You don’t know how much you miss something until you finally got there and feeling so much happy.
Pandemi ini benar-benar mengajarkan kita untuk menghargai dan mensyukur hal-hal yang di masa BP (before pandemic) terasa remeh dan kecil. Itulah yang saya rasakan saat ini. Saya menuliskan ini di sebuah kedai kopi yang dahulu kala (haha, dahulu kala, yeah memang sudah selama itu…), sering saya datangi. Ya, ga sering-sering amat, sih. Haha. Cuma, karena dulu saya sempat bekerja di gedung perkantoran di mana kedai kopi ini tersedia di lantai dasar, menjadikannya sebagai tempat “pelarian” sempurna manakala saya jenuh bekerja di dalam ruang kantor… juga menjadi sebuah tujuan ketika saya dan teman-teman kantor ingin sebentar menikmati suasana berbeda sambil jajan kopi tentu saja. Dan kala diskonan, tentu saja. Buy 1 Get 1. You know, tipikal middle class pas-pasan lah, LoL.
I guess, i don’t really know how much i miss it until today.
Suamiku tahu saya tengah merasakan tekanan lagi, beberapa pekan belakangan ini. Gejala mild depression dan migrain berkepanjangan yang sejatinya berpangkal pada satu hal: saya mengalami kebosanan teramat sangat dengan segala rutinitas ditambah keterbatasan mobilitas gara-gara pandemi ini.
Baca: Pandemi, Aku dan Tuhan juga Cinta
Segala bentuk pengalihan atau distraksi yang biasanya ampuh untuk mengobati situasi itu, belakangan sudah tidak ampuh lagi. Imbasnya, saya seperti ponsel yang baterainya drained dan memberi sinyal merah. Sering hang jadinya, LoL. Saya tahu saya butuh menyendiri. Benar-benar sendiri. Sendiri tapi di tempat ramai, di tempat yang dahulu akrab dengan keseharian saya. “Kamu keluar rumah aja sana sebentar, me time, time out, ngopi atau belanja sana…” kata suami saya.
Yeah, he’s so thoughtful. And I am forever grateful for the man that he is.
So, here i am. Memilih menyepi sendiri di kedai kopi. Setelah anak-anak menyelesaikan zoom class, usai memasak dan memastikan makanan tersedia di meja, juga saat si bontot tidur siang, saya pergi sejenak. Kebetulan suami baru masuk kerja sore nanti. Perfect time.
Kedai kopi ini berjarak 2,4 kilometer saja dari rumah saya. Sebenarnya ada tiga kedai kopi waralaba sejenis dalam radius 2-4 kilometer di sekitar rumah. Satu kedai berada di mal, satu lagi di dekat rumah sakit besar dan pom bensin asing, berdekatan dengan perumahan GreenLake City. Satu lagi berdekatan dengan sekolah. Saya memilih ke tempat terakhir karena ini bangunan paling baru dan saya belum pernah merasakan nongkrong di sini juga. Pengin nyicipin ambience-nya. Dan ternyata emang tempatnya nyaman. Atas nama nostalgia, saya memesan caramel machiato grande dan raisin oatmeal scone. Nyam!
Mengapa perlu me time?
Me time adalah kebutuhan penting yang sebaiknya tidak diabaikan oleh setiap orang. Setiap orang pasti membutuhkan waktu untuk sendirian. Berdua dengan diri sendiri. Setiap orang punya style me time yang berbeda-beda. Suami saya me time-nya lebih gampang. Dia nonton HBO atau Netflix sampe lewat tengah malam, kala saya dan anak-anak sudah tidur. Begitu saja sudah cukup bagi dia. Me time favorit dia yang lain adalah tidur, wkk. Iya, suamiku termasuk pelor abis. Ga kayak aku yang kalau mau tidur aja kebanyakan gaya dan tingkah, ehehehe.
Saya juga ingat, ketika saya dulu kecil, me time ibu saya adalah pergi ke rumah nenek saya yang hanya berjarak 3-4 rumah saja dan ngobrol-ngobrol di sana. Itu pun masih sering saya susul dan saya ingat ibu saya kadang nyeletuk rada kesal: “Baru ditinggal bentar, udah pada nyusul kesini….” Saya masih kecil dan masih belum paham bahwa itulah waktu yang dibutuhkan ibu untuk rehat dan berjarak sejenak dari rutinitasnya mengurusi anak-anak dan rumah.
Bapak saya me time-nya tentu saja ngopi di warkop yang banyak bertebaran di Gresik. Biasanya bapak pergi keluar rumah untuk ngopi kala waktu menunjukkan jam 9 malam. Itu adalah jam di mana ibu saya sudah tidur, dan kami anak-anaknya juga seharusnya sudah tidur karena esok pagi harus pergi ke sekolah. Bapak selalu disiplin pulang sekitar jam 22.30. Sering terjadi, ketika saya dan kakak perempuan saya sengaja pura-pura tidur, lalu saat bapak sudah benar-benar pergi keluar rumah untuk ngopi, saya dan kakak saya menyelinap kembali lagi ke depan TV melanjutkan nonton Layar Emas, wkkkk (yang seusia dengan saya pasti paham itu apa Layar Emas, hahaaha).
Pernah suatu hari, kami mengira jam 22.30 bapak baru pulang seperti biasa. Eh, ternyata bapak pulang lebih cepat. Terang saja, kami kalang kabut berlari ke kamar tidur dan cilakanya pernah suatu ketika kami lupa tidak mematikan tv kembali, hahaa. Yah, ketahuan deh kalo belum tidur. Tapi, bapak saya tidak marah. Malah dia nyalain lampu kamar kami dan ngomong begini: “Mau nasi goreng, gak?” hahaha. Jadilah, kami bertiga makan nasi goreng malam-malam. Sungguh kenangan yang membikin hati hangat 🙂
Untuk saya, me time-nya harus benar-benar berganti suasana. Dulu, sebelum pandemi dan sebelum saya lepas diri dari kerjaan 9to5, me time saya adalah pergi ke kantor. Tapi, karena bekerja di kantor ditambah perjalanan pulang pergi itu menghabiskan waktu hingga 12 jam, rasa-rasanya sudah tidak asyik lagi me time seperti ini. Alih-alih refresh, yang ada stres, haha. Setelah lepas dari bekerja kantoran dan menjalankan work-from-home-mommy, sebelum pandemi saya bisa bekerja 5 jam sehari saja. Itu sudah cukup efektif, memadai pula sebagai kesempatan me time. Tanpa harus bertemu tantangan perjalanan pergi-pulang yang melelahkan penuh drama. Tapi lalu terjadi pandemi. Kebebasan terenggut secara brutal. Selama hampir 2 tahun dipaksa menghadapi situasi yang mencekam dan sungguh bikin stres dan tidak bisa kemana-mana (tanpa harus paranoid). It is exhausting!
Beberapa bulan terakhir saya sebenarnya sudah merasakan enaknya me time pada dini hari ketika anak-anak dan suami masih lelap semua. Cuma, itu, kan, posisinya masih sama di dalam rumah, ya. Saya tahu saya tetap butuh me time di mana saya berada di tempat berbeda dan sendirian saja mengerjakan hal-hal yang saya sukai tanpa interupsi. Atau, tidak melakukan apa-apa, cuma menikmati melamun dan do nothing. Hanya, karena saya suka menulis, saya memilih “do nothing” nya dengan memperhatikan pikiran sendiri, dan menuliskannya.
Me time membantu saya berjarak dengan segala hal yang selama ini menjadi rutinitas yang begitu melekat sampai rasanya membuat saya susah bernafas lega dan berpikir jernih. Me time juga membantu saya merasakan diri saya sendiri lagi. Bila kebutuhan ini saya abaikan, saya berangsur oleng dan seperti ponsel yang baterainya drained, sering hang.
Bila untuk menjadi seimbang dan fierce lagi, kita membutuhkan ini, then go for it. Tidak perlu khawatir dianggap aneh atau egois. Kita yang paling tahu kebutuhan kita. Mustahil kita bisa memberikan sesuatu saat dalam diri kita sendiri terancam bangkrut tidak tersisa energi, antusiasme, whatsoever…
Just go for it, giving yourself a time out.
The kids need their happy mommy instead of grumpy mommy 😉
Photo by Radek Grzybowskion Unsplash