Bagaimana mengawali tulisan tentang kisah sedih? Sekadar membaca jejak-jejak kebahagiaan itu di blog inipun, hatiku perih… Tapi adakah pilihan lain? Sang Lex Divina hanya memberi satu pilihan : sabar dan ikhlaskan…
Dia sudah tidak ada… Benji, nama yang diberikan oleh suamiku untuk dia yang sempat bertumbuh di rahimku…
Ayahmu, antara feeling dan harapan, merasa kalau kamu baby boy. Mungkin dia berkesimpulan seperti itu karena melihat ibumu sejak hamil jadi banyak jerawat di wajah dan malas dandan, malas ngapa2in. Padahal biasanya centil, dan cerewet bin detail ngatur rumah plus kerapihannya.
Benji, nama kecil dari Benjamin. Terinspirasi dari mamahmu yang mengaji Quran, usai tahu hasil testpack positif.. dan ternyata dia sampai di surat Yusuf. Itu dia anggap sebagai pertanda, kamu lelaki. Tapi nama Yusuf sudah terlalu banyak, jadilah ayahmu memilih nama adik Yusuf : Benjamin. Benji… begitulah kami menyapamu, nak.
1 Juni 2013
Hari itu Sabtu. Setelah menuntaskan pekan nan sibuk, berbagai deadline dan mengurus pembelian mobil pertama kami… Ketika itu, di antara berbagai keruwetan mengatur waktu, ku hibur diri sendiri dan suami : “Tenang, ayok dibereskan semuanya pekan ini… Sabtu ini kan ketemu Benji…whatta perfect closing,” celetukku. Kami begitu bahagia. Jadwal kontrol Obsgyn rutin untuk bulan kedua, Benji masuk usia 10 minggu.
Dan aku bilang pada suami, untuk mencoba periksa ke RS Hermina saja, dekat dengan rumah. Sandy, kolega kantor, merekomendasikan itu. Istri dia sudah dua kali melahirkan di sana dan kata dia cukup nyaman. Biaya ya so so lah. Pastinya tidak semahal RS Medika di mana aku memeriksakan kandunganku pertama kali. Walau biaya ditanggung kantor, tak bijak juga kan jika berlebihan…
Jadilah kami pergi kesana hari Sabtu itu, pagi-pagi. Hawa Sabtu mendung dan menyenangkan pergi keluar rumah sepagi itu. Sampai di sana, dapet nomer urut 14 ke Obsgyn bernama dr. X. Kesan pertama terhadap rumahsakit itu cukup menyenangkan. Apa mungkin karena terbantu mood-ku yang tengah sangat ceria karena bakal ketemu si kecil, melihat perkembangannya…
Sungguh penasaran karena sebulan terakhir aku merasakan perutku semakin membesar… Ayah Benji sampai tak henti-henti terpana melihatnya…dia ciumi pagi malam, dia lihatin stiap ibumu sibuk berbenah dan berdandan sebelum pergi kerja.
Antrian cukup panjang memang dan sempat terhenti karena si Obsgyn ternyata sempat turun untuk mengoperasi pasien… tak apa, pikirku. Bahkan aku berniat akan terus kesini sampai melahirkan kelak demi melihat rumahsakit yang terasa nyaman.
Lalu tibalah giliran kami dipanggil. Degdegan dan hanya pikiran baik yg ada di kepala kami, i’m sure. Tidak ada feeling jelek apapun. Tanpa berbasa-basi terlalu lama, dokter menyuruhku tiduran untuk USG. Dan dimulailah adegan yang kemudian mengubah dan mengacak-acak mimpiku…
“Itu benar tanggal HPHT-nya, mbak? Salah catat kali…” kata dokter.
“Bener kok dok, saya lingkari kalender kantor… 25 Maret… kenapa memang, dok?” tanya saya. I have no clue.
“Ini janinnya enggak kelihatan soalnya? Ini kantong janinmu, tapi saya enggak lihat janinnya…” jelas dia.
“Wah masak sih, dok?” saya masih berusaha positif thinking.
Lalu dokternya panik sendiri. Dia bahkan sampai lupa cara membesarkan (zooming) alat USG itu. Di layar, aku dan Teguh sama-sama melihat… ukuran kantong janin di rahimku itu semakin besar, jauh lebih besar dibandingkan saat pertama kali USG di Medika sebulan lalu. “Itu apa dok?” tanyaku menunjuk putih yang berkedip-kedip.
“Itu dia, saya tidak tahu itu apa. Apakah itu janinmu, tapi enggak jelas mungkin saking kecilnya… saya belum bisa pastikan. Kamu dua minggu lagi coba periksa lagi, jika tidak ada perkembangan ya harus kuret,” celetuk dia. Seperti petir di siang bolong dia menyebut kata-kata yang sama sekali tak pernah terlintas di kepalaku itu.
“Kenapa harus kuret dok?” tanyaku dengan suara mulai bergetar. Teguh ikut bereaksi. “Coba dilihat lagi dok…” kata dia.
“Ya kalo dibiarkan kasihan ibunya…makanya harus kuret,” dokter itu ngomong, begitu entengnya, meski muka dia terlihat rada panik. Mungkin karena melihat mukaku mendadak pias.
Hati saya hancur…
Lalu dia menyuruh saya turun dan duduk di kursi. Tanpa berbasa-basi menanyakan profil… dan tanpa menjelaskan lebih jauh mengapa janinku tidak terlihat (bisa jadi karena alat USGnya kapiran kan? kenapa dia ga memutuskan melakukan USG transvaginal agar bisa diobservasi lebih jelas? dst dsb). Dia cuma bilang, balik aja dua pekan lagi. “Banyak-banyak berdoa ya…” kata dia.
Aku sudah tidak mampu mikir. Wajahku pucat, lidahku kelu dan ku rasakan kakiku lemah banget saat melangkah keluar dari ruangan itu. Teguh memelukku, mataku masih nanar menatap entah. “Itu tadi ada titik putih kedip-kedip… itu Benji kan sayang…Aku mau ke dokter lain yang USG nya lebih bagus, kalo bisa yg 4D,” kataku. Teguh menenangkan, mengiyakan…
Tapi hati ini terlanjur hancur…
Saat dia membayar ke kasir, mataku mulai panas. Aku takut sekali. Ku elus-elus perutku, sambil mengajak janinku berkomunikasi.
“Mau tetap ke Gramedia? Kita nanti ke dokter lain, sampai empat dokter pun tak apa… cari dokter yg lebih bagus…” hibur Teguh.
Aku mengangguk. Aku pernah baca pengalaman seorang ibu di internet, dia divonis juga sama, janinnya enggak ada dan kandungannya harus dikuret. Dia sampai datang ke empat dokter, dan setelah dokter kelima baru janinnya kelihatan…
Kata-kata “kuret” itu sungguh merusak isi kepalaku hingga aku tak mampu mengingat kata-kata lain dari dokter tadi kecuali kata mengerikan itu.
“Kenapa dokter tadi langsung seperti itu ya sayang… kenapa dia gak menimbang perasaan kita, ini kehamilan yg keberapa, kemungkinannya apa… kenapa dia langsung nyebut kuret begitu mudahnya… aku yakin Benji ada… kamu sendiri tadi lihat kan, ada yg kedip-kedip di layar.. itu Benji…. sudah bernafas…” ujarku dgn tak perasaan tak karuan. Teguh memelukku. Ku lihat sekilas matanya, dia pun sama.. takut dan sedih..
Mampir ke Daan Mogot mall, seperti rencana semula, aku beli dua buku, salah satunya tentang metode hipnosis persalinan. Sepanjang jalan kami banyak terdiam. Lalu kami memutuskan pulang. Ku telpon mbak Uci, kakak perempuanku, dan ibu di rumah. Ibu dan kakakku ikut marah mendengar kata dokter yang enteng aja langsung bilang “kuret”. Mereka menguatkanku untuk terus positive thinking.
Dan kami mencoba riset-riset di internet. Lalu meledaklah tangisku… kasus yang ku alami kemungkinan adalah Blighted Ovum. Kehamilan dengan kegagalan janin untuk berkembang. Dari banyak kisah di internet itu, jarang sekali aku temui cerita yang hepi ending atau bisa dipertahankan kehamilannya. Kebanyakan berakhir dengan kuret atau keguguran spontan.
Aku shalat dhuhur dgn tangis yang tak mampu ku hentikan… lelah menangis aku akhirnya tertidur, dan sempat bermimpi, Benji lahir dan dia ternyata perempuan. Ibuku yang menggendongnya dan memberikannya padaku “Matanya besar kayak ibunya…” kata ibuku, dalam mimpi itu. Dan aku terbangun dalam tangis lagi.
Kami memutuskan datang ke dokter lagi, seusai Maghrib, ke dokter RS Bhakti Asih. Tapi sayang, dokternya sudah tutup praktek. Kami telat setengah jam karena terhalau macet di sepanjang Ciledug situ. Aku terus berusaha positif thinking dengan memfokuskan pada apa yang ku lihat di layar USG tadi, setitik putih yg berkedip-kedip.
Minggu, kami berinisiatif ke dokter di RS Usada Insani. Aku rada pesimistis karena setahuku dokter spesialis jarang yg praktek saat hari Minggu. Bener, dokternya enggak ada. Akhirnya aku kuatkan hati untuk sabar menunggu Senin, mau periksa di tempat pertama ku periksakan kehamilan.
3 Juni 2013
Senin, Kami mendatangi RS Medika Permata Hijau, ke dokter Yasmina. Tapi ternyata dokter yang pertamakali memeriksaku itu baru datang jam 1 siang. Yg sudah ada sekarang dokter Yulianti. Menimbang suami yg tidak bisa berlama-lama, aku juga punya tanggungan kerjaan dan harus segera ngantor, kami akhirnya ke dokter Yuli. Toh medical record-ku sudah ada di RS itu. Urutan kami lama sekali… jam setengah dua baru dapet giliran. Berbaring di kasur, perutku dioles gel dan mulai di USG.
“Nah itu dia kelihatan adek bayinya..” celetuk dokter Yuli. Aku sumringah banget! Alhamdulillah, tak perlu sampai empat dokter untuk memastikan ada Benji di rahimku. Teguh yang menyusul ke ruangan, juga melihat.
“Jadi kelihatan kan dok janin saya? Ada kan dok?” tanyaku memastikan.
Iya ada, kata dia. Lega sekali…”Tapi ukurannya kecil. Kamu benar menghitung HPHT-nya?” tanya dokter Yuli.
Deg. Pertanyaan yang sama. “Bener dok… memang kenapa dok?” tanyaku pura-pura tidak panik. Dia menawarkan USG tranvaginal. Semula aku agak enggan, namun lalu pikirku demi Benji, apapun akan ku lakukan.
Lewat USG transvaginal, yang memang tidak nyaman itu, Benji terlihat lebih jelas. “Dia kecil…” kata dokter Yuli.
“Detak jantungnya ada tapi kan dok?” tanyaku.
“Boro-boro… dia kecil sekali…” kata dia. Aku terdiam. Dokter lalu menyilakan kami duduk untuk diberi penjelasan. Yah, janinku di layar USG masih dibaca berusia 6 minggu, padahal usia kehamilanku sudah 10 minggu. “Dia seperti terhenti perkembangannya.. usianya segini harusnya dia sudah besar, jantungnya berdetak dan organnya mulai lengkap. Di mana sisa minggu itu, mengapa dia berhenti berkembang?” ujar dokter, tanpa bisa kami jawab.
“Apa kira-kira penyebabnya dok?” tanya kami.
Dokter bilang, sulit memastikan. Bisa saja karena aku terlalu lelah, terkena benturan, jatuh, mungkin asupan kurang, bisa karena virus, bisa karena benihnya kurang bagus sehingga dia gagal berkembang, atau kelainan kromosom sehingga tubuhku menolak mengembangkannya, banyak kemungkinan.
Entah, mungkin karena aku masih merasa lega karena tahu Benji ada, jadi aku tidak terlalu panik lagi.. ini hanya masalah ukuran… pikirku…masih ada harapan untuk mengejar pertumbuhannya…
“Tapi masih ada harapan kan dok?” tanyaku. Dokter Yuli yg ramah itu menenangkanku dan menuliskan resep… vitamin dan penguat kandungan… “Dua pekan lagi kita lihat ya.. semoga ada perkembangan” kata dia.
Meski rada terhibur karena Benji tetap ada, hatiku sejatinya hancur. Ku bawa print USG Benji, ukuran dia sekitar 7 mm, dari seharusnya jauh lebih besar dari itu untuk janin ukuran 10 pekan… “Kita berusaha sayang. Masih ada dua minggu… tetap kita jaga, makan yg banyak ya, nanti kamu pulang naik taksi,” kata suami.
Aku bilang ke diri sendiri… “Tuhan lama enggak ngajak aku becanda… mungkin dia sudah kangen suara tawaku untukNya…”
Inikah cobaan kami? Diberi jalan mulus sejauh ini, semua proses ini, dan inilah akhirnya, Dia mengajak kami bercanda. Tak karuan rasanya… hatiku limbung antara berusaha tetap optimistis dan pesimisme yang makin besar setelah membaca riset-riset tentang kasus serupa…
Blighted Ovum hingga kini belum pernah ada kesimpulan yang pasti tentang apa penyebabnya. Ada yang bilang karena kromosom, benih yg dari sononya kurang bagus, karena virus TORCH, bisa karena kekentalan darah, kekurangan oksigen, dst dsb.
Dan aku masih tak percaya kejadian pahit ini, karena selama hamil aku merasa lancar-lancar saja.Perutku pun makin kencang, membesar. Mual dan muntah juga wajar. Aku hanya jadi malas sekali, malas dandan, malas masak, dan pengennya cuma tiduran. Untung saja mood kerjaku bisa tetap normal.
Hanya sekali saja aku sakit panas sepulang dari Gresik awal Mei lalu. Iya aku memang naik motor bersama Teguh setiap hari… apa mungkin kelelahan, apa mungkin karena stress pekerjaan, apa karena aku kurang mampu menjaga psikologisku sendiri sehingga mudah terbawa stress…
Tapi aku tidak pernah flek… dan itu ku anggap sebagai pertanda rahimku cukup kuat dan janinku baik-baik saja…perutku pun enggak pernah kerasa sakit-sakit yang gimana…
Dan dua pekan itu seperti hukuman… emosiku labil banget. Senyumku tidak bisa lepas. Sinar mataku kurang bersemangat. Tapi aku menyimpan semuanya sendiri.
Dua minggu itu setiap hari aku pulang naik taksi, dan setiap hari pula berangkat naik bis… menghindari sepeda motor sebisanya. Tetap makan buah, menjaga asupan. Berdoa sekuat dan sebanyak-banyaknya.
Namun, pesimisme itu semakin dominan… ketika ku rasakan perutku kok terasa enteng… ku bilang pada suami… dia hanya memelukku… dan menguatkanku untuk ikhlas menerima apapun putusanNya.
“Masih ada harapan… kita tunggu sampai Sabtu depan..” katanya. Suatu ketika aku makan banyak sekali… tak seperti biasa… aku cerita ke suami, mungkin Benji sedang mengejar pertumbuhannya… dan kami sama-sama mengamini.
Meski saat mengusap perut, ku rasakan sesuatu yang berbeda… mungkin semacam feeling ibu yang mengandung…
Dalam sujud tangisan itu tak mampu ku tahan… di depan layar monitor di antara deadline kerjaan, airmataku menitik memikirkan kemungkinan kehilangan Benji. Aku tidak bercerita ke siapapun kecuali pada keluarga. Aku sekadar tak ingin menerima banyak pertanyaan yang bisa makin mengeruhkan pikiran. Aku belum siap menerima banyak pertanyaan. Aku juga tidak siap dituding ini itu, dihakimi ini itu.
Aku hanya bercerita pada bosku tentang kondisiku…
Semakin dekat dgn deadline “dua minggu” itu, Teguh semakin sering mengingatkanku untuk bersiap dengan kemungkinan terburuk. Aku sempat marah padanya. “Kenapa kok kamu pesimis duluan? Kan masih ada harapan..” gugatku. Lalu aku menangis…menyadari sebuah firasat…
14 Juni 2013
Sesampai di kantor jam satu siang, untuk mengikuti rapat redaksi Jumat itu… ku rasakan perutku agak sakit dan ku rasakan celanaku agak basah. Bergegas ke toilet, dan aku terkesiap. Ada flek. Inikah pertanda dariMu, Gusti… agar aku bersiap. Dan flek itu tak berhenti hingga malam hari… bahkan keluar sedikit gumpalan… hatiku sungguh hancur…
Selama ini aku kekeuh memegang harapan karena tidak ada flek. Jika memang janinku tidak bisa berkembang karena dianggap tidak bagus oleh tubuh, mestinya tubuhku akan berusaha mengeluarkannya. Entah dalam bentuk flek atau pendarahan. Jadi saat aku tidak pernah mendapati flek selama 12 minggu ini, wajar jika ku anggap… Benji masih ada harapan… dia baik-baik saja seperti seloroh ayahnya : Benji nyaman dan hangat secara badan mamahnya yg berisi. Haha.
Flek di Jumat itu membuatku luruh… aku pulang naik taksi. Dan saat suamiku pulang, tangisku kembali pecah…emosiku campur aduk…dan hatiku rasanya berkeping-keping menyadari harapan itu sudah di tubir jurang…
15 Juni 2013
Kami putuskan ke Hermina lagi. Tapi meski dokter yg to the point itu ada, kami tidak kesana. Teguh tidak mau ke dokter itu lagi, mungkin kami rada trauma dgn style-nya yang terlalu kasar di mata kami itu. Akhirnya kami putuskan ke dokter Katrina.
Dokter yg talkative. Aku langsung di USG transvaginal. Benji terlihat di sana, namun dia masih berbentuk gumpalan. Hatiku mencelos. Tidak ada perkembangan berarti dari terakhir kali kami melihatnya dua pekan lalu. Dan bentuk kantong janinku mulai berubah, dokter Katrina memperlihatkan alat transvaginal yang berlumur darah flekku. Ya Allah…
Dokter itu tahu kami agak trauma dg dokter sebelumnya, jadi dia berhati-hati menjelaskan kondisiku, apa saja kemungkinannya, harapan-harapan yg ada, risiko-risikonya…
Meski dia akhirnya tetap merekomendasikan kuret. “Saya sendiri baru kuret dua bulan lalu. Saya paham sekali perasaanmu…” kata dia, simpatik.
Aku pastikan sekali lagi, tidak adakah detak jantung dari janinku? Dan memang kami sama-sama melihat, tidak ada detak jantung.
Kami keluar ruangan, aku telepon ibuku meminta pertimbangan. Suaraku tercekat mendengar ibu menguatkanku… airmata ku tahan mendengar mbak Uci menghiburku. “Rejeki sudah diatur… kalau rejekimu datang begitu berbarengan, kamu sendiri nanti gelagapan… yang sabar ya…” kata mamanya Akbar. Teguh melihatku terdiam dengan handphone di telinga dan bibir tergigit menahan tangis.
Aku pernah berujar pada Teguh, aku gak mau kuret kalau ternyata ada detak jantung Benji… biarpun dia ukurannya gak sesuai umur kalau dia hidup itu artinya dia memang ingin hidup, maka aku akan pertahankan… aku tidak mau “membunuhnya”. Biarlah kalau memang dia tidak ditakdirkan untuku dia akan menemukan jalan keluarnya sendiri…
“Tidak ada detaknya sayang. Kamu lihat sendiri tadi. Jika menunggu dia keluar sendiri, itu berisiko… apalagi kamu sekarang sudah keluar flek… fleknya semakin banyak pula…” kata dia. Aku terisak. Ya Allah, aku belum siap kehilangan…
Namun lalu ku kuatkan hati… faktanya memang janin di kandunganku belum berdetak jantungnya. Seharusnya janin 8 minggu sudah ada… tapi Benji terhenti di 6 minggu di usia kehamilan yang sudah 12 minggu. Seharusnya dia sudah berbentuk janin dan cukup besar memenuhi kantong janin. Aku juga tidak cukup berani menunggunya keluar sendiri… bisa pendarahan hebat… bisa infeksi…
Airmataku sudah habis. Dan Teguh menguatkanku, semakin cepat kami bertindak, insyaallah kemungkinan hamil lagi juga besar….
Memang kami tidak punya pilihan lain. Ya sudah, segeralah kami urus. Aku langsung digiring ke ruang observasi. Makan siang lalu disuruh puasa. Ditusuk sana sini, dites darah, tes alergi… seumur2 aku tidak pernah operasi.
Lalu diberi obat perangsang untuk melunakkan rahim dan membukanya. Obatnya ada dua. Satu aku minum… satu lagi ditanam di vagina. Ampun sakitnya… 😦
Berusaha ikhlas.
Setelah itu aku malah tertidur. Perutku mulai kram-kram seperti menstrual cramp… tapi aku lelah sekali, jadilah tertidur sekitar sejam. Suami pulang mengambil beberapa barang yang ku perlukan.
Saat dia datang, dimulailah fase yg paling menyakitkan itu… obat perangsang kontraksi rahim mulai bereaksi. Tak sekadar menstrual cramp. Ini sakit yang tak pernah ku rasakan sebelumnya. Sakitnya luar biasa hingga rasanya rahimku itu seperti diinjak-injak sepatu tentara! Gusti… tak pernah aku merasakan kesakitan seperti itu…
Aku coba atasi seperti aku menghadapi menstrual cramp. Aku bersujud di atas kasur, biasanya sakitnya bisa sedikit berkurang, membaca alfatihah dan berzikir, istighfar. Manjur, tekanan di rahim sedikit kalem. Namun lalu kesakitan lebih dahsyat kembali menyerang. Sakit minta ampun. Kata Teguh, mukaku sampai pucat pasi. Aku bolak balik ke toilet. Dan setiap di atas kloset, byorrrr darah keluar. Aku terisak…
Satu ketika datang rasa sakit yang paling dahsyat. Aku minta dituntun ke kamar mandi… pintu tidak ku kunci, suami ku minta nungguin karena lututku sudah lemah sekali berasa mau pingsan. Saat aku buang air, seperti keluar gumpalan… dan gumpalannya cukup besar, sekepalan tangan. Kembali aku tergugu dalam tangis. Benji…
Kembali ke kasur dan sakitnya tak juga hilang. Teguh memanggil suster, sudah hampir jam enam tapi kenapa dokternya tidak juga datang. Aku mau dibius saja… enggak tahan sakit yg luar biasa…
Suster akhirnya datang dan membawa obat pereda sakit. Suamiku sempat mengargumen, “Apa perlu diberikan itu? Semakin banyak obat kan berbahaya..” kata dia. Aku yg bergerak tak karuan di kasur karena sakit minta ampun, jadi nyolot tak sabar. “Udah sus, kasih aja saya sudah enggak tahan…sakit banget…” sahutku, airmataku menitik menahan sakit.
Diberilah obat oleh suster, yang ditaruh di anus… dan langsung bereaksi cepat… tak sampai 10 menit sakitku kembali berupa sakit seperti menstrual cramp biasa.. tak lagi menusuk2 seperti sebelumnya. Namun darah itu terus mengalir…sampai sprei rumahsakit yang putih itu basah oleh darahku…
Ibu dan bapak mertuaku datang menengok. Aku menahan rasa sedih ketemu bapak mertuaku… kalau ada orang -selain kami berdua- yang paling kecewa, mungkin dialah orangnya. Bapak sudah sepuh dan sejauh ini belum dianugerahi cucu… sekalinya ada harapan karena menantunya hamil, eh ada cobaan… aku tahu dia menegur suamiku saat tahu kehamilanku bermasalah, “Lain kali kalau tahu telat, sudah enggak usah kemana-mana ya… di rumah saja dan pergi untuk kerja. Jangan keluar kota,” kata dia, noticing kepergianku ke Gresik tempo hari.
Sampai akhirnya dokter Katrina datang dan suster membawaku ke ruang operasi. Ruang operasi itu mengerikan. Dan pose kuret itu sungguh membuatku ngeri sekaligus malu. Kaki dan tanganku diikat, kakiku dibuka lebar, lampu besar di mana-mana. “Tidak usah tegang, santai saja, bu…” kata suster yang memasang pemantau jantung di dadaku. Ya, suara detakku kencang sekali. Betapa tidak, suasana ruang operasi…dan pikiran bahwa kehamilanku sebentar lagi benar-benar harus ku lepaskan… siapa yang tidak stress…
Dokter Katrina masuk, sempat meledekku, mengajak bercanda… lalu dokter anastesi yang sudah sepuh menyuntikkan bius di tangan kiri sembari berkata,”Tidur dulu ya…” setelah itu aku tertidur. Tidak ingat apa-apa yang terjadi setelah itu. Pulas. Teguh bilang, aku berada di ruang operasi sekitar setengah jam.
Saat terbangun, tiba-tiba aku sudah kembali di ruang observasi. Mataku tidak sanggup melek, namun otakku mulai bangun. Ku dengar suara mbak Asih, kakak iparku, juga suara Teguh. Dan aku mulai menceracau. Tidak ada yang ku ingat persis, namun suamiku bilang, pertama kali bersuara aku langsung mencari Benji…
*nangis aku menulis ini*
“Benji…Benji mana sayang… Aku mau Benji….Benji sini sama ibu…” seruku dengan mata terpejam.
“Sabar ya sayang…” sahut suamiku.
Lalu, setelah itu aku ngomong macem-macem… efek bius membuatku seperti orang hangover, mabok. Dan suamiku sempat-sempatnya iseng merekam suaraku yg tengah menceracau. Dari mulai aku minta es kelapa muda, duren, sate kambing, sampai pengin pergi ke Belitung. Kacau banget efek obat bius itu. Setengah jam kemudian, aku baru mulai bisa membuka mata… namun celotehku tak berkurang…
Celoteh tanpa henti itu, aku sadari, adalah mekanismeku mengusir rasa sedih kehilangan Benji. Seolah-olah lupa, seolah-olah ceria, seolah-olah tidak sedih.. jadi aku ngomong terus… ngeledek suami, cerita ini itu… berupaya mengusir kepedihan.
Dokter jaga datang memeriksa lagi, tekanan darah sudah bagus, detak jantung juga normal. Aku diberi pilihan, mau nginep atau pulang gakpapa. Tentu saja aku mau pulang. Waktu itu jam 10 malam. Ku raba perutku…perih menusuk hati, tapi celotehku masih saja… mengusir pedih di dalam sana…
Sesampai di rumah, setelah hanya tinggal kami berdua, tangisku pun pecah. Dalam peluk suami, perih ini seperti tak habis-habis… Benji sudah enggak ada, sayang…
Hati ini sungguh hancur…
“Yang kuat ya, yang sabar….” peluk suamiku erat. Aku tahu dia tak kalah sedih.. matanya kerap ku tangkap basah usai mendekapku yang tersedu-sedu di peluknya. Begini rasanya kehilangan harapan…
Dan begitu seterusnya. Saat kakakku sekeluarga datang menengok, aku seolah biasa-biasa saja. Bercanda dengan Kayla, dengan Arsa, bercerita proses selama di rumahsakit. Namun begitu mereka semua pulang, aku tak mampu menghindar dari rasa kehilangan itu.
Yang terparah adalah saat hendak tidur dan bangun tidur. Tangisku tak mampu ku tahan. Tidak ada lagi adegan ayah Benji menciumi perutku menyapa Benji, menyapa selamat malam dan selamat pagi…
Tuhan mengajak bercanda, dan sejujurnya aku masih belum mampu tertawa saat ini menanggapi candaanNya. Kehilangan ini, memaksa kami banyak introspeksi… banyak sekali yang harus kami perbaiki, diri sendiri,… PR ku banyak, dan kami memohon selalu padaNya… agar diberikan keikhlasan dan kesabaran, diampuni segala khilaf dan kesombongan, diberikan kesempatan lagi untuk menjaga amanahNya…
Tiga bulan kebahagiaan itu, dan Tuhan belum mengizinkan untuk kami mengecapnya lebih lama. “Rezeki, jodoh, dan mati, Tuhan semua yang atur mbak.. hanya doa dan berserah, Tuhan yang atur semua,” kata dokter Katrina.
Klise sekali di telinga, tapi aku sadar itulah kebenarannya. Sekeras apapun kita berusaha, ada kekuatan Maha Besar di luar sana yang menentukan segalanya. Itulah Tuhan.
Aku divonis blighted ovum, penyebab pasti belum jelas. Saat ini sisa janinku usai kuret masih diperiksa di lab Hermina. Senin depan kami diminta datang lagi untuk kontrol. Mungkin ketika itulah kami tahu penyebab pasti mengapa Benji gagal berkembang.
Kecurigaanku, Benji gagal berkembang ketika aku terserang demam tinggi sepulang dari Gresik awal Mei lalu. Aku ingat saat itu usia kehamilanku sekitar lima-enam pekan… Meski aku tidak minum obat apapun, namun panas yang lumayan tinggi mungkin membuatnya tidak bertahan…
#Cendana, 17 Juni 2013