya saat ini adalah harga-harga kompak naik, yang dulu anggaplah belanjain duit Rp500 ribu ke pasar udah aman perut satu rumah selama dua pekan. sekarang paling-paling bertahan hanya ga sampai sepekan, wkk. Lha kalau dihemat lagi, makin dapet apa itu belanjaan di tangan?
Baca juga: The Latte Factor: Pengeluaran Receh yang Bisa Bikin Bangkrut
Bahasanya mungkin bukan berhemat, sih. Tapi, lebih selektif melakukan pengeluaran saja -eh, sama ga sih, haha? Misalnya, menyusun dan menjalankan meal-plan supaya belanja dapur bisa lebih efektif dan menghindari membuang bahan-bahan makanan karena keburu busuk, dan sebagainya. Bahkan, beberapa teman mengaku lebih memilih beli bumbu jadi di pasar ketimbang belanja bawang dan cabai sendiri. Sebotol bumbu merah, atau bumbu putih bisa disulap jadi aneka masakan, disimpan di kulkas awet pula. Jatuhnya jadi lebih irit dan lebih awet, plus praktis cocok banget bagi kaum anti ngonceki bawang. Ide yang cerdik, hehe.
2. Review lagi pengeluaran tetap
Kalau potensi kenaikan pendapatan masih tanda tanya besar, maka yang bisa kita lakukan adalah berupaya menekan dan menstabilkan pos-pos pengeluaran tetap. Apa saja, sih? Misalnya, nih, pengeluaran untuk langganan tv kabel dan internet rumah, ponsel pascabayar, langganan on-demand streaming seperti netflix dan kawan-kawan, pengeluaran listrik, air, dan lain-lain, ada banyak dan bervariasi tergantung pola pengeluaran tiap rumah tangga.
Di rumah, kami berlangganan tv kabel dan internet di salah satu provider dan dia mengenakan penyesuaian harga mulai bulan depan. Berhubung penyesuaian harganya masih di dalam batas bujet kami, ku tak melakukan apa-apa, sih. Beda cerita bila harganya jadi naik 2x lipat, misalnya. Opsi “putus aja, yuk” so pasti saya sodorkan, hihihi.
Baca juga: 15 Cara Menghemat Kuota Internet agar Kantong Tidak Jebol Selama Pandemi
Tarif listrik yang naik juga bisa jadi alasan mengkaji ulang lagi daya setrum di rumah. Sejauh ini memang baru 3.500 VA ke atas yang terkena kenaikan harga. Nah, kita bisa pertimbangkan untuk menurunkan daya agar bisa menghemat pengeluaran listrik dalam jangka panjang. Setahu saya, menurunkan daya listrik tidak dikenakan biaya apapun oleh PLN. Berbeda dengan kenaikan daya yang ada tarif sendiri. Hanya, bila kita hendak menurunkan daya setrum di rumah sudah tentu harus diikuti dengan perubahan gaya hidup kelistrikan dong, ya. Nah, udah siap belum? Jangan kemudian daya udah diturunin, eh segala apa tetep dicolok, wkk, yang ada jeglak jeglek makin rusak deh peralatan elektronik di rumah, hehe.
3. Tunda kebutuhan tersier
Apa yang termasuk kategori tersier mungkin berbeda-beda tiap orang. Bagi saya, yang tersier itu, ya, sebangsa fashion and apparel, furniture, homeware, dan sebagainya. Kebetulan sudah puas belanja kemarin-kemarin terutama saat lebaran, apakah itu baju anak, kerudung, baju, perintilan untuk hiasan rumah, dan lain-lain. Kalau skincare, suprais juga karena sejak saya pakai skin regimen yang sekarang ini eh kok irit bener belum abis-abis, haha (keknya sih karena saya yang ga terlalu rajin juga skinkeran, wkk). Tapi bener, kok, skincare saya murah meriah.
Cuci muka pake Garnier Vit C dan micellarnya, serum pake Your Skin Bae Avoskin yang ungu, tonernya YSB Avo yang kuning. Moisturizer pake Hadalabo 3D trus sunscreen pake Emina dan SkinAqua. Pas malem cuma nambahin Avoskin retinol aja. Untuk make-up juga ga ada pengeluaran lagi. Lebaran kemarin udah duluan belanja buat make up dikit, sih. Beli BLP Face Base sekalian ama concelear, Esqa palette, itu-itu aja… lipen pun murahan aku, pake Purbasari kesukaan yang lembab di bibir pas, hihihi.
4. Fokus pengeluaran terdekat yang lebih penting
Cara paling ampuh menekan keinginan boros adalah ketika kita ingat sebentar lagi ada pengeluaran penting yang tidak bisa ditunda, hehe. Misal, nih, udah deket Idul Adha, udah beli hewan kurban, belum? Amanin dulu itu.
Antisipasi juga jadwal bayar asuransi jiwa, bayar pajak mobil dan motor, dan lain sebagainya. Pengeluaran-pengeluaran tahunan ini memang idealnya sudah disiapkan dananya jauh-jauh hari sehingga ketika jatuh tempo tidak sampai mengganggu arus kas bulanan. Di sini, kita baru akan merasakan manfaat pentingnya financial planning dan pengelolaan keuangan sehat, ya, bestie!
Baca juga: Jurus Cerdik agar Bisa Kurban Idul Adha Tiap Tahun
5. Kerja lebih keras, lebih cerdas, lebih dan lebih…
Ketika kita sudah optimal berusaha menyesuaikan gaya hidup agar pengeluaran tetap bisa terpenuhi pendapatan yang kita miliki saat ini; tinggal satu cara supaya hidup tetap terasa leluasa dari sisi finansial: apalagi kalau bukan menambah penghasilan?! Kondisi perekonomian memang makin menantang, namun, tidak ada pilihan selain tetap semangat mengingat SPP anak tidak bisa dibayar pakai duit monopoli dan uang les ini itu si bocil juga tidak ada ceritanya gratisan, maka bekerja lebih keras dalam mencari cuan adalah keniscayaan. Lha, iya? Udah punya pendapatan aja makin hari makin digerogoti inflasi, satu-satunya cara, ya, menambah penghasilan agar daya beli kita tidak makin nyungsep ke got, wkkkk.
Yodah, semangat, yuk!! Kalau ada teman kita yang buka usaha nawarin barang ini itu, jadi makin rajin ngiklan di medsos mereka, atau isi WA storynya 100% dagangan, kasi support aja, ga perlu nyinyir. Syukur-syukur tunjukkan dukungan minimal kasi likes di medsosnya atau komen, jangan cuma dikepoin doang. Syukur-syukur juga dilarisin tanpa nawar, minta diskon apalagi minta tester gratisan atau malah kasbon!! Hina itu, kisanak! Hueheheh, piss ah.
6. Perbanyak doa
Semoga selalu sehat. Kesehatan itu aset termahal… badan yang jiwa yang sehat udah banyak banget bantu kita menjalani hidup lebih nyaman…
Semoga kondisi inflasi ini tidak makin memburuk, cicilan ga pake acara naik, sehingga pendapatan tetap bisa menutup pengeluaran.
Semoga krisis dan kejatuhan-kejatuhan yang sudah menimpa beberapa negara, tak sampai merembet kemari. Amin yang kenceng, yuk!