Tahu Campur Saharjo: Kenangan dan Pilihan…

Pertama kali ke kedai itu, persis waktunya saya lupa. Sekitar tahun 2007 atau 2008, kemungkinan. Pertama kali kesana diajak kakak lelaki saya, di awal-awal saya bekerja di ibukota. Menunya Jawa Timuran: Tahu campur, Tahu tek, Tahu telor, Rawon, Rujak Cingur, Soto Lamongan. Kesukaanku semua.

Dulu, setiap pulang kerja bareng sama mas A, teman satu kosan dan teman sekantor, kami memang sering mampir kesana. Makan malam sambil ngobrol. Dia selalu makan dua porsi: tahu campur dan soto Lamongan. Saya cukup tahu campur saja satu porsi. Saya cocok dengan tahu campurnya yang medok, kayak yang biasa saya makan di rumah di Gresik sana.

Mungkin  hampir tiap pekan kami kesana. Sampai dihafalin sama si mas-mas pelayan di situ. Mungkin juga karena saya kerap memakai bahasa Jawa Timur kalau kesana, sehingga mereka ngeh kalau saya juga arek wetan. Ya, mereka tahu saya orang Gresik, tetangga Lamongan, dan kerja di media.

Saya juga nyadar, si mas-mas pelayan itu mengira saya dan Mas A adalah sejoli, haha. Mungkin karena sering datang makan berdua di situ. Well, kami bukan pasangan. Kami hanya teman sekantor dan teman satu kosan.

Dulu awal datang ke kota ini, saya nebeng kos kakakku di Kalibata, delapan bulan awal di ibukota. Mas A ini temen kakakku, jadi udah saya anggap kakak sendiri juga. Kenapa sering bareng makan di situ? Ya, karena saya suka nebeng pulang naik motor dari kantor di Palmerah ke kosan di Kalibata, as simple as that.

Mas-mas penjual dan pelayan kedai tentu juga mengamati. Saat saya, suatu malam, hampir larut, singgah kesana dengan orang yang berbeda. Suatu ketika ia, orang itu, mengaku lapar, pengin ngobrol, minta ditemenin makan. Kesempatan pertama kesana, kedai tahu campur itu ternyata tutup. Kami akhirnya makan di kedai seafood seberang jalan. Kaki lima juga.

Kedua kali pergi ke Saharjo, dia memesan tahu campur seperti yang saya rekomendasikan. Saya tidak makan ketika itu karena sudah makan malam. Jadi, saya cuma pesan minum. Dan sisanya:  melihat dia makan. Dia bilang, rasa tahu campurnya lumayan. Cuma, lidah Jawa Tengahnya tidak terlalu demen sama rasa petis.

Lalu, tahu campur Saharjo jugalah yang menjadi momentum bagi seseorang yang baik hati, menunjukkan kebaikannya pada saya. Setelah menunggui saya beberapa malam saat saya opname karena tipes, kemudian saya rawat jalan di kos-kosan. Sepulang dari rumah sakit, badan masih ringkih dan lemah. Seminggu pertama pulang opname, saya nebeng katering ibu kos agar makanan saya terjaga dan tidak ribet beli makan di luar. Itu sekitar Februari 2009.

Suatu malam, saya benar-benar tidak doyan makan. Sisa tipes ini sering membuat perut saya mual, kehilangan selera makan. Fisik yang lemah dan pikiran yang masih sangat kacau membuat semangat saya hampir habis… “Kamu mau makan apa? Yang bisa buat kamu makan?” tanyanya ketika itu.

Di kepala saya yang terlintas cuma satu menu: “Tahu campur… tahu campur Saharjo… aku pengin makan tahu campur Saharjo…”

Dan dia langsung berangkat membelikannya. Dia indekos di Cawang. Dia membelikan seporsi tahu campur di Saharjo, di tempat aku biasa makan itu… lalu dia bersepeda motor mengantarkannya ke kos saya di Palmerah. Baik, ya.

Dia bilang, dia sayang sama saya. Menaruh harapan lebih tentang kami, tentang masa depan. Hmm, tanpa dia bilang, saya sebenarnya sudah tahu itu. Sekian malam menunggui tidur saya yang gelisah dan kesakitan di rumah sakit. Saat saya terserang sesak nafas di tengah tidur, tengah malam, dan dia berjaga semaleman, hanya  berteman laptop. Juga perhatian tak henti ketika saya masih rawat jalan, juga hari-hari setelahnya. Tentu saja saya bisa membaca itu.

Tapi hati ini, ketika itu, masih begitu keras oleh luka dan perih. Tak mampu melihat apa-apa selain kelabu nan muram. Tidak siap menerima hati baru, komitmen baru, ketika urusan lama masih begitu melantakkan saya.

Ya, saya tidak mampu menyambut perasaannya. Saya memang menyayanginya dan peduli, sebagai teman. Tapi, saya tidak mampu lebih dari itu.

