Perlu trik khusus agar generasi sandwich bisa mengelola keuangan lebih sehat dan memutus rantai “roti isi” di masa mendatang.
Harian Kompas beberapa waktu lalu memasang headline besar “Beban Berat Generasi Sandwich“. Dalam hasil risetnya, tak kurang 56 juta orang Indonesia yang kini berada di usia produktif, tergolong sebagai generasi sandwich. Generasi sandwich adalah istilah dari dunia finansial Amerika untuk menyebut mereka yang terjepit di antara dua beban tanggung jawab finansial, yaitu menghidupi keluarganya (anak dan pasangan) sekaligus juga menanggung keuangan generasi di atasnya dalam hal ini adalah orangtua atau kerabat dekat. Dengan jumlah tanggungan yang besar, tantangan finansial generasi sandwich tidaklah kecil.
Di Indonesia, keberadaan generasi sandwich sebenarnya bukan hal baru, baik itu dalam konteks agama, budaya dan sosial masyarakat. Memberi bantuan ekonomi pada orangtua, saudara kandung, kerabat, menjadi hal lumrah dan menganggapnya sebagai sebuah kewajiban moral sebagai seorang anak yang sekadar ingin berbuat baik pada orang tua dan keluarga besarnya. Itulah mengapa, tulis Kompas, dalam hasil riset tersebut mayoritas orang Indonesia tidak merasa terbebani dalam menjalankan peran sebagai generasi sandwich. Perasaan tidak terbebani ini merata, lho, di semua kelas ekonomi. Bukan hal mengejutkan, mengingat budaya kita memang kuat sekali kekeluargaan dan tolong menolongnya. Ide dari Barat lah yang menyebut peran generasi sandwich ini sebagai semata-mata “beban finansial”, hehehe. Maklum, ya, di sana nilai individualisme-nya lebih kental, kan….
Anyway, itu pula yang membuat saya tidak terlalu “ngotot” bila bicara tentang generasi sandwich karena kultur kita ini memang berbeda. Bukan saya mengabaikan bahwa ada banyak kasus di mana keuangan seseorang sulit bergerak karena beban finansialnya terlalu banyak akibat jumlah tanggungan berderet… Saya pun sepakat bila generasi sandwich ini bila tidak diintrusi atau dibantu maka lingkarannya akan terus berlanjut hingga ke generasi berikutnya… Hanya saja, perlu sensitivitas khusus supaya pembahasannya jangan lalu membuat para sandwich gen ini teracuni keikhlasannya dalam proses mereka berbuat baik pada keluarga…
Cerita saya:
Saya tidak pernah menyebut diri saya sandwich gen karena ibu saya memang tidak pernah membebani saya dengan kewajiban harus mengirim sekian rupiah saban bulan. Tanpa beliau meminta pun, saya sendiri punya kebutuhan untuk memberi dan berkontribusi terhadap kehidupan masa tua beliau. Alhamdulillah sejak mulai bekerja dan berpenghasilan, saya bisa merutinkan itu. Terhadap anak-anaknya yang lain, ibu pun tidak pernah meminta apalagi mewajibkan harus sekian dan sekian. Tidak ada seperti itu. Sesuai kemampuan saja. Selain itu, mengacu pada jalur tanggung jawab kekeluargaan dalam Islam, tanggung jawab utama memang ada di pundak anak lelaki (setelah sang ayah meninggal dunia). Jadi, dalam konteks keluarga saya, kakak lelaki saya yang lebih berperan. Suami saya pun bukan sandwich gen. Ayah mertua saya pensiunan PNS dan memiliki aset lebih dari cukup untuk menghidupi masa tuanya.
Back to topic
Saya tidak memungkiri bila di luar sana ada banyak teman-teman yang memang merasa kesulitan dan terbebani karena menanggung atas bawah dan itu banyak sampai-sampai kesulitan menabung bahkan tidak bisa menyicil pembelian aset penting seperti rumah atau yang lain-lain. Boro-boro mikir persiapan dana pensiun. Maka itu, penting juga menempuh strategi khusus supaya pengelolaan keuangan generasi sandwich bisa dilakukan tanpa drama dan sedikit demi sedikit tetap bisa menyiapkan hari tua…
Jadi, gimana strateginya? Check it out, ya.
1. Menata mindset dulu…
Tidak semua orang memiliki kesempatan berharga menyatakan cinta pada orangtua. Menjadi generasi sandwich yang membuat Anda menanggung penghidupan orangtua adalah suatu kesempatan emas untuk membalas kasih sayang mereka selama ini. Dengan menerima dan mensyukuri kondisi yang ada, akan lebih mudah bagi Anda untuk mengatur langkah selanjutnya.
Menata mindset seperti itu sangat penting Anda lakukan sejak awal. Dengan begitu, kewajiban menghidupi orangtua yang sudah lanjut usia tidak lagi terasa sebagai kewajiban apalagi beban, melainkan sebagai keharusan yang pantas. Niatkan untuk berbuat baik dan mencari berkah ridhoNya…
2. Bicarakan dengan pasangan dan orang tua
Komunikasi adalah kunci penting berikutnya dalam jurus mengelola keuangan untuk sandwich generation. Bicarakan secara terbuka pada pasangan situasi yang Anda hadapi. Ini supaya ada pengertian dari pasangan ketika suatu saat keluarga kecil Anda menemui tantangan finansial. Dengan begitu, pasangan merasa dihargai karena Anda tidak diam-diam membagi penghasilan ke orangtua.
