Kasus penipuan berkedok investasi di IPB menunjukkan masih minimnya literasi finansial di kampus.
Kasus penipuan berkedok investasi kembali menelan korban. Kali ini ratusan mahasiswa IPB tertipu tawaran cuan abal-abal sampai-sampai terjerat utang di aplikasi pinjol hingga ratusan miliar rupiah. Mahasiswa yang notabene anak-anak muda Gen Z di lingkungan kampus di mana budaya berpikir kritis dibangun, nyatanya bisa terjebak tipuan cuan abal-abal seperti itu. Apakah si penipu begitu canggihnya membual hingga ratusan mahasiswa sampai terjebak? Yang pasti, kasus ini menyalakan dengan keras alarm darurat literasi keuangan di Indonesia, terutama di kalangan kampus.
Bila membaca paparan sejauh ini dari Kepolisian tentang bagaimana modus si penjahat beraksi, sebetulnya ada beberapa “red flag” yg seharusnya bisa menjadi peringatan keras bahwa tawaran yang menghampiri para mahasiswa itu HANYALAH TIPU-TIPU BELAKA:
- Si penipu memberi iming-iming janji keuntungan pasti antara 10%-15% bila si korban “berinvestasi” atau membeli produk di toko online miliknya. Investasi dengan janji keuntungan pasti di depan, kita wajib curiga. Lha wong yang sudah “jelas” seperti deposito, ORI atau sukuk saja tidak ada yang bisa memberi sebesar itu. Bagaimana mungkin mempercayai tawaran investasi pasti setinggi itu dari orang yang kita tidak tahu pasti kredibilitasnya?
- Penipuan ini konon melibatkan aplikasi marketplace di mana si korban disuruh belanja di toko online si penipu di marketplace tersebut. Setahu saya, ketika transaksi di marketplace, uang pembeli seharusnya masih di rekening marketplace (rekening bersama). Baru ketika barangnya diterima si pembeli, uangnya baru bisa diterima si penjual. Nah, kalo barang belum diterima, duitnya ga mungkin juga cair ke si penipu. Kasus ini, kenapa duitnya bisa nyampe ke kantong si penjahat, ya… Fishy sekali…
- Kasus ini mencuat karena para mahasiswa korban penipuan tersebut akhirnya menjadi korban pinjol juga, dikejar-kejar oleh debt collector. Ini juga sebetulnya red flag besar. Hendak berinvestasi tapi modalnya justru utang dari pinjaman berbiaya mahal seperti pinjol (konon si korban disuruh ama si penipu… supaya pake pinjol saja agar bisa ikut “berinvestasi”). Adik-adik mahasiswa tersayang, investasi dengan modal duit utang itu BIG NO, ya. Walau banyak yg mempraktekkan di pasar saham dan pasar-pasar keuangan lain, tapi langkah itu sangat tidak dianjurkan karena sangat berisiko dan sangat berbahaya bagi kesehatan keuangan. Jadi, selalu ingat, ketika ada ajakan investasi bla bla bla sampai-sampai nyuruh ngutang, langsung tinggalin saja. Itu tidak benar dan menjerumuskan.
- Berinvestasilah ketika pondasi keuangan kita sudah cukup sehat. Cashflow positif, dana darurat ada, asuransi dasar punya, rasio utang aman, baru investasi. Jangan dibalik. Kalo belum ada disposable income, ya, jangan buru-buru investasi segala, apalagi sampai dibelain utang. Utangnya ke pinjol pula yang biayanya super mahal dengan debt collector seram-seram.
- Ketika sesuatu itu terlihat dan terdengar “terlalu manis” alias too good to be true, percayalah kemungkinan besar itu memang TIDAK TRUE alias tipuan!
Tingkat literasi finansial di Indonesia memang masih perlu didorong lebih massif lagi. Berdasarkan hasil survei OJK tahun 2022, indeks literasi keuangan Indonesia baru di posisi 49,68%. Angka itu sebetulnya sudah meningkat dibanding tahun 2019 lalu yang di angka 38,03%. Di sisi lain, indeks inklusi keuangan mencapai 85,10%, meningkat dari posisi 76,19% pada tahun 2019.
Tingginya indeks inklusi keuangan yang tidak dibarengi indeks literasi finansial, menunjukkan ada ketimpangan di mana akses orang terhadap produk keuangan sudah cukup tinggi namun tidak diikuti oleh pemahaman alias literasi yang memadai. Ini tentu menjadi masalah dan bisa memicu lebih banyak lagi masalah di masa mendatang.
Contoh yang sering mengemuka: banyak orang beli asuransi, tapi sebenarnya tidak paham betul apa dan bagaimana cara kerja asuransi itu, banyak orang ikut-ikutan investasi saham sekadar latah ikut-ikutan influencer tanpa didahului pondasi keuangan kuat akhirnya boncos rugi, belum lagi kehebohan kripto, lalu trading–trading yang ternyata tipu-tipu sampai triliunan itu.
Anak muda kini menjadi motor baru kegairahan masyarakat Indonesia mencari cuan di pasar finansial. Data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menyebut, sampai Agustus 2022, jumlah investor pasar modal menembus 9,54 juta investor. Jumlah itu melesat 8 kali lipat dalam lima tahun terakhir! Yang menarik, 60% dari jumlah investor pasar modal adalah generasi milenial dan gen Z berusia di bawah 30 tahun. Ini tentu saja kabar baik. Namun, penting sekali untuk terus mengkampanyekan gerakan literasi finansial agar kegairahan para muda itu tidak lantas menjadi boomerang. Mahasiswa, Gen Z, anak muda, saatnya upgrade literasi finansial kamu biar ga mudah ditipu!