Saya ingin membenahi kerusakan itu sendirian, tanpa kehadiran orang lain dulu. Meski tertatih. Dan saya harus  menanggung konsekuensi pilihan mengabaikan tawaran-tawaran hati nan baik itu…

Sampai akhirnya, badai itu reda dengan sendirinya….

Lalu tiba momen semalam…

Akhir 2011. Kami sudah cukup dekat sekian waktu terakhir. Dia, lelaki bermata sipit, sedang jalan-jalan di pameran buku di Senayan, menikmati libur.

Saya tidak bisa ikut karena saya masuk kerja hari Minggu itu. Untung kerjaan tidak banyak kemarin. Jadi, jam delapan malam saya sudah selesai. Dia jemput saya pulang. Gerimis. Lalu tiba-tiba saya pengin makan tahu campur Saharjo…

Berangkatlah kami kesana dari Palmerah. Jalanan Ahad malam yang biasa lengang, kemarin padat karena banyak bis-bis besar rombongan HKBP. Tiba di sana, kami langsung makan. Rasa tahu campur itu jauh lebih enak dari yang terakhir saya ingat. Mungkin karena saking lamanya saya tidak kesana. Juga karena saya begitu lapar usai bekerja yang menguras isi kepala.

Dia takjub melihat saya makan. “Gak seperti biasanya, kali ini kamu lahap dan menikmati sekali. Suka aku lihatnya..” kata dia.

Hahaha. Saya tertawa. “Iya aku laper, dan memang udah kangen banget sama tahu campur…” kata saya. Selama ini kalau makan bareng, pasti saya jarang habis sedang dia malah sampe nambah porsi. Terlebih saya memang menjalankan diet mengurangi konsumsi karbohidrat, dalam hal ini adalah nasi.

Di tengah obrolan, ada tabrakan persis di depan kedai. Dia ikut pergi melihat kondisi korban dan coba ikut menolong. Saya bengong sendiri di meja.

Saat itulah salah satu pelayan kedai tahu campur itu, mendatangi saya. Tak dinyana, ia mengenali saya:

“Mbak, piye kabare? Lama gak kesini… mana mas gondrongnya?” tanya dia.

“Weh masih inget to mas? hehehe. Kabar apik iki. Mas gondrong yg mana? Yg tinggi itu? Hahaha. Lha emang dia gak pernah kesini lagi ya? Itu bukan pacar saya kok,” kata saya, merasa lucu dan pengin ngakak aja rasanya, haha.

“Oooh, lha, ga sama mbaknya to? Kirain… Trus itu masnya yang ini, suami sampeyan atau yang baru lagi?” tanyanya.

Saya ketawa ngakak, menjawab: ” Bukan, bukan suami saya… Itu temen saya… hehhe…”

“Oooh gitu… kalau mas gondrong yang dulu sih udah ga pernah kesini lagi…”

Saya jadi cengar cengir, hahahaha. Kok masih inget aja itu orang ya?

Lalu dia, si #nomention bermata sipit, balik lagi ke meja. Cerita tentang korban tabrakan tadi yang tidak mau ditolong pergi ke rumah sakit…. Lalu aku cerita tentang si mas pelayan yang masih ngenalin saya, dan menanyakan tentang orang-orang yang pernah saya ajak kesini untuk makan, hahaha.

Malam makin tinggi. Kami mau pulang. Karena ini dalam rangka syukuran kelulusan magang saya sebagai asred, sayalah yang mentraktir. Eh, tak dinyana si mas pelayan tadi ngomong-ngomong lagi.

Kali ini dia ngomong langsung ke dia, si mata sipit. “Mbaknya ini sering kesini dulu, sama mas-mas yang dulu… Banyak yg dibawa, ganti-ganti orangnya, hehe….”

Saya ketawa ngakak ga tertahan, wkk.

Dia si mata sipit malah nyeletuk becanda: “Gitu ya mas, banyak, ya, yang diajak, hehe. Iya nih saya tadi juga diminta nganter kesini, jadi ojeknya aja, kok, mas… hehehe”

“Wah, mbaknya ini, hahaha. Yah, semoga masnya jadi yang terakhir dibawa mbaknya kesini…” kata dia.

Saya tidak tahan untuk tidak ketawa ngakak, hahahaha. Tapi dalam hati, sayup saya mengamini… wajah dia bersungguh-sungguh mengucapkan itu.

Mungkin, dia terheran dan prihatin, sekian tahun kok saya masih saja labil bergonta ganti pasangan gak jelas juntrungannya, hehe.

Lalu kami kembali ke Palmerah. Ia mengantarku pulang ke kos. Sepanjang jalan, saya masih senyam senyum inget kejadian Saharjo hehe. Lalu, hati yang makin nyaman ini.

Sepertinya memang saya tak punya alasan lagi untuk berlari… Mau lari kemana lagi kali ini, Oz? Apa enggak capek kamu berlari terus tiap ada yang datang mengetuk pintumu?

Kau bisa terus menghindari dan berlari dari cinta… tapi apa yang akan kamu lakukan ketika cinta itulah yang menemukanmu?

Palmerah, 5 Desember 2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *