Review The Lazy Genius Way: Menjadi Malas untuk Hal Ga Penting Itu Justru Penting!

Never feel guilty about what matters to and stop trying to be the ideal, future you, carrying a load you were never meant to carry.

Dulu ketika saya masih indekos di sebuah kos-kosan di bilangan Palmerah Barat, saya menghuni kamar yang mungil, kira-kira hanya 2,5×3 meter saja. Meski kecil, saya mengisi dan menatanya agar menjadi “rumah kecil” saya di perantauan ini. Jadi, selain ada kasur dan lemari yang disediakan oleh induk semang, saya melengkapinya sendiri dengan televisi, DVD player (belum musim streaming netflix, haha), dispenser, breadmaker, rice cooker, rak buku berisi buku-buku kesayangan, peralatan makan dan boks berisi stok makanan mulai dari oatmeal, roti tawar, teh, coklat, susu dan camilan lain. Tak lupa melengkapinya juga dengan karpet dan bantal boneka.

Jangan bayangkan bagaimana kamar semungil itu bisa memuat banyak barang. Saya akan cukup bangga mengatakan bahwa kamar itu cukup rapi dan homy kendati ada banyak barang, haha. Ya, karena saya tipikal gak betah lihat ruangan berantakan dan jorok, wkkk. Ketika weekend tiba dan badan terasa sangat penat -karena bekerja sebagai jurnalis lapangan itu memang sungguh melelahkan, saya bisa betah seharian di dalam kamar, menonton DVD sambil ngemil.

Mengapa saya mau repot-repot mengisi kamar kos kecil dengan berbagai barang yg membuat saya harus lebih rajin beberes? Padahal saya juga jarang berlama-lama di dalam sana (jam kerja as a journalist, biasanya mulai jam 10 ke atas sampai malam… jam 9 malam baru pulang, atau bahkan sering jam 11an). Kamar kos hanya jadi tempat singgah tidur saja. Jadi, kenapa saya mau repot-repot? Simply karena bagi saya, tempat berteduh yang nyaman dan lengkap dengan fasilitas yang saya butuhkan, sangat penting. Terutama setelah sekian jam “bertarung” di luar sebagai jurnalis lapangan, bekerja di tengah lalu lintas ibukota yang sumpek, “rumah” yang nyaman adalah hal super penting agar saya bisa beristirahat nyaman, fulfilled.

Persoalan saya jadi punya PR lebih untuk beberes, ya, itu bukan masalah karena, toh, saya senang menata. Ini berkebalikan dengan teman saya yang juga ngekos. Di kamarnya cuma berisi kasur dan lemari. Rak buku kecil berisi sedikit buku. Tidak ada dispenser atau TV. Apakah teman saya itu begitu pelit atau tidak punya duit sehingga enggan mengisi kamar kosnya supaya agak lebih nyaman? Well, TIDAK JUGA. Teman saya ini tidak pelit, gajinya kala itu juga 11-12 dengan saya. Namun, hal yang membedakan kami adalah: baginya, kamar dengan fasilitas dispenser atau tv itu bukanlah hal penting baginya. Bukan kebutuhan. Tidak penting baginya menikmati teh panas atau coklat di kamar, sehingga tidak pernah terpikir olehnya membeli dispenser.

~ Analogi di atas mungkin tidak cukup tepat memberi gambaran. Namun, what i am trying to say is, kita bisa, kok, memiliki standar sendiri tentang apa yang penting dan apa yang tidak penting bagi kita. Lalu, memfokuskan energi hanya pada hal yang penting saja dan secara bersamaan menjadi malas atau masa bodoh untuk hal-hal yang menurut kita tidak penting. Itu tidak apa-apa.

Resep terhindar dari burnout

Kini, ketika saya sudah menjadi ibu dari tiga anak laki-laki -kesemuanya di bawah 10 tahun usianya, menjadi selektif terhadap mana yang PENTING dan mana yang TIDAK PENTING, adalah keharusan agar saya bisa mengoptimalkan energi dan mengurangi jebakan situasi overwhelmed yang kontraproduktif. Kesibukan menjadi ibu tiga anak, ditambah kebutuhan untuk tetap produktif dan bekerja, jelas menuntut banyak energi. Ada begitu banyak hal yg menuntut perhatian, energi dan fokus. Tanpa pemilahan tentang mana yang penting dan mana yang kurang penting, burnout adalah soal waktu.

Bagi saya, membuat cheesecake sendiri itu tidak penting ketika saya masih bisa mendapatkannya di toko langganan seharga 37 ribu saja. Bagi saya, bukan masalah besar juga bila memakai baju dan jilbab itu-itu saja asalkan target nabung tetap terkejar. Sesekali jajanin hokben buat makan siang anak-anak ketika tidak punya energi dan waktu untuk masak sendiri, itu tidak apa-apa juga. Atau, membiarkan anak-anak bermain gadget lebih lama agar saya punya waktu sejenak untuk duduk diam netflix-an tanpa interupsi, itu juga tidak apa-apa.

Membuatkan anak daftar habit tracker dan menempelnya di dinding, itu penting bagi saya untuk membantu mereka membangun rutinitas sendiri tanpa saya harus capek mengingatkan mereka berulang kali.

Semakin bertambah usia, semakin besar tanggung jawab yg kita pikul, semakin panjang pula daftar yang menuntut diurus dan selesaikan. Daftar yg boleh jadi berisi banyak ideal-ideal tertentu versi masyarakat, yg diam-diam kita amini di kepala. Tanpa jeda dan kejernihan, kebanyakan kita akan oleng dan letih sendiri untuk mengejar semua ideal itu. Di zaman banjir informasi yg membuat kita semakin mudah terdistraksi seperti sekarang, isunya bukan lagi berusaha keras menyelesaikan semua daftar itu. Demi kewarasan, kita perlu keberanian untuk menyortir isinya lagi, membangun sistem yang paling tepat dan mengeliminasi hal-hal yg sebenarnya tidak penting.

Pengenalan diri yg baik akan membantu kita memilah lebih mudah mana yg penting, kurang penting, dan mana hal yg sepele alias tidak penting. Dari sana kita bisa membangun standar sendiri, menciptakan sistem paling masuk akal untuk dijalani. Jadi, apa yg penting bagi kamu? Prioritaskan itu dan lupakan lainnya.

“Kita tidak perlu memaksa diri menjadi jenius untuk SEMUA HAL. Kita juga tidak perlu merasa bersalah atau malu ketika malas atau bodoh dalam HAL-HAL TERTENTU”

Buku The Lazy Genius Way, yang menjadi bestseller New York Times ini ditulis oleh Kendra Adachi, isinya daging semua yang bisa membantu kita membangun sistem rutinitas paling efisien dan nyaman dijalankan. Dengan prinsip utama memilah antara yang penting dan yang kurang penting, kita bisa memfokuskan energi dan lebih menikmati setiap peran yang harus kita jalani. Worth reading!

ps: Photo by Aron Visuals on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *