Tarif listrik untuk pelanggan PLN berdaya 3.500 VA ke atas naik hampir 20%. Terpikir untuk menurunkan daya? Simak caranya berikut ini!
Kenaikan harga minyak mentah dunia dan hampir semua komoditas energi, sudah membengkakkan belanja pemerintah. Alhasil, sejak 1 Juli 2022, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif listrik untuk beberapa golongan pelanggan. Yaitu, pelanggan golongan rumah tangga R2 dan R3, serta golongan pemerintah P1, P2 dan P3. Sedangkan tarif listrik untuk pelanggan bisnis dan industri termasuk pelanggan setrum subsidi, tidak dikenakan kenaikan.
Ini artinya, pelanggan listrik rumah tangga R2 yaitu 3.500 VA hingga 5.500 VA dan pelanggan listrik rumah tangga R3 yakni rumah dengan daya 6.600 VA ke atas, tarif listriknya naik. Pelanggan listrik R2 dan R3 ini termasuk dalam kelompok pelanggan listrik non-subsidi di mana tarif listriknya mengikuti mekanisme penyesuaian tarif sesuai kondisi pasar (tariff adjustment) setiap 3 bulan.
Namun, selama 5 tahun sejak tahun 2017, pelanggan kelompok non-subsidi ini tidak dikenakan penyesuaian tarif kendati harga komoditas energi terus naik. Nah, pada tahun 2022 inilah ketika harga minyak mentah, batubara dan komoditas energi membumbung ke langit, penyesuaian tarif akhirnya berlaku lagi. Boleh jadi, bila situasi inflasi komoditas energi ini terus berlangsung, kebijakan tarif adjustment tiap 3 bulan sekali akan berlaku. Bagaimana dengan kemungkinan kenaikan listrik di golongan pelanggan di bawah 3.500 VA? Keknya lebih mungkin tidak terjadi karena efeknya bisa mengerikan kemana-mana… Cuma, ini kesotoy-an saya aja, lho, hehehehe.
Baca: Inflasi Makin Mencekik, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Mulai 1 Juli 2022, tarif listrik untuk pelanggan terdampak terkerek naik, yakni dari semula seharga Rp1.444,70 per kwh menjadi Rp1.699,53 per kwh. Kenaikan harga listrik hampir 18% dengan perkiraan kenaikan tagihan rekening mencapai Rp111.000 per bulan (untuk pelanggan R2). Sedangkan untuk pelanggan R3, kenaikan tarifnya sama dengan perkiraan kenaikan tagihan rekening mencapai Rp346.000 per bulan.
Jadi, kalau saat ini kita menjadi pelanggan listrik 3.500 VA dengan pembelian listrik rata-rata Rp1 juta per bulan, maka dengan tarif baru ini, kita harus mengeluarkan Rp1,17 juta per bulan untuk nilai konsumsi listrik yang sama. Menilik simulasi, dengan uang Rp500 ribu, kita bisa mendapatkan 329,7 kwh. Dengan tarif baru, kita hanya bisa mendapatkan 280 kwh.
Kita memasuki zaman inflasi tinggi…
Kenaikan listrik ini terjadi ketika hampir semua harga barang dan jasa naik. Inflasi Juni menjadi inflasi tertinggi sejak tahun 2017. Indonesia tidak sendirian. Hampir semua negara di seluruh dunia tengah menghadapi badai inflasi ini. Tak kenal strata pula. Negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat menghadapi laju inflasi yang lebih ngeri. Pun halnya negara berkembang seperti Turki dan yang kita lihat begitu tragis yaitu Srilanka.
Mengapa ini bisa terjadi? Sejatinya, krisis kesehatan global berwujud pandemi Covid-19 sudah melumpuhkan perekonomian banyak negara, terlebih bagi negara-negara yang banyak mengandalkan pemasukan dari sektor pariwisata. Roda ekonomi global yang dipaksa melambat akibat pandemi, juga telah memukul banyak sektor industri di hampir seluruh dunia. Nah, ketika kini pandemi sudah jauh lebih terkendali pasca vaksinasi Covid-19 dijalankan, perekonomian dunia secara alami mulai menggeliat lagi. Orang-orang mulai berkegiatan, permintaan kembali tumbuh, industri perlahan bangkit…
Perang Rusia sialan! Mungkin begini umpatan berjamaah penduduk dunia…
Namun, celakanya, geliat ekonomi setelah hibernasi selama lebih dari 2 tahun ini, tidak dibarengi dengan rantai pasokan barang dan jasa yang memadai. Salah satu penyebab utama adalah karena meletus perang Rusia-Ukraina. Jadi, bayangkan saja. Permintaan pasar sudah mulai bangkit karena pandemi mereda, namun suplai atau ketersediaan barang di pasar terbatas; akibat peranglah, akibat gangguan iklim yang menggagalkan panenlah, dan lain sebagainya. Imbasnya, hukum ekonomi pun berlaku: yaitu ketika tingkat permintaan melampaui penawaran yang tersedia, harga barang dan jasa menjadi naik gila-gilaan, hehe. Inilah yang sedang terjadi saat ini.
Harga komoditas energi mulai minyak mentah, batubara, begitu juga komoditas yang menjadi substitusi seperti minyak sawit mentah, dan berbagai jenis minyak nabati, harganya terbang ke langit. Efeknya sampai ke dapur kita, ya, hehe. Di benua Eropa, pasokan gas mereka terganggu akibat perang Rusia-Ukraina, mengakibatkan harga gas naik ke ujung langit. Mereka akhirnya balik lagi memakai batubara mengantisipasi kedatangan musim dingin. Epic, sih, ini.
Baca juga: Cara Menghemat Listrik Prabayar dan Pascabayar Agar Pengeluaran Terkendali
Di Indonesia, bukan cuma listrik aja yang naik akibat terkerek kenaikan harga batubara, sumber energi mayoritas pembangkit listrik di sini. Harga gas elpiji nonsubsidi juga ikut-ikutan naik. BBM subsidi seperti pertalite juga dibatasi hanya untuk mobil dengan cc tertentu. Sedang BBM nonsubsidi sudah mengalami kenaikan juga sesuai harga pasar.
Sebetulnya, yang paling membuat risau itu efeknya ke wilayah ini: kebutuhan pangan. Mengutip Katadata, awal Mei lalu BPS sebenarnya sudah melaporkan kenaikan Indeks Harga Produsen hingga 9% pada kuartal pertama tahun ini. Sederhananya, belanja modal para produsen sudah naik cukup banyak sejak awal tahun ini. Nah, biasanya, nih, saat harga bahan baku naik, para penjual punya dua opsi. Pertama, menaikkan harga jual dengan risiko kehilangan konsumen yang sensitif harga. Kedua, menunda kenaikan harga jual dengan memilih mengurangi margin laba. Tujuannya, agar pelanggan tidak lari alias tetap membeli.
Persoalannya, ketika tekanan harga di tingkat produsen semakin berat, sangat mungkin pada bulan-bulan ke depan kita akan menyaksikan kenaikan harga di level konsumen yang lebih dramatis dari yang terjadi saat ini. Tak lain karena di kalangan produsen sudah tidak bisa lagi menanggung beban kenaikan biaya produksi. Bila sudah begitu, ya, makin amsiong kondisi dompet, bun, hehehe.
Tempo hari sempat viral cerita tentang penjual makanan yang bingung mengapa dia tidak justru tekor ketika jualannya laris… ini bisa jadi akibat si penjual terlalu lama menanggung beban kenaikan harga, tidak berani merilis harga baru karena khawatir jualan tak laku…
So, what can we do?
Adapt or die. Beradaptasi terhadap tekanan kenaikan harga atau inflasi itu keniscayaan. Bila pendapatan belum bisa berlari kencang mengimbangi kenaikan harga, menekan pengeluaran yang masih mungkin dilakukan, dapat menjadi opsi. Misalnya, terkait kenaikan harga listrik. Apabila kita termasuk yang terkena dampak kebijakan kenaikan tarif setrum, opsinya bisa dengan menurunkan daya listrik. Misalnya, dari 3.500 VA menjadi ke 2.200 VA, sehingga kita masih terkena tarif lama yang tidak naik.
Namun, perlu diingat, menurunkan daya listrik harus ditimbang juga sejauh mana kesiapan rumah tangga? Apakah bila daya listrik turun menjadi 2.200 VA, misalnya, kebutuhan listrik di rumah masih akan terpenuhi? Penting untuk berhitung lebih dulu tentang hal ini sebelum kita mengajukan penurunan daya listrik. Jangan sampai terjadi, kita sudah repot mengurus penurunan daya listrik, eh, malah terjadi njeglek-njeglek mulu, hahaha. Yang ada, peralatan elektronik kita jadi rusak. Pusing, deh.
Beberapa teman yang rumahnya terpasang daya 3.500 VA mulai was-was. Bujet pembelian token listrik bengkak lumayan, wkkk. Ya, iya, lha, wong kenaikannya hampir 20%. Pasti cukup terasa, ya. Apalagi bila selama ini konsumsi listrik cukup besar. Salah satu teman saya yang rumahnya dipasang 3 unit AC (alat elektronik paling menyedot setrum), menyebut, biaya pembelian listrik saban bulan bisa menembus Rp1 juta. Listrik prabayar. Terlebih bila tiga unit AC itu nyala semua lebih dari 12 jam, biaya listrik bisa jebol hingga lebih dari Rp 1 juta per bulan. Itupun dengan tarif lama, wkkk.
Daripada makin amsiong, teman saya ini menimbang hendak mengajukan penurunan daya listrik. Sebuah opsi yang rasional. Ketika pendapatan belum pasti kenaikannya, maka menekan biaya tetap (fixed cost) rumah tangga adalah sebuah langkah logis.
Di rumah saya, daya listrik juga 3.500 VA. Jadi, kami pun terkena imbas kenaikan tarif setrum ini, wkkk. Akan tetapi, sejauh ini kami belum memutuskan apakah perlu penurunan daya atau tidak. Sejauh ini, penggunaan listrik kami masih moderat, rata-rata habis Rp700.000 per bulan dengan tarif lama. Itu dengan AC sebanyak 2 unit, mesin cuci dan perintilan elektronik standar rumah tangga. Dengan tarif baru, biaya listrik bulanan tersebut mungkin akan menembus Rp 830.000 per bulan, tanpa penghematan penggunaan.
Cara menurunkan daya listrik gratis tanpa biaya
Nah, kemarin saya iseng-iseng memakai simulasi di aplikasi PLN Mobile untuk permintaan penurunan daya menjadi 2.200 VA. Eh, surprais, dalam simulasi itu ternyata tidak ada biaya, lho, alias GRATIS, wkkk. Iya, jadi untuk menaikkan daya, memang kita dikenakan biaya. Tapi, bila hendak menurunkan, biayanya ternyata tidak ada. Hanya perlu membeli pulsa kayak biasa (stroom) bila kita pelanggan listrik prabayar. Sayangnya, ternyata pengajuan penurunan daya listrik untuk saat ini tidak bisa dilakukan via PLN Mobile. Mengikuti rasa kepo, supaya mendapat informasi utuh, saya lanjut bertanya ke customer service PLN via website tentang cara menurunkan daya listrik.
Berikut ini hasil kekepoan yang ingin saya bagikan bagi kamu yang mungkin saat ini menimbang opsi cara menurunkan daya listrik di rumah. Simak langkah-langkah di bawah ini:
1. Datang ke Unit PLN terkait
Di website PLN memang ditulis bila kita hendak menurunkan daya listrik, kita disarankan untuk mengajukan melalui PLN Mobile. Eh, info terakhir yang valid ternyata, kita diminta untuk datang langsung ke unit atau kantor PLN terkait atau terdekat.
Mungkin kebijakan ini akan berbeda ketika pandemi masih meruyak tempo hari, ya. Saat ini, boleh jadi karena dinilai situasi pandemi sudah lebih kondusif, kita diminta datang ke kantor mengurus secara offline, hehehe.
2. Bawa dokumen yang dibutuhkan
Pengurusan cara menurunkan daya listrik tentu saja membutuhkan paper work di mana kita harus menyiapkan dokumen yang dibutuhkan. Apa saja dokumen penurunan daya listrik?
- Fotocopy KTP pemilik rumah sebanyak 2 lembar
- Bukti kepemilikan berupa sertifikat atau akta jual beli
- Materai Rp 10.000 sebanyak 2 lembar untuk penandatanganan Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL)
- Fotocopy KTP dikuasakan sebanyak 2 lembar dan surat kuasa bermaterai Rp 10.000 (yang menyatakan pemilik bangunan memberikan kuasa untuk melakukan proses pendaftaran. Namun, untuk keluarga inti tidak perlu menyertakan surat kuasa)
3. Realisasi tambah daya sudah berlangsung minimal 1 tahun
Ini maksudnya, bila kita pernah mengajukan kenaikan daya listrik di rumah menggunakan promo, maka PLN mensyaratkan realisasi daya baru sudah berjalan minimal selama 1 tahun. Misalnya, kamu pernah mengajukan penambahan daya baru memakai promo khusus pada awal tahun 2021 dan disetujui pada Februari 2021. Itu berarti, realisasi penambahan daya saat ini sudah berjalan selama setahun.
Jadi, bila kini kamu hendak mengajukan penurunan daya, hal itu bisa dilakukan. Sebaliknya, bila belum berlangsung 1 tahun realisasi penambahan daya, maka pengajuan penurunan daya listrik tidak akan disetujui oleh PLN. Nah, kelak jika kamu hendak mengajukan penambahan daya kembali, maka PLN akan mengenakan biaya penyambungan.
4. Biaya permohonan turun daya
Berdasarkan penjelasan dari customer service, cara menurunkan daya listrik akan dikenakan biaya stroom awal yang tersedia mulai Rp5.000 hingga Rp1 juta. Ini berlaku bagi pelanggan PLN prabayar. Namun, bagi pelanggan listrik pasca bayar, ia akan dikenakan Biaya Penyesuaian Uang Jaminan Langganan (UJL). Berapa nominal biaya tersebut, akan diinformasikan PLN Unit terkait berupa nomor registrasi untuk bisa dilakukan pembayaran melalui Kantor Pos, loket dan ATM bank yang bekerjasama dengan PLN.
Di aplikasi PLN Mobile, sebenarnya sudah ada simulasi untuk pengajuan turun daya ini. Yang saya pahami, biaya yang dimaksud (bagi pelanggan prabayar), adalah biaya pembelian listrik saja seperti kita beli token umumnya, CMIIW. Jadi, kita bisa memilih hendak isi berapa, dan itulah yang harus kita bayar ketika menurunkan daya.
Itulah cara menurunkan daya listrik PLN sebagaimana informasi yang saya peroleh dari PLN. O, ya, satu hal perlu kita ingat, sebelum memutuskan mengajukan penurunan daya: bila suatu saat nanti daya listrik kita sudah tidak memadai dan membutuhkan kenaikan, biaya tambah daya itu cukup mahal. Terkecuali memang sedang ada promo tambah daya murah meriah. Tanpa promo, biaya tambah daya listrik bisa jutaan rupiah, bergantung pada daya yang diinginkan.
Jadi, pertimbangkan dulu masak-masak sebelum memutuskan, ya!