Di lain pihak, Anda juga perlu mengkomunikasikan kemampuan finansial Anda apa adanya pada orangtua. Ungkapkan pada orangtua pos-pos pengeluaran apa saja yang bisa dan tidak bisa Anda tanggung. Misalnya, Anda membiayai kebutuhan dapur sehari-hari, biaya listrik, pulsa telpon, pengobatan, dan asuransi. Tapi, Anda tidak membiayai pos-pos tersier seperti jalan-jalan, biaya sosial, atau belanja barang bukan kebutuhan pokok.
Yang pasti, biasakan realistis sejak di titik ini. Maksudnya, hindari memaksakan diri menanggung biaya kehidupan orangtua hingga di luar kemampuan finansial yang ada. Apalagi sampai berutang. Selalu komunikasikan apabila di tengah jalan ada perubahan. Misalnya, ketika datang puncak pembayaran biaya sekolah anak, mungkin transfer dana ke orangtua sedikit berkurang. Namun, jangan pula pelit saat Anda mendapatkan rezeki lebih dengan memberi lebih banyak pada orangtua.
3. Fokus pada pos-pos utama
Resep selanjutnya adalah memastikan pengelolaan pendapatan secara cermat dan disiplin. Cobalah fokus mengamankan lebih dulu pos-pos utama yang penting. Sebagai gambaran, dalam pengelolaan anggaran, ada beberapa pos utama yang harus aman alokasi anggarannya. Pos utama tersebut antara lain pos kebutuhan dasar dan wajib seperti belanja dapur, pos utilitas (listrik, air, internet), pos pembayaran cicilan utang bila ada tanggungan kredit, pos transportasi, pos kebutuhan sekolah anak, pos asuransi, pos dana darurat, pos pengeluaran amal dan sosial, lalu pos tabungan dan investasi untuk mencapai berbagai tujuan keuangan.
Karena Anda menanggung juga kebutuhan orangtua, siapkan pos nafkah untuk orangtua di urutan yang sama penting. Baru setelah itu alokasikan untuk pos yang sifatnya sekunder dan tersier. Misalnya, pos hiburan dan pos pengeluaran pribadi seperti biaya perawatan diri.
Bagaimana bila penghasilan tidak memadai untuk menutup semua pos kebutuhan yang Anda rencanakan? Buatlah prioritas untuk pos anggaran terpenting seperti pos belanja dapur, transportasi, cicilan utang, kebutuhan sekolah anak, termasuk di dalamnya adalah pos nafkah untuk orangtua. Adapun untuk pengeluaran tabungan atau investasi, Anda bisa menerapkan prioritas lagi dengan mengutamakan tujuan keuangan yang paling mendesak dipenuhi. Misalnya, Anda tengah mengumpulkan dana untuk keperluan uang masuk sekolah lanjutan anak tiga tahun lagi. Jangan lupakan juga untuk tetap memperhatikan rencana dana pensiun Anda.
Selain itu, Anda bisa mencoba menerapkan prinsip wise spender dalam belanja rumah tangga supaya penghasilan bisa optimal dimanfaatkan sesuai rencana. Misalnya, berbelanja dengan memanfaatkan diskon merchant atau diskon kartu kredit. Selektif memilih langganan layanan berbayar yang paling ekonomis dan menguntungkan, memakai transportasi publik agar biaya transportasi bisa lebih hemat, dan cara-cara penghematan lain yang masih bisa mendukung kenyamanan hidup Anda.
4. Minimalisasi risiko dengan asuransi
Menghidupi orangtua bukan hanya memastikan kebutuhan hidup sehari-hari mereka terpenuhi. Seiring usia, orangtua yang semakin menua biasanya lebih sering mengalami risiko kesehatan. Risiko kesehatan ini bila tidak Anda kelola dengan baik, rentan mengguncang arus kas keuangan. Jadi, sebelum terjadi, lindungi keuangan rumah tangga Anda dari berbagai risiko kesehatan tersebut dengan memiliki asuransi kesehatan untuk keluarga kecil dan orangtua Anda.
Anda bisa memanfaatkan layanan jaminan sosial kesehatan seperti BPJS Kesehatan sebagai fasilitas kesehatan dasar untuk keluarga Anda dan orangtua. Bila ada dana lebih, Anda juga bisa melengkapinya dengan asuransi swasta untuk layanan lebih privat dan cepat.
5. Kerja sama dengan saudara kandung
Apabila Anda bukan anak tunggal, tidak ada salahnya mengajak kerjasama saudara kandung Anda untuk bersama-sama menanggung kehidupan orangtua tercinta. Anda bisa berbagi tugas dengan saudara Anda, pos mana yang menjadi tanggung jawab masing-masing. Dengan gotong royong, kewajiban menghidupi orangtua tidak perlu menjadi beban finansial yang memberatkan.
Hanya saja, kerjasama seperti itu akan tetap bergantung pada kemampuan finansial masing-masing keluarga. Tidak perlu memaksakan kontribusi saudara kandung apabila kondisi keuangan mereka memang belum memungkinkan.
Dengan lima jurus mengelola keuangan untuk sandwich generation tadi, menjalankan peran sebagai generasi sandwich tidak perlu menjadi beban dan tidak perlu menjadi drama. Keuangan pribadi tetap sehat dan bakti Anda pada orangtua bisa berjalan dengan baik.
*tulisan sudah pernah dimuat di sini