Skandal Jiwasraya mendadak ramai dibicarakan. Padahal, bau sangitnya sudah dari kapan tahun. Bakal jadi skandal keuangan terbesar setelah BLBI, bahkan berpotensi “mengalahkan” Centurygate.
Hari-hari ini, media massa diramaikan oleh skandal Jiwasraya, BUMN asuransi, yang diduga merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah. Sebenarnya, kasus Jiwasraya ini sudah cukup lama berlangsung… Jiwasraya terendus bermasalah sejak masa pemerintahan Presiden SBY hendak berakhir. Majalah TEMPO sempat mengulasnya cukup lengkap awal tahun 2019 lalu. Ada banyak isu dan angle yang bisa kita lihat dari skandal Jiwasraya ini. Mulai dari kebobrokan manajemen, kualitas pengawasan dari otoritas industri asuransi yang patut dipertanyakan, aksi goreng menggoreng saham, keputusan investasi yang ceroboh dan lain sebagainya.
Skandal Jiwasraya tidak bisa dilepaskan dari kehadiran sebuah produk bancassurance bernama JS Saving Plan. Produk inilah yang menjadi salah satu pangkal permasalahan yang membelit Jiwasraya. Seperti apa, sih, JS Saving Plan itu? JS Saving Plan adalah sebuah produk hibrida alias unitlink yang menggabungkan manfaat proteksi (asuransi jiwa) dan manfaat investasi. Namun, berbeda dengan produk unitlink pada umumnya di mana risiko investasi ditanggung oleh customer sendiri alias pemegang polis, pada JS Saving Plan, risikonya ditanggung oleh perusahaan asuransi. Wuih, enak tenan, dong, ya. Wait….jangan buru-buru terkesima :p
Baca juga: Perlukah Memiliki Asuransi Jiwa?
JS Saving Plan memberikan manfaat proteksi asuransi jiwa selama lima tahun di mana si pembeli polis cukup membayar premi selama setahun. Yang bikin ngiler, si pemegang polis bakal menikmati imbal hasil tetap (guaranted return) cukup tinggi di kisaran 9%-13% per tahun, bergantung pada tenor polis yang dibeli. Imbal hasil sebesar itu ditawarkan sejak pertama kali JS Saving Plan dijual mulai tahun 2013 hingga tahun 2018. Untuk bisa memiliki polis JS Saving Plan itu, seorang nasabah harus membayar premi mulai Rp100 juta hingga Rp5 miliar. Produk ini gencar dipasarkan melalui perbankan sehingga disebut bancassurance, khususnya ditawarkan pada nasabah prioritas alias nasabah berkocek tebal.
Dengan tawaran keuntungan pasti seperti itu, banyak sekali yang terpikat dan membeli polis asuransi tersebut. Betapa tidak, imbal hasil tetap JS Saving Plan mencapai 9%-13% sepanjang 2013-2018, di saat yang sama bunga deposito bank paling tinggi adalah 7% per tahun. Tak kurang 17.000 orang terpikat membeli produk ini. Di tahun-tahun awal, pembayaran imbal hasil cukup lancar. Sampai akhirnya, keuangan Jiwasraya megap-megap dan gagal membayar hasil investasi pada nasabahnya… Data terakhir mengutip BBC Indonesia, nilai gagal bayar polis Jiwasraya terkait produk ini mencapai Rp12,4 triliun, per Desember 2019. Wewww.
Menghindari produk berbau ponzi
Dalam sebuah wawancara, Dirut Jiwasraya Hexana T. Sasongko menilai, produk JS Saving Plan ini pada akhirnya jadi berbau skema Ponzi. Mengutip Tempo.co, Hexana bilang, boleh jadi ketika pertama kali merilis produk tersebut, manajemen Jiwasraya tidak berniat membuat produk berskema Ponzi. Namun, karena kesalahan perhitungan, keuntungan pasti nan tinggi yang ditawarkan pada nasabah, akhirnya kelabakan dipenuhi oleh Jiwasraya. Pengembalian keuntungan dan investasi pada akhirnya diambil dari uang premi nasabah baru yang masuk.
Omong-omong, apa, sih, skema Ponzi itu? Skema Ponzi merupakan modus investasi palsu di mana keuntungan yang dibayarkan pada investor sebenarnya berasal dari uang mereka sendiri atau uang investor berikutnya. Bukan berasal dari pengelola investasi, dalam hal ini Jiwasraya. Sehingga, saat tidak ada lagi investor baru yang masuk (pembeli polis baru), Jiwasraya tidak punya sumber dana lagi untuk membayar polis yang jatuh tempo. Tekor dehhh! Simpati saya untuk ribuan korban gagal bayar Jiwasraya ini 🙁
Kasus ini memang menggegerkan. Perusahaan asuransi (yang seharusnya prudent), ditambah embel-embel BUMN pula (yang seharusnya kredibilitasnya lebih tepercaya), eh, enggak tahunya bodong. Siapa yang tidak terkejut?!
Nah, apa yang bisa kita pelajari dari kasus ini? Sebagai khalayak yang menjadi target pasar berbagai produk, termasuk produk keuangan seperti asuransi, ada beberapa hal yang perlu kita ingat supaya terhindar dari jebakan produk-produk berbau Ponzi seperti ini:
1. Hati-hati dengan segala yang “too good to be true”
Dalam mendapati tawaran penjualan apapun, satu hal prinsip yang harus selalu kita pegang: “When it sounds too good to be true, then it’s not true”. Produk JS Saving Plan yang menawarkan imbal hasil tetap jauh di atas bunga deposito bank, it sounds too good to be true. Bayar premi setahun dan mendapat manfaat proteksi selama 5 tahun. Trus pencairan investasinya bisa dilakukan saban tahun. Wow, enak banget, hehe.
Memang sungguh membuat ngiler, kan? Tapi, coba, deh, dipikir-pikir lagi. High return, high risk.
Bagaimanapun produk investasi dalam asuransi itu tidak memiliki penjaminan layaknya produk deposito di perbankan (bahkan produk deposito bank saja memiliki kriteria khusus agar bisa mendapatkan penjaminan LPS. Yaitu, nilainya tak lebih dari Rp2 miliar dan tingkat bunganya sama atau di bawah bunga penjaminan LPS).
Lha, kalau ada produk asuransi yang mengiming-imingi keuntungan pasti? Dalam pendengaran pertama saja sebenarnya kita tahu itu pasti bodong. Minimal berbau tipu-tipu, hehe. Setiap investasi memiliki risiko. Itulah mengapa sebuah perusahaan yang merilis produk investasi, dilarang keras memberikan iming-iming keuntungan pasti pada calon nasabahnya. Jadi, ketika kita mendapat iming-iming investasi dengan hasil pasti, segeralah curiga “Ini sales pasti mau ngibulin gw…” :p
Baca juga: Berkenalan dengan Asuransi Jiwa
Dalam kasus Jiwasraya, manajemennya sejatinya “berjudi” (kalau tidak bisa disebut “menggali kubur sendiri”) dengan merilis produk seperti itu. Mereka menarik dana nasabah dengan iming-iming menggiurkan, lantas memutar duit premi itu ke instrumen investasi lain yang diharapkan bisa memberi keuntungan lebih tinggi daripada return JS Saving Plan. Tapi, skenario itu gagal total karena strategi investasi tidak berjalan sesuai perhitungan awal… kondisi pasar jeblok. Alhasil, terjadilah gagal bayar yang membuat Jiwasraya terus tekor.
2. “No free lunch”: selalu tanyakan risiko terburuk
Ketika kita hendak menginvestasikan sejumlah dana di sebuah instrumen investasi, apapun itu bentuknya: mau investasi di sebuah bisniskah, investasi tanah, emas, saham, reksa dana, obligasi, dan lain sebagainya: jangan pernah lupa untuk mempertanyakan apa saja RISIKO-RISIKO yang menyertai investasi tersebut. Juga, bagaimana bila sampai terjadi skenario terburuk seperti penurunan modal investasi atau kegagalan pembayaran keuntungan yang dijanjikan di depan.
Betul, tidak ada makan siang yang gratis, teman. Setiap investasi pasti memiliki risiko. Berinvestasi di sebuah bisnis, kita berisiko kehilangan uang yang kita tanamkan ketika dalam perjalanan bisnis tersebut tidak berjalan lancar sesuai perhitungan dan harapan. Begitu juga investasi di produk keuangan seperti saham atau reksa dana… bahkan investasi di surat utang yang dikeluarkan oleh negara seperti Obligasi Ritel (ORI) ataupun Saving Bond Ritel (SBR) pun masih memiliki risiko gagal bayar. Jadi, selalu perhitungkan risiko-risiko sebuah investasi dan ukurlah sejauh mana kita bisa menoleransi (risk appetite, risk profile) apabila terjadi skenario terburuk seperti gagal bayar.
Jangan pernah polos mempercayai mulut manis pemasar yang bilang: “Ini aman buuuuuu, gak bakal rugi sampean… apalagi ini yang punya BUMN.. pasti amanlah…” Bilang aja ke pemasarnya dengan sedikit guyon, “Mbelgedes, bos…ora lamis lamis, lhooo” hahahah.
3. Asuransi itu produk proteksi, bukan untuk investasi
Ini salah kaprah yang kayaknya udah lazim di negeri +62, deh. Yang namanya asuransi itu produk proteksi, ya. Saat kita membeli sebuah polis asuransi, pada dasarnya kita membeli sebuah kontrak perjanjian apakah itu berprinsip “risk transfer” (dalam asuransi konvensional) atau “risk sharing” (dalam asuransi syariah). Jadi, uang premi yang kita keluarkan sifatnya adalah biaya, bukan investasi. Konsekuensinya apa? Ya, jangan pernah ngarep dapet untung dari asuransi, lah. Asuransi membantu kita mengelola risiko-risiko finansial yang terjadi akibat kondisi-kondisi tak terduga. Kalau mau berharap untung, berinvestasilah di produk investasi seperti saham atau reksa dana ataupun obligasi.
Baca juga: Investasi Apa yang Paling Menguntungkan?
Dengan memisahkan dua manfaat tersebut (yakni proteksi dan investasi), niscaya kita bisa lebih fokus mengoptimalkan masing-masing produk. Kalau dicampur-campur, walau mungkin terasa lebih praktis, bagi saya pribadi kok susah diharapkan bakal optimal manfaatnya. Itu menurut saya. Nek menurut sampean lebih nyaman memilih produk hibrida kayak gitu, ya saya bisa bilang apa… hehe. Selama sadar dengan risikonya, yo, silakan saja. Risiko ditanggung penumpang, ya 😛
4. Bandingkan ekspektasi keuntungan dengan benchmark: masuk akal, tidak?
Investasi pada dasarnya adalah sebuah ikhtiar mengembangkan uang yang yang kita miliki supaya mampu bertumbuh di atas laju inflasi. Setiap produk investasi memiliki acuan alias benchmark yang bisa menjadi gambaran bagi kita kira-kira tingkat ekspektasi return (keuntungan). Contohnya, bila berinvestasi di reksa dana saham, yang menjadi acuan adalah tingkat pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Misalnya, sepanjang tahun IHSG tumbuh 15% (ngarep, haha), trus reksa dana saham pilihan Anda berhasil tumbuh 20%. Itu berarti, kinerja reksa dana saham tersebut bagus karena mampu tumbuh di atas acuannya. Sebaliknya, ketika pertumbuhannya di bawah angka benchmark, berarti si manajer investasinya, ehem, kurang jago 😛
Begitu juga ketika kita ditawari sebuah produk investasi dengan iming-iming tingkat keuntungan tertentu. Tanyakan dulu, tingkat imbal hasil tersebut mengacu pada apa? Dalam kasus JS Saving Plan, saya bayangkan si sales pasti bilang: “Ini jauh di atas bunga deposito, pak/bu…. tapi untungnya dijamin…pasti untung nanti”
Di situ, sebenarnya kita perlu curiga.
Anggaplah yang jadi acuan adalah bunga deposito (karena nama produknya ada embel-embel “saving”). Hasil googling mengantarkan saya menemukan informasi dari Kompas.com, tahun akhir 2013 bunga deposito di BCA adalah 7% per tahun. BCA dikenal sebagai bank yang “pelit” kasi bunga karena sumber dana murah mereka terbilang melimpah. Jadi bisa dibaca, bila BCA kasi 7%, kemungkinan besar bank lain memberikan lebih dari itu walau selisihnya tidak akan terlalu jauh. Periode tersebut, bunga penjaminan LPS juga bertengger di 7%. Nah, di tahun itu, saat imbal hasil JS Saving Plan ditawarkan di angka 9%, berarti dia menawarkan return pasti di atas pasar (bunga deposito). Apakah ini masuk akal?
Perlu banget kita bertanya lebih jauh: “Pak/bu sales, emangnya duit yang saya setorkan akan diputar di mana ‘sih kok bisa sampean menawarkan untung pasti di atas deposito?” Yaaa, walau kenyataannya, karena kita terlanjur ngiler, keknya bakal jarang yang nanya ndridil sampe ksitu ya, hehehe.
5. Ketahui strategi investasi
Mau naruh duit hasil kerja keras banting tulang gak karuan, apa iya kita bakal asal cemplang cemplung saja tanpa mau tahu lebih jauh duit tersebut bakal diputer kayak gimana supaya tumbuh? Jangan deh, ya. Jangan cuma terpukau pada iming-iming besar keuntungan yang akan kita terima kelak. Ketahui juga bagaimana duit itu akan dikelola.
Itulah mengapa membaca prospektus, laporan keuangan, fund fact sheet dan segala informasi historis yang berguna, saat kita hendak investasi di reksa dana, obligasi ataupun saham, wajib dilakukan.
Menggali informasi-informasi seperti itu penting supaya kita tahu betul uang kita bakal dikelola seperti apa, risikonya apa saja dan prospek untungnya gimana. Itulah bedanya berinvestasi dengan berjudi. Judi itu spekulatif. Asal cemplung tanpa berhitung rasional. Untung-untungan semata. Investasi sebaliknya. Ada variabel-variabel yang harus kita ketahui, kita sadari dan kita hitung.
Contohnya nih, kita investasi di reksa dana saham di mana yang menjadi underlying asset atau aset dasarnya adalah saham. Artinya, dana yang kita investasikan mayoritas akan diputar oleh manajer investasi di aset berupa saham. Risiko yang kita tanggung antara lain, saat nilai aset dasar turun, nilai investasi kita di reksa dana saham kemungkinan besar juga akan turun. Begitupun sebaliknya, bila aset dasarnya naik, investasi kita berpeluang ikut naik.
Begitu juga saat kita berinvestasi di instrumen yang disebut-sebut risikonya rendah seperti obligasi negara semacam obligasi ritel (ORI). Penerbitnya memang negara, yang berarti negara meminjam uang dari kita dan berjanji mengembalikan uang tersebut dengan imbal hasil tetap. Walau risiko gagal bayar kecil, tapi bukan berarti sama sekali tidak ada kemungkinan. Misalnya, kita berinvestasi di obligasi negara di mana uang tersebut akan digunakan oleh negara untuk membiayai proyek pembangunan. Bila ternyata proyek pembangunan tidak berjalan sesuai harapan, atau tiba-tiba terjadi perang yang membuat negara bangkrut atau salah hitung yang membuat negara gagal membayarkan lagi uang kita, ya, itu termasuk risiko yang harus kita tanggung. Tidak ada penjaminan dalam investasi sebagaimana simpanan di bank yang memiliki penjaminan LPS. Jadi, risiko rugi itu pasti selalu ada.
So, jangan pernah masa bodoh dengan abai mempertanyakan: “Kemana, bagaimana dan seperti apa uang kita akan dikelola oleh si manajer investasi tersebut” Cari informasi sebanyak-banyaknya hingga kita bisa memiliki gambaran dan bisa mengukur risiko terburuk…
Kira-kira itu pelajaran yang bisa ambil dari kasus Jiwasraya kali ini… Ingin menangguk untung dari investasi itu sangat manusiawi, tapi pastikan juga kita tetap realistis dan waspada dengan tawaran-tawaran yang terlalu melenakan… Pada akhir hari, kita tahu itu adalah uang kita sendiri dan menjadi tanggung jawab kita masing-masing untuk menjaganya…
Your money, your responsibility.
Semoga tidak ada lagi kasus-kasus sepahit Jiwasraya ini.
Credit photo: Wartaekonomi